Lifter berusia 33 tahun, Triyatno, berjuang mengatasi trauma dan kepercayaan diri yang menurun pascacedera lutut. Lifter kelas 73 kilogram itu perlu segera membenahi angkatannya supaya lolos ke Olimpiade Tokyo 2020.
Oleh
Denty Piawai Nastitie
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Dengan pengalaman meraih dua keping medali Olimpiade, lifter senior Triyatno menghadapi kendala non-teknis untuk dapat kembali memulihkan angkatan terbaik. Berbagai upaya dilakukan agar lifter kelas 73 kg itu bisa tampil di Tokyo 2020, yang kemungkinan besar akan menjadi penampilan terakhirnya di pesta olahraga multicabang antarnegara se-dunia.
Pelatih kepala angkat besi Indonesia Dirdja Wihardja mengatakan, berbagai upaya dilakukan untuk membantu Triyatno melewati kendala non-teknis yang mempengaruhi penampilannya di kejuaraan. “Kami sering ngobrol dengan Triyatno agar apa yang menjadi kegelisahannya bisa tersalurkan. Setiap atlet mempunyai masalah pribadi, seperti masalah keluarga, tetapi bagaimana atlet bisa mengatasi masalah, itu menjadi bagian dari perjuangan,” ujar Dirdja, diitemui di pelatnas angkat besi di Mess Kwini, Jakarta Pusat, Jumat (10/1/2020).
Dridja menuturkan, pihaknya berusaha memotivasi dan memberi semangat kepada Triyatno. Selain itu, tim pelatih juga berusa membangun suasana latihan yang nyaman dan memenuhi fasilitas latihan sesuai kebutuhan atlet. “Bagi kami yang terpenting atlet merasa nyaman berlatih. Kalau ia sudah nyaman berlatih, angkatan berapa pun pasti bisa dicapai,” ujarnya.
Triyatno merupakan lifter berpengalaman peraih dua keping medali Olimpiade, yaitu perunggu pada Olimpiade Beijing 2008 dan perak London 2012. Meski sudah mengantongi dua medali Olimpiade, perjalanan Triyatno menuju Olimpiade Tokyo 2020 tidak mudah mengingat dalam lima tahun terakhir, performa Triyatno merosot dan ia belum berhasil membalikkan keadaan.
“Setelah tampil di London, saya menjalani dua operasi lutut kanan dan kiri. Itu mungkin menjadi salah satu penyebab kenapa penampilan saya turun. Saya harus berjuang menghilangkan trauma, rasa kurang percaya diri, dan kembali menumbuhkan keyakinan,” kata lifter berusia 33 tahun itu.
Kendala non-teknis yang dihadapi Triyatno terlihat dari penampilannya yang tidak konsisten di setiap kejuaraan yang diikuti. Setelah mengukir total angkatan 325 kg di Kejuaraan Dunia 2018, penampilan Triyatno merosot pada tiga kejuaraan selanjutnya. Ia membukukan total angkatan 322 kg di kejuaraan Piala EGAT 2019, 320 kg di Piala Dunia 2019, lalu 318 kg di Kejuaraan Asia.
Barulah di Kejuaraan Dunia 2019, Triyatno sukses mengembalikkan keadaan dan bahkan berhasil melewati rekor angkatan pribadinya, yaitu total angkatan 326 kg. Namun, seperti yang sudah-sudah, angkatan Triyatno merosot lagi menjadi 319 kg di Piala Qatar Internasional, Desember lalu.
Hal ini berbeda dengan lifter senior Eko Yuli Irawan yang relatif bisa konsisten menjaga performa. Total angkatan Eko hanya pernah satu kali turun dari 317 kg (Kejuaraan Dunia 2018) menjadi 297 kg (Piala Dunia 2019). Namun, pada tiga kejuaraan terakhir, yaitu Kejuaraan Asia, Kejuaraan Dunia, dan SEA Games, angkatan Eko selalu meningkat meski belum mencapai rekor pribadi.
Target Olimpiade
Penampilan yang kurang konsisten sangat mempengaruhi peluang Triyatno karena kualifikasi Tokyo 2020 memakai sistem berbeda dengan Olimpiade sebelumnya. Sebelumnya, kualifikasi Olimpiade memakai sistem tim negara. Poin yang dikumpulkan lifter pada setiap kejuaraan diakumulasi untuk menentukan kuota atlet ke Olimpiade. Dengan sistem itu, tim “Merah Putih” bisa mengirimkan tujuh lifter ke Rio de Janeiro 2016.
Namun, setelah Olimpiade Rio, sistem kualifikasi berubah menjadi individu. Setiap lifter harus berjuang atas nama pribadi agar lolos ke Tokyo 2020. Dengan sistem kualifikasi individu, Triyatno dituntut menjaga fisik, mental, dan teknik dalam kondisi prima agar bisa konsisten pada setiap kejuaraan. Total angkatan dalam kejuaraan menjadi dasar perhitungan poin peringkat dunia.
Persaingan pada kelas “raksasa” 73 kg sangat berat karena ada delapan lifter terbaik dunia yang sudah mencapai total angkatan 340 kg. Namun, menurut ia itu bukan persoalan berarti. “Tantangan saya ada pada diri sendiri. Bagi saya, yang terpenting mengembalikan rekor pribadi,” ujarnya.
Sejauh ini, Triyatno sudah mengikuti enam kejuaraan yang termasuk dalam kualifikasi Olimpiade sejak November 2018, termasuk dua kali kejuaraan dunia. Triyatno dijadwalkan mengikuti dua kejuaraan lagi di Iran dan Kazakstan. “Saya harus optimis bisa memperbaiki angkatan. Dalam berbagai hal, persiapan saya harus lebih baik. Mulai dari istirahat, nutrisi, dan latihan,” katanya.
Pelatih angkat besi Indonesia Muhammad Rusli mengakui, Triyatno menghadai tantangan non-teknis untuk bisa bersaing di tingkat dunia. “Dalam hal latihan, nutrisi, istirahat, apa yang dilakukan Triyatno sama dengan lifter lainnya, tetapi hasilnya berbeda. Itu menunjukkan ada kendala non-teknis yang dihadapi oleh Triyatno,” ujar Rusli.
Namun, menurut Rusli, Triyatno masih punya kesempatan untuk lolos ke Olimpiade karena lifter senior itu punya pengalaman dan jam terbang yang bisa menunjang penampilannya. Dengan poin yang sudah dikumpulkan, berdasarkan perhitungan pelatih, setelah hasil di Qatar dimasukan dalam perhitungan peringkat, Triyatno akan menempati peringkat ke-16 dunia. Ia dituntut bisa memperbaiki angkatan sehingga lolos delapan besar dunia demi tampil di Olimpiade Tokyo 2020.