Liem Chie An Marathon Juragan Ayam
Borobudur Marathon telah lahir menjadi salah satu lomba lari bergengsi di Indonesia. Di balik semua kesuksesan itu, ada peran besar juragan ayam asal Magelang, Jawa Tengah, Liem Chie An (62). Liem jatuh bangun merintis ajang tahunan ini sejak 2012.
Pertama-tama Liem tak pernah memikirkan keuntungan. Ia ingin turut berperan menghidupkan pariwisata dan ekonomi tanah kelahirannya, Magelang.
”Magelang memang punya Candi Borobudur. Tapi selama ini, tak lebih dari tempat transit para wisatawan. Rata-rata, wisatawan datang dari Yogyakarta atau Semarang. Setelah lihat Borobudur, terus mereka pulang dan menghabiskan duitnya di Yogyakarta atau Semarang. Magelang hanya dapat ampasnya,” ujar Liem saat ditemui di Jakarta, Selasa (12/2/2019).
Liem bukan olahragawan, apalagi lahir dari keluarga atlet. Orangtuanya pendatang dari China. Sebagaimana para keturunan China di Jawa, jiwa dagang lebih menonjol dalam keluarga Liem. Olahraga hanya hobi untuk menjaga kebugaran. Ia merasa cukup menyukai lari santai lintas alam atau hash. Untuk itu, Liem bergabung dengan komunitas Magelang Hash House Series di Magelang 26 tahun terakhir. Sesekali, ia mengikuti hash di daerah atau negara lain.
Liem pernah turut aktif membantu Bali ikut bidding jadi tuan rumah Internasional Hash atau Interhash tahun 2004, 2006, dan 2008. Namun, tiga kali ikut bidding, tiga kali pula Bali gagal terpilih. Interhash sendiri adalah salah satu ajang lari lintas alam paling bergengsi di dunia yang digelar dua tahun sekali. Di sela gelaran itu, dilakukan pula pemilihan tuan rumah untuk penyelenggaraan berikutnya.
Setelah kegagalan Bali, Liem mulai berpikir kenapa ia tidak mengajukan Magelang sebagai tuan rumah Interhash. Menurutnya Magelang punya ikon dunia seperti Borobudur. ”Menurut guru saya dulu, Borobudur adalah salah satu dari tujuh keajaiban dunia,” katanya.
Namun, rencana Liem tak semulus yang ia perkirakan. Tak sedikit orang yang justru sinis dengan rencana itu. Banyak yang bilang, rencana itu rencana gila. Sebab, selain Borobudur, Magelang dinilai tidak punya apa-apa yang bisa dijual dan membuat wisatawan betah.
Bahkan, saat Liem mulai melakukan bidding, ternyata masih ada orang dari negara lain yang tidak tahu dengan Borobudur. ”Saat itu, masih banyak pertanyaan aneh tentang Borobudur, seperti ada yang nanya berapa besar ukuran Borobudur? Apa Borobudur lebih besar dari lapangan sepak bola. Semua pertanyaan itu menggambarkan Borobudur ternyata tidak seterkenal yang kita bayangkan,"tutur Liem.
Akan tetapi, semua pesimisme mengenai Borobudur dan Magelang, itu justru membuat Liem kian terlecut. Tak hanya menggelar ajang olahraga semata, niatnya membawa Interhash ke Magelang semakin kuat.
Liem berpikir kalau banyak orang yang datang karena ingin ikut Interhash itu, nama Borobudur dan Magelang akan kian dikenal. Orang-orang itu pun akan membelanjakan uangnya di Magelang. ”Dari situ, pedagang kecil juga dapat untung,” ujarnya.
Rela rugi
Upaya Liem membawa Interhash ke Magelang akhirnya terwujud saat pengambilan suara dalam Kuching Interhash di Malaysia pada 2010. Saat itu, Indonesia sukses memenangi bidding dari pesaingnya, Kenya yang notabene negara pencetak pelari jarak jauh kelas dunia.
Ketika Borobudur Interhash benar-benar dihelat, mencari sponsor tak semudah membalik telapak tangan. Kendati demikian, Liem ingin gelaran itu tetap jalan. Ia rela merogoh dana pribadi untuk memastikan ajang ini berjalan. Bahkan kemudian, Liem menombok dengan nilai tak sedikit. ”Waktu itu, saya tidak mikir untung dulu. Saya hanya pikir, bagaimana acara itu sukses dulu. Apalagi ini acara awal yang jadi penentu citra selanjutnya,” tekad Liem.
Singkat cerita, Borobudur Interhash 2012 terlaksana dengan lancar. Bahkan, ajang yang diikuti 5.000 peserta dari 49 negara itu dinilai sebagai interhash terbaik yang pernah ada. ”Sebab, kami menawarkan alam desa dan juga situs sejarah,” kenang Liem.
