Olahraga Mengikis Perbedaan
Olahraga adalah penyeimbang terhebat yang mampu menjembatani, melampaui berbagai batasan dan budaya, bahkan mengubah pertentangan terbengis sekalipun menjadi tidak lagi relevan untuk sementara waktu
– Richard Attias –
Melintasi waktu dan zaman, olahraga dan pelakunya telah menghidupkan humanisme transendental, sekaligus mendampingi perubahan lanskap sosiokultural manusia. Nilai-nilai itulah yang membuat olahraga bakal selalu ada serta menjadi bagian penting dari peradaban manusia.
Olahraga kerap menjadi sarana mengikis perbedaan antarmanusia. Nelson Mandela, tokoh dunia penentang pemisahan ras alias apartheid, bahkan pernah berkata, olahraga memiliki kemampuan mengubah dunia.
Mandela adalah salah satu tokoh dunia yang menggunakan olahraga sebagai katalisator persatuan bangsanya, sekaligus mengubah citra Afrika Selatan di mata dunia. Langkah terbesarnya adalah saat membangun tim rugby yang diperkuat ras kulit hitam dan putih untuk Piala Dunia Rugby 1995. Kisah itu disajikan dengan elegan oleh Clint Eastwood dalam film berjudul Invictus, yang dibintangi oleh Morgan Freeman dan Matt Damon.
”Olahraga memiliki kekuatan menyatukan orang-orang melalui cara yang sulit diwujudkan hal-hal lainnya. Olahraga menciptakan harapan ketika yang tersisa hanyalah keputus-asaan,” ujar Mandela.
Untuk memaknai pernyataan Mandela ini, kita perlu sejenak kembali ke masa silam yang mencekam, yaitu ketika negara-negara di dunia terbelah perbedaan filosofi politik, yaitu antara liberalisme dan fasisme, yang berujung pada Perang Dunia. Olimpiade 1936 di Berlin, Jerman, digelar dalam suasana semacam itu.
Olimpiade edisi ke-11 itu semestinya menjadi panggung bagi Nazi Jerman dan pemimpinnya, Adolf Hitler, unjuk kekuatan, yaitu supremasi ras Arya alias kulit putih Jerman.
Kecongkakan Hitler—yang melarang atlet Yahudi berpartisipasi di Olimpiade itu—lantas diruntuhkan satu atlet berdarah etnik Afrika, yaitu Jesse Owens. Atlet atletik asal Amerika Serikat itu dielu-elukan di Stadion Olimpiade Berlin yang berkapasitas 110.000 penonton saat itu. Cucu dari budak di AS itu menjadi atlet paling sukses di Olimpiade 1936 berkat raihan empat medali emas di nomor sprint dan lompat jauh.
Menampar Hitler
Dalam bukunya yang berjudul Triumph (2008), Jeremy Schapp—jurnalis AS ternama yang juga penulis buku laris, Cinderella Man—menggambarkan performa Owens di Berlin itu sebagai pertunjukan yang transenden, melewati segala batasan olahraga.
Owens tidak hanya menampar Hitler—dalang pembantaian enam juta etnis Yahudi—di hadapan rakyatnya sendiri, tetapi juga menginspirasi kaumnya yang tengah berjuang melawan apartheid di negara asalnya, AS.
Tak heran, bangunan asrama tempat Owens tinggal di Berlin hingga kini kerap didatangi peziarah, mayoritas keturunan kulit hitam yang kini banyak menghuni Jerman. ”Semoga sinar ini terus menyala sebagai simbol kebebasan dalam olahraga dan semangat kemanusiaan. Untuk mengenang Jesse Owens,” bunyi puisi Charles Ghigna yang terukir di monumen tanah kelahiran Owens di Alabama, AS.
Panggung olahraga juga pernah menjadi sarana bagi mantan pesepak bola putri AS, Brandi Chastain, untuk menyuarakan kesetaraan jender di sepak bola. Pada final Piala Dunia Putri 1999 di Pasadena, AS, Chastain secara spontan membuka kausnya saat merayakan kemenangan tim putri AS atas China lewat drama adu penalti. Adegan dramatis itu banyak menghiasi halaman depan koran-koran dunia saat itu.
Chastain saat itu bukan ingin memamerkan perut langsing atau jogbra-nya ke publik. Ia ingin menunjukkan perempuan bisa melakukan hal-hal yang sebelumnya hanya diidentikkan dengan laki-laki. ”Sebelumnya, Anda tidak bisa melakukan itu (membuka kaus) karena Anda adalah perempuan. Teriakan (Chastain) menunjukkan, ya, kami bisa,” ujar Marlene Bjornsrud, pelatih sepak bola putri, dikutip dari New York Post edisi 5 Juli 2019.
