Barcelona di tangan pelatih baru, Quique Setien, kembali menerapkan gaya permainan lama mereka, yaitu menguasai bola selama mungkin. Padahal, gaya permainan ini terbukti tidak efektif lagi.
Oleh
Herpin Dewanto Putro
·4 menit baca
BARCELONA, MINGGU - Pelatih Barcelona yang baru, Quique Setien, seperti sedang menggunakan sebuah mesin waktu saat menjalani laga debutnya melawan Granada di Stadion Camp Nou, Senin (20/1/2020) dini hari WIB. Ia mengajak penonton kembali ke masa lalu, ke era Johan Cruyff dan Pep Guardiola, ketika penguasaan bola berada di atas segala-galanya.
Dengan cara itulah Setien mencoba menjawab tantangan yang diberikan manajemen klub pada pekan lalu saat ia dipilih untuk menggantikan Ernesto Valverde, pelatih Barcelona sebelumnya. Tidak ada cara lain bagi Setien untuk memperbaiki penampilan tim kecuali memurnikan karakter yang pernah membuat “Blaugrana” menjadi patokan sepak bola modern sejak ditangani Cruyff pada 1988-1996. Ia memegang teguh prinsip Cruyff bahwa peluang menang akan lebih besar jika tim bisa menguasai bola lebih lama.
Untuk sementara, hasilnya menggembirakan karena Barcelona bisa mengalahkan Granada, 1-0. Kemenangan diraih dengan persentase penguasaan bola hingga 82,6 persen. Pencapaian ini menempatkan Setien sebagai pelatih Barcelona yang menghasilkan penguasaan bola tertinggi ke-8 sepanjang masa. Persentase tertinggi dicapai Pep Guardiola ketika Barcelona mengalahkan Inter Milan 1-0 pada laga Liga Champions musim 2009-2010, yaitu mencapai 86,57 persen.
Penguasaan bola tinggi bisa terjadi karena para pemain selalu mengoper bola secepat mungkin yang kemudian populer dengan istilah "Tiki-Taka". Dalam hal operan bola, laga perdana Setien itu tercatat sebagai laga Barcelona yang memiliki operan terbanyak ketiga sepanjang masa, yaitu mencapai total 1.005 operan dan sebanyak 921 operan di antaranya berhasil dilakukan.
Lagi-lagi, catatan operan terbanyak Barcelona kembali dipegang Guardiola ketika bermain imbang 1-1 melawan Levante pada Mei 2011. Pada laga itu, Barcelona melakukan total 1.046 operan dan 988 operan di antaranya berhasil dilakukan.
“Saya senang karena Granada hanya bisa menembak sebanyak dua kali. Kami telah melakukan yang terbaik dan saya berharap ke depan permainan bisa lebih mengalir dan serangan menjadi lebih tajam,” ujar Setien.
Serangan yang kurang tajam inilah yang sering kali menjadi antitesis dari gaya penguasaan bola tinggi. Barcelona di tangan Setien, seperti halnya versi Guardiola, mampu menguasai bola paling lama tetapi hanya menghasilkan satu gol saja. Permainan memang menjadi lebih enak ditonton. Namun, ribuan operan yang telah dilakukan serasa tidak berguna dan hanya membuang-buang tenaga jika dilihat dalam konteks produktivitas gol.
Tidak efektif lagi
Dilihat lebih jauh dengan berkaca dari studi yang dilakukan selama Piala Dunia Rusia 2018, gaya permainan yang diusung Setien ini sudah tidak lagi efektif. Artinya, Setien saat ini sedang mengajak Barcelona untuk melawan perubahan zaman.
“Sekarang (sejak 2018) sudah banyak perubahan. Banyak tim bermain dengan pola lima bek yang sudah lama terlupakan. Permainan dengan transisi cepat juga sudah diterapkan. Semuanya sudah berubah,” ujar Fernando Hierro, ketika masih melatih Spanyol pada 2018, seperti dikutip The Guardian.
Tim-tim yang mementingkan penguasaan bola bertumbangan pada Piala Dunia 2018 seperti Spanyol, Jerman, dan Argentina. Spanyol, misalnya, rata-rata menguasai bola hingga 69 persen tetapi hanya bertahan sampai babak 16 besar. Jerman lebih merana lagi karena tidak lolos fase grup meski penguasaan bolanya mencapai rata-rata 67 persen.
Sementara Perancis yang penguasaan bolanya hanya mencapai rata-rata 49 persen justru bisa menjuarai Piala Dunia. Mereka juga hanya berlari rata-rata sejauh 101 kilometer per laga, lebih pendek dari pada Argentina, Serbia, Meksiko, atau Nigeria.
Fenomena sama juga terjadi pada level klub. Napoli di bawah asuhan pelatih Mauricio Sarri pada 2015-2018 tidak pernah mengangkat trofi meski jago membawa bola. Sebaliknya, Liverpool dengan permainan cepat (gegenpressing) ala Juergen Klopp kini semakin sulit dihentikan.
Liverpool semakin sulit dikejar para pengikut aliran Cruyff seperti Guardiola dan Manchester City-nya di Liga Inggris musim ini. Menariknya, City mampu mengalahkan Chelsea, 2-1, pada November lalu meski hanya memiliki penguasaan bola kurang dari 47 persen.
“Oke, saya punya rekor baru, memenangi laga tanpa memenangi penguasaan bola,” ujar Guardiola saat itu.
Setien sebagai pengagum fanatik Cruyff sepertinya sulit untuk berpindah aliran dan merasa sudah berada di jalur yang benar. Namun, Setien perlu ingat bahwa Granada merupakan tim papan tengah Liga Spanyol. Barcelona juga baru bisa mencetak gol ketika Granada kehilangan satu pemain akibat diganjar kartu merah.
Barcelona masih harus menghadapi lawan-lawan yang jauh lebih tangguh dibandingkan Granada. Entah di Liga Spanyol, Copa del Rey, atau Liga Champions.
Waktu sepekan belumlah cukup untuk membuktikan keberhasilan Setien untuk mengembalikan kejayaan Barcelona. Ia masih butuh waktu untuk membuktikan apakah taktik yang ia usung masih relevan atau tidak. Selamat melawan arus, Setien! (AFP/REUTERS)