Setelah itu, Liem seolah ketagihan untuk menggelar ajang perlombaan lari. Pada 2013, Liem menggelar Borobudur 10K yang diikuti hingga 15.000 orang. Sejak 2015, ajang yang dikelola Liem itu menambah nomor lomba dengan menggelar half marathon (21,0975 km).
Pada 2016, ajang itu kembali menambah nomor lomba dengan menggelar marathon (41,195 km) dan ultra marathon (120 km). Peserta yang ikut tak tanggung-tanggung, yakni mencapai 20.000 orang masing-masing pada 2015 dan 2016.
”Waktu itu, saya tetap nomboki, yakni sekitar Rp 1 miliar pada 2013, sekitar Rp 500 juta pada 2014, dan sekitar Rp 500 juta pada 2016. Tapi, tidak masalah. Sebab, saya ada prinsip hidup bahwa uang tidak dibawa mati, anak bodoh ditinggal banyak uang juga tidak berarti, dan anak pintar ditinggal banyak uang justru tidak akan berguna,” tutur Liem.
Titik balik
Walau terbilang sukses, gelaran Borobudur Marathon itu sebenarnya menyimpan bom waktu masalah. Betapa tidak, sejak 2013-2016, ajang itu lebih mengejar kuantitas semata, antara lain melakukan pengerahan massa agar terlihat besar.
Puncaknya, pada 2016, terjadi kekacauan. Peserta marathon yang dilepas Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo ternyata salah arah setelah berlari kurang lebih 3 km. Bukannya mengikuti rute, mereka justru mengelilingi Borobudur dan kembali ke lokasi start saat Menpora Imam Nahrawi akan melepas pelari half marathon.
Peristiwa itu benar-benar merusak citra Borobudur Marathon dan ”menampar” wajah Liem. Akibat insiden itu, Liem dicerca habis-habisan oleh peserta. "Saya malu sekali,” ujarnya.
Beruntung Liem tidak putus asa. Kekacauan itu justru jadi cambuk dirinya mencari cara agar bisa menggelar ajang yang lebih berkualitas. Dari situ, Liem mulai bekerjasama dengan Harian Kompas. Lewat kerjasama itu, sistem perlombaan diubah lebih rapi, antara lain peserta dibatasi hanya 10.000 orang agar bisa terkontrol dengan baik.
Lomba itu juga tidak hanya habis sehari tetapi ada rangkaian kegiatan maupun promosi panjang sebelum dan sesudah acara berlangsung. Di sisi lain, lomba dirancang bukan sekadar kegiatan olahraga tetapi berbaur dengan pengenalan kearifan lokal berupa kuliner, kesenian, budaya, hingga keindahan alam setempat.
Berkat tata kelola yang rapi, Borobudur Marathon 2017 terlaksana lebih baik dan dapat respons positif oleh pecinta atletik nasional. Puncaknya, Borobudur Marathon 2018 mendapatkan banyak penghargaan, seperti ajang marathon dan half marathon terbaik pada 2018 oleh Run Hood, medali terbaik pada 2018 oleh Run Hood, dan ajang marathon terfavorit pada 2018 oleh Indo Runner.
Kementerian Pariwisata pun kemudian menjadikan Borobudur Marathon sebagai salah satu dari 10 ajang wisata bergengsi nasional untuk 2019. ”Sekarang, saya berpikir insiden pada 2016 itu sebenarnya berkah. Berkat itu saya jadi berpikir dan berusaha untuk membuat ajang itu menjadi lebih baik,” kata Liem.
Sebagian mimpi Liem sudah terwujud. Setidaknya, mimpi menjadikan Borobudur Marathon sebagai penggerak wisata dan ekonomi Magelang mendapatkan titik terang. Bank Jateng sebagai sponsor utama mendata, terjadi perputaran uang yang terus meningkat dari gelaran itu, yakni dari sekitar Rp 15 miliar pada 2017 menjadi sekitar Rp 21 miliar pada 2018. Direktur Utama Bank Jateng Supriyatno pun optimistis perputaran uang itu bisa tembus Rp 30 miliar pada 2019.
”Tapi, mimpi saya belum habis. Sekarang, saya bertekad menjadikan Borobudur Marathon sebagai salah satu seri marathon dunia, setidaknya selevel Tokyo Marathon,” tekad Liem penuh keyakinan.
Liem Chie An
Lahir: Magelang, Jawa Tengah 23 Maret 1956
Pendidikan terakhir: Fakultas Hukum, Universitas Tarumanagara, Jakarta 1976-1982