Ibarat lari estafet, perjuangan Chastain itu diteruskan ke generasi pesepak bola putri di AS saat ini. Megan Rapinoe dan Alex Morgan, dua pesepak bola putri yang membawa AS menjuarai Piala Dunia Putri 2019 di Perancis, menghidupkan kembali semangat Chastain lewat trofi Piala Dunia Putri keempat AS. Keduanya sangat vokal menyuarakan kesetaraan di sepak bola, salah satunya menuntut upah yang sama dengan pemain sepak bola putra.
Mereka tidak hanya menyindir FIFA, tetapi juga menyeret sang pemberi upah, yaitu Federasi Sepak Bola AS, ke meja hukum terkait isu kesetaraan itu. Popularitas timnas putri AS kini jauh melampaui tim putra berkat serangkaian prestasi besar mereka.
Namun, upah yang mereka dapat hanya seperempat dari tim putra AS yang belum pernah memenangi Piala Dunia. Belum lagi persoalan sentimen etnik, asal-usul, dan orientasi seksual, yang juga merongrong Rapinoe dan kawan-kawan.
Tidak heran, teriakan ”kesetaraan, kesetaraan” membahana di Perancis seusai final Piala Dunia Putri. ”Ini pesan saya untuk semua. Kita harus bisa lebih baik. Kurangi kebencian, berikan lebih banyak cinta. Kita harus bisa lebih mendengarkan, sedikit bicara. Adalah tanggung jawab kita bersama untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik,” ungkap Rapinoe dalam pidatonya saat berparade di New York untuk merayakan kemenangan AS di Piala Dunia Putri Perancis.
Para olahragawan memang memiliki posisi strategis dalam menyikapi dinamika sosial dan budaya dalam entitas masyarakat global, yaitu sebagai agen perubahan. Perjuangan untuk mengikis intoleransi, kecurigaan, dan sentimen antar-ras atau agama itu juga diperlihatkan bintang klub sepak bola Liverpool, Mohamed Salah. Dalam riset terbarunya, Universitas Stanford mengungkapkan, sepak terjang Salah telah menekan masalah fobia Islam, khususnya di Inggris.
Salah dan fobia Islam
Salah, pesepak bola Muslim yang religius dan kerap bersujud syukur saat merayakan gol, kini menjadi sosok yang sangat dipuja penggemar Liverpool yang diperkirakan berjumlah 580 juta orang di seluruh dunia atau dua kali dari jumlah penduduk di Indonesia. Salah—sosok yang dikenal sangat bersajaha—memperlihatkan wajah Islam yang santun, toleran, dan menentang segala tindak kekerasan.
Kesantunan Salah pun tercermin dari reaksinya yang tidak mencari kambing hitam saat cedera di final Liga Champions 2018. Ketika itu, Salah dibuat cedera oleh bek Real Madrid, Sergio Ramos. Namun, Salah nyaris tidak bereaksi meskipun itu mengubur mimpinya meraih trofi tersebut saat itu.
Salah terus melihat ke depan, mengambil sisi positif setiap nestapa. Semusim kemudian, pemain kebanggaan bangsa Mesir itu, akhirnya membawa Liverpool meraih trofi prestisius Liga Champions.
Dalam perjalanan Liverpool menuju gelar juara itu, dia juga menginspirasi dengan kaus bertuliskan ”Never Give Up” yang dikenakannya pada laga semifinal kontra Barcelona. Spirit pantang menyerah itu, bahkan menjadi gerakan baru yang memberi semangat ekstra bagi mereka yang tersisihkan.
Fenomena Salah juga turut meningkatkan toleransi. Riset Universitas Stanford menunjukkan, kicauan fobia Islam berkurang drastis, yaitu hingga 50 persen, di Twitter setahun terakhir ini. Angka kriminalitas bernuansa anti-Islam di Inggris pun juga ikut merosot, yaitu hingga 18,9 persen. Studi itu menyebutkan, Salah telah mengubah persepsi publik Inggris akan Islam yang sebelumnya acap kali diidentikkan dengan radikalisme dan terorisme.
Pesona Salah di lapangan hijau menjadi penyeimbang dari menguatnya paham sayap kanan, yaitu xenophobia atau kecurigaan akan pendatang dan fasisme, yang diyakini menjadi pendorong kebijakan keluarnya Inggris dari komunitas Uni Eropa alias ”Brexit”.
Pendukung Liverpool bahkan sampai mengubah lirik lagu ”Good Enough” (1986) yang selama ini menjadi salah satu mars mereka. ”Jika ia (Salah) cukup baik untukmu, maka ia baik untuk saya. Jika ia kembali mencetak gol, maka saya akan menjadi seorang Muslim pula,” bunyi lirik lagu itu.