Messi, Bukan "Messiah"
Tak ada yang meragukan kehebatan Lionel Messi. Namun, ada dua versi Messi yang berbeda, yaitu saat membela Barcelona dan saat berkaus timnas Argentina. Messi yang meraih segalanya bersama Barca tak bisa membawa Argentina berjaya di kejuaraan besar, Piala Dunia dan Copa America.
“Tidak ada satu pun pemain sepak bola yang bisa memenangi laga berkat dirinya sendiri”--Pele, peraih tiga trofi Piala Dunia FIFA.
Sosok bertato dengan kostum nomor 10 timnas Argentina mendekati kami di sela-sela liputan Piala Dunia Rusia, Juni 2018 lalu. Dia bukan Lionel Messi. Namun, perawakannya bak pesohor sepak bola dunia itu. Pria bernama Gabriel Alejandro itu datang dari Buenos Aires, Argentina, untuk menonton seluruh laga tim raksasa itu di Piala Dunia Rusia.
Matanya langsung berbinar-binar saat kami menyebut nama Messi. Saat itu Argentina baru saja menjalani laga pembuka penyisihan grup kontra Eslandia di Stadion Spartak, Moskwa. Di luar dugaan, Argentina ditahan imbang 1-1. Mereka bisa saja menang jika Messi tidak gagal mencetak gol dari hadiah penalti.
Meskipun demikian, sanjungan untuk Messi tetap keluar dari mulut Alejandro. “Messi adalah yang terbaik sepanjang massa. Ia lebih baik dari sepuluh pemain sekaligus jika dalam kondisi terbaiknya,” tukasnya mengenai bintang klub Barcelona itu.
Pernyataan Alejandro itu menegaskan arti seorang Messi bagi pendukung Argentina. Sebagian dari mereka, terutama para generasi muda, memandangnya sebagai "Messiah", yaitu istilah juru selamat yang dikenal dalam rumpun agama Abrahamik atau Ibrahimiah. Sebagian kecil di antaranya bahkan menganggapnya sebagai “Dewa”. Citra dirinya tidak jarang diukir di tubuh anak-anak muda Argentina seperti Alejandro.
Messi memang istimewa. Tiada satu pun penggemar bola meragukan kehebatannya di lapangan hijau. Lima trofi Ballon d’Or dan empat trofi Liga Champions Eropa menjadi bukti dominasinya di sepak bola selama lebih dari satu dekade terakhir. Pengakuan itu tergambar di sebuah iklan aparel ternama pada 2018 silam. Di iklan tersebut, Messi berpose dengan seekor kambing jantan.
GOAT alias greatest of all time, terbaik sepanjang masa, demikian makna yang tersublimasi dari iklan itu. Di level klub, bersama Barca, Messi bisa dikatakan telah paripurna alias mencapai segalanya yang bisa didamba seorang pesepak bola. Namun, di timnas alias panggung internasional, ia bukanlah apa-apa. Prestasi terbaiknya sepanjang hampir 15 tahun karier bersama Argentina hanyalah Piala Dunia usia muda, yaitu U-20, pada 2005 dan medali emas Olimpiade 2008.
Baca juga: Menakar Piala Dunia di Indonesia
Tersingkirnya Argentina dari Brasil pada semifinal Copa America Brasil 2019, Rabu lalu, memperpanjang daftar kegagalan Messi bersama “La Albiceleste” di panggung besar. “La Pulga”, demikian Messi biasa dijuluki, gagal bertubi-tubi di final turnamen besar, yaitu Copa America edisi 2007, 2015, 2016, dan Piala Dunia 2014 di Brasil.
Tidak satu pun trofi, bahkan gol tercipta, dari kaki Messi di keempat final itu. Kondisi itu berbanding terbalik dengan saat ia membela Barca. Statistik berkata, saat berbaju “Blaugrana”, Messi jauh lebih sering menang di final. Dari total 35 laga final Barca bersama Messi, 68 persen atau tepatnya 24 laga mampu mereka menangi. Messi bahkan menyumbang 31 gol di laga-laga menentukan itu.
Lantas, ada apa dengan Messi, sehingga ia seolah-olah adalah dua orang yang berbeda di kedua timnya itu? Di Piala Dunia Rusia, Messi dituduh sejumlah jurnalis Argentina tidak punya ikatan kuat dengan tim negaranya itu. Media-media di negara itu memang selalu menyoroti kelebihan maupun kekurangannya. Sebagai contoh, dia dianggap tidak nasionalis, karena jarang ikut menyanyikan lagu kebangsaan Argentina di medan laga.
