Permainan pragmatis Napoli bersama pelatih barunya, Gennaro Gattuso, bisa menjadi ganjalