Musim ini, Real Madrid menerapkan filosofi "yin dan yang" untuk menjaga keseimbangan di dalam bermain. Racikan ala China itu sukses menghidupkan kembali permainan Real meskipun tidak lagi memiliki Cristiano Ronaldo.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·5 menit baca
Bersama Cristiano Ronaldo, Real Madrid menjelma tim tersubur di daratan Eropa. Bagaimana wajah dan taring ”Los Blancos” setelah memasuki dua musim tanpa mesin pencetak gol asal Portugal itu?
Walaupun awalnya sulit, episode manis Madrid berlanjut pada pekan ke-23 La Liga. Sempat tertinggal saat bertandang ke Stadion El Sadar, markas Osasuna, Minggu (9/2/2020) malam WIB, Sergio Ramos dan rekan-rekan membalikkan keadaan dan menang telak 4-1.
Raihan tiga poin itu menunjukkan ketangguhan anak asuhan Zinedine Zidane saat berlaga jauh dari rumah. Musim ini, Madrid menjadi tim dengan rekor terbaik saat bertandang, yaitu hanya sekali kalah dari 12 pertandingan.
Lucas Vasquez, geladang tengah Madrid, mengatakan, konsistensi di laga tandang menjadi kunci kesuksesan timnya musim ini. ”Di tahun-tahun sebelumnya, kami kesulitan memenangkan pertandingan seperti ini. Kami sering membuang kesempatan juara liga di laga tandang,” kata pemain pengganti yang mencetak satu gol itu.
Los Blancos sangat tenang menghadapi agresivitas Osasuna yang bermain cepat sejak 15 menit pertama. Meski tertinggal, mereka tidak gegabah menyerang. Pertahanan tetap dijaga dengan rapi. Alhasil, gol kedua Osasuna tidak tercipta, sedangkan Madrid sukses menceploskan dua gol balasan di babak pertama.
Kemenangan telak baru diraih setelah dua gol lagi baru tercipta oleh pemain pengganti Vasquez dan Luka Jovic pada 10 menit terakhir jelang akhir laga. Gol-gol itu didapatkan setelah Osasuna memutuskan menyerang dan mulai melupakan pertahanan.
Kehati-hatian Madrid terpancar dari 11 pemain pertama yang diturunkan Zidane. Dengan formasi 4-3-2-1, sang manajer menggunakan tiga gelandang sejajar, Luca Modric dan Valverde serta Casemiro sebagai jangkar.
Dua penyerang sayap, Isco dan Gareth Bale, berperan ganda. Meski tugas utama menyerang, mereka juga dituntut bertahan bersama gelandang saat bola di kaki lawan.
Bahkan, sang manajer memuji penampilan Bale meski dia tidak mencetak gol. Zidane terpukau dengan kontribusi Bale yang efektif membantu pertahanan. ”Dia sangat penting. Bermain bagus bertahan dan menyerang dalam 65 menit,” kata manajer asal Perancis itu.
Laga di Osasuna seperti menunjukkan karakter asli Madrid musim ini. Mereka lebih berhati-hati meraih kemenangan. Meskipun menang telak, hasil itu adalah buah dari proses kesabaran dan efektivitas permainan tim.
Lebih seimbang
Zidane menyulap Madrid menjadi lebih seimbang. Konsep keseimbangan itu bisa digambarkan seperti filosofi dari China, yaitu yin dan yang. Dalam sebuah bulatan, yin digambarkan lewat sisi hitam dengan titik putih, sementara yang lewat sisi putih dengan titik hitam. Kedua warna mendapatkan porsi yang sama.
Keseimbangan itu yang menjadi wajah Madrid saat ini. Bermain stabil dengan menyerang tetapi juga memikirkan pertahanan. Wajah ini sangat beda dengan gaya bermain pelatih terkenal di Eropa, seperti Pep Guardiola yang agresif dalam menyerang dan penguasaan bola. Ataupun Juergen Klopp yang menekan garis pertahanan lawan sepanjang laga.
Sulit mengembalikan status Madrid sebagai tim yang bisa mencetak lebih dari 100 gol dalam semusim. Hal itu diakui Zidane setelah Ronaldo hengkang pada dua musim lalu.
Saat masih memiliki Ronaldo, Madrid di bawah Zidane (2016-2018) selalu berhasil menembus catatan lebih dari 100 gol dalam semusim La Liga (38 laga) atau rata-rata lebih dari 2,5 gol setiap pertandingan.
Dalam musim saat Zidane membawa Los Blancos juara, pada 2016-2017, Ronaldo berkontribusi pada 31 gol dari total 106 gol musim itu. Dengan kata lain, hampir setiap 1 dari 3 gol Madrid berasal dari sentuhan pemain dengan sebutan CR7 tersebut.
”Sulit menggantikan Ronaldo. Tidak berlaku siapa pun yang kamu datangkan di bursa transfer. Kami harus menyesuaikan hidup tanpa Ronaldo,” kata manajer yang sukses membawa tiga gelar Liga Champions ke Santiago Bernabeu itu dalam sebuah wawancara bersama Bleacher Report.
Revolusi gaya
Dengan adaptasi baru yang lebih seimbang, Madrid perlahan semakin meyakinkan. Mereka berada di puncak klasemen sementara, tiga poin di atas Barcelona, dengan rekor 14 kali beruntun tak terkalahkan.
Kuncinya adalah keseimbangan. Hal itu membuat mereka baru kalah sekali. Mereka juga menjadi tim dengan kebobolan paling sedikit di liga, hanya 14 kali dari 23 laga (rata-rata 0,6 gol per laga). Statistik yang sangat menggembirakan dibandingkan musim lalu dengan rekor dua kali lipat lebih buruk.
Stabilitas permainan membuat Madrid menjadi tim dengan agregat gol terbaik (+30). Padahal, mereka hanya mencetak 44 gol, kalah jauh dari Barcelona yang sudah menceploskan 55 gol. ”Stabilitas adalah yang utama. Tidak ada yang meragukan itu,” tutur Zidane.
Yang lebih penting, gaya baru ini lebih mampu menghasilkan poin. Kestabilan ini sangat cocok saat bertandang. Arsene Wenger, mantan manajer sekaligus legenda Arsenal, pernah mengatakan, intensitas permainan akan sangat berbeda saat berada di kandang lawan. Karena itu, gaya bermain harus menyesuaikan dengan keseimbangan yang lebih baik, tidak terlalu eksplosif menyerang.
Terbukti, Los Blancos nyaris selalu meraup poin penuh saat bertandang. Dari 11 pertandingan, mereka baru kalah sekali di kandang lawan. Total mengoleksi 25 poin saat bertandang, meninggalkan rivalnya Barcelona yang hanya mengoleksi 18 poin. Rekor positif saat bertandang menjadi alasan Madrid berada di puncak klasemen hingga memasuki lebih dari separuh kompetisi.
Tanpa Ronaldo, Madrid memulai revolusinya dengan gaya yang lebih seimbang. Arsitek revolusi itu adalah Zidane, pria genius setinggi 1,85 meter yang dikenal pada masa jayanya sebagai gelandang serang dengan keseimbangan tubuh terbaik saat memegang bola. (AP/AFP/REUTERS)