Intervensi pelatih
Dia juga dianggap kerap membangkang instruksi pelatihnya dan tidak bersosialisasi dengan rekan-rekan setimnya. Di Rusia, ia sempat dituduh telah mengintervensi tugas Jorge Sampaoli, mantan manajer timnas Argentina, dalam pemilihan susunan pemain utama seusai kekalahan telak dari Kroasia 0-3 di penyisihan grup. Sebagai kapten tim, ia bahkan dianggap acuh tak acuh ketika timnya disingkirkan Perancis di babak 16 besar Piala Dunia saat itu.
Sulit mengetahui kebenaran tuduhan itu semua mengingat ia adalah sosok yang sangat tertutup. Messi selalu menghindari media dalam berbagai kesempatan. Ia sempat absen empat tahun menghadiri konferensi pers sebelum akhirnya bertatap muka dengan para jurnalis pada Mei 2019, yaitu ketika Barca hendak menghadapi Valencia di final Piala Raja Spanyol. Messi memperlihatkan, kepribadiannya tidak selincah aksinya di lapangan.
Padahal, bisa jadi, itu semua merupakan ekses negatif dari tingginya sorotan, harapan, dan ekspetasi yang dipikulnya saat berseragam Albiceleste. Messi bisa dikatakan korban dari kehebatannya sendiri. Setiap kali Copa America dan Piala Dunia digelar dalam satu dekade terakhir, ekspetasi publik Argentina selalu sama: Messi mencetak gol-gol, Albiceleste juara. Kurang dari itu adalah kegagalan.
Messi terlanjur dikultuskan sebagai Messiah, nabi, bahkan dewa. Lawan-lawannya di lapangan memandangnya sebagai mahkluk "ekstra-terestrial" yang wajib diwaspadai dan jika perlu diikat atau dilukai agar tidak mengancam. Ia pun tak lagi leluasa sebagai manusia biasa. Padahal, jelas-jelas ia seperti kita kebanyakan, yang menunjuk ke langit untuk mengucapkan terima kasih kepada Yang Maha Kuasa, hampir setiap kali mencetak gol.
Di Barcelona, beban ekspetasi itu sedikit berkurang karena ia memiliki para sahabat karib seperti Luis Suarez, Jordi Alba, Andres Iniesta, dan Xavi Hernandez. Mereka berkawan di dalam maupun luar lapangan sehingga seolah-olah bertelepati operan satu sama lainnya di medan laga. Beban mencetak gol pun dibaginya dengan Suarez. Di Argentina, ikatan macam itu langka terlihat.
Tim penuh ego
Argentina kerap disebut sebagai tim penuh ego individu. Setiap kali gagal menjuarai turnamen besar, tim itu dianggap gagal sehingga tak jarang berujung pada pergantian pelatih atau pemain. Pergantian rutin itu mengganggu kohesi di tim. Hanyalah satu yang tidak pernah diganti, yaitu Messi. Tak heran, Argentina seolah-olah bergantung padanya. Sampaoli pernah terang-terangan berkata, Argentina adalah tim Messi.
Masalah klasik itu membuat sejumlah petinggi Federasi Sepak Bola Argentina (AFA) menginginkan perubahan drastis. Menurut BBC, salah satu perubahan itu adalah memangkas pengaruh Messi. Mereka ingin membangun ulang Albiceleste dengan mayoritas pemain hijau dan sedikit mungkin peran Messi. Tugas itu diberikan kepada Lionel Scaloni, pelatih minim pengalaman. Maka itu, tidak heran, kontribusi Messi di Copa America 2019 sangatlah kecil.
Ia hanya mencetak satu gol dan nol asis dari lima laga berjalan. Itu adalah kontribusi terkecilnya dalam sebuah turnamen internasional sepanjang 15 tahun kariernya di timnas. Pola permainan ala Scaloni lebih menekankan ke lini sayap dan mengurangi peran Messi yang kini lebih sering dipasang sebagai trequartista atau pengatur serangan.
Messi kini berpacu dengan waktu untuk memberikan trofi penting bagi Argentina. Di usianya yang kini telah 32 tahun, Copa America 2020 di Argentina dan Kolombia, serta Piala Dunia 2022 di Qatar adalah dua peluang terakhirnya menjadi juara, sekaligus yang pertama sejak 1993 lalu.
Namun, satu hal perlu dipahami. Seperti pernah dikatakan Sampaoli, Messi tidak pernah berhutang trofi ke Argentina. Sepak bola-lah yang berhutang itu kepadanya. Sebab, ia telah memberikan segala keindahan di lapangan hijau untuk kita nikmati selama ini...