Rentan Risiko Cedera, Atlet Muda Sering Dilarang Tekuni Gulat
Risiko cedera berat yang harus dihadapi dalam olahraga gulat, berdampak pada kontinuitas latihan dan keberlanjutan pembinaan para atlet muda. Banyak atlet junior tidak melanjutkan kiprahnya dalam olahraga berat ini, karena dilarang orangtua.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
MAGELANG, KOMPAS - Risiko cedera berat yang harus dihadapi dalam olahraga gulat, berdampak pada kontinuitas latihan dan keberlanjutan pembinaan para atlet muda. Banyak atlet junior tidak melanjutkan kiprahnya dalam olahraga berat ini, karena dilarang orangtua.
Agus Dwi Prespono, dari Komisi Pertandingan Pengurus Provinsi Persatuan Gulat Seluruh Indonesia (PGSI) Jawa Tengah, mengatakan, banyak orangtua langsung melarang anaknya untuk berlatih gulat saat mendapati cedera. Padahal, risiko cedera dalam dunia olahraga tidak bisa dihindari.
“Restu dari orangtua pada akhirnya membuat atlet gulat cenderung keluar masuk tak menentu dan tidak menjalani pembinaan secara kontinyu,” ujar Agus, di sela-sela kejuaraan daerah gulat senior 2019 di Atrium Artos Mal di Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Selasa (20/8/2019).
Cedera berpotensi terjadi saat atlet gulat kurang melakukan pemanasan sebelum bertanding. Risiko cedera dimungkinkan juga terjadi saat atlet berhadapan dengan lawan yang kurang sebanding. Misalnya atlet yang baru mengikuti kompetisi, langsung dihadapkan dengan atlet yang jauh berpengalaman. Namun, dengan menghindari semua kondisi tersebut, olahraga gulat sebenarnya adalah olahraga yang aman dan menyehatkan.
Jumlah atlet gulat se-Jawa Tengah, kini sekitar 200 orang. Rata-rata atlet, biasanya baru menerjuni olahraga ini, pada usia 13 tahun lebih. Sikap orangtua yang terlalu khawatir dan tidak tega ini, menurut Agus pada akhirnya juga menjadi salah satu faktor yang menghambat sosialisasi gulat, sehingga olahraga ini sulit diperkenalkan pada anak di jenjang SD.
“Padahal, sama seperti olahraga lainnya, pembinaan olahraga lebih baik dilakukan sedini mungkin, di usia anak-anak,” ujarnya.
Kondisi ini, pada akhirnya juga membuat olahraga gulat sulit untuk masuk, dan dijadikan sebagai kegiatan ekstrakurikuler di SD. Dua tahun terakhir, menurut Agus, olahraga gulat sudah berhasil menjadi kegiatan esktrakurikuler di SMP dan SMA, di mana tenaga pelatih berasal dari guru-guru olahraganya sendiri.
“Dengan bantuan guru, pembinaan atlet olahraga gulat pun bisa dilakukan di sekolah,” ujarnya.
Dua tahun terakhir, olahraga gulat sudah berhasil menjadi kegiatan esktrakurikuler di SMP dan SMA, di mana tenaga pelatih berasal dari guru-guru olahraganya sendiri.
Eva Nur Khasanah (19), atlet gulat asal Kabupaten Grobogan, mengatakan, dirinya sempat mengalami cedera parah di bagian lutut. Pengalaman cedera membuat ibunya kemudian melarang dirinya kembali berlatih gulat. Namun, setelah terus menerus berusaha membujuk ibunya, akhirnya dia kembali diizinkan berlatih gulat.
Eva menekuni dunia gulat sejak kelas 1 SMK, setelah sebelumnya sempat mengalami cedera saat berlatih voli. Sejak memutuskan menggeluti olahraga ini, Eva pun terus berlatih setiap hari dan berupaya agar setiap tahun bisa mengikuti kompetisi.
Danang Priyadi (29), salah satu pelatih gulat klub Frog Wrestling di Kabupaten Grobogan, mengatakan, izin orangtua memang berpengaruh terhadap perkembangan prestasi atlet. Dia mencontohkan, di klubnya ada dua atlet yang semula diasuhnya tidak lagi berlatih dan dilarang orangtuanya untuk menerjuni gulat setelah sempat mengalami cedera.
Namun, ada pula beberapa atlet yang sempat patah tangan, tetapi terus melanjutkan berlatih dan rajin mengikuti kompetisi, dengan terus didampingi orangtua masing-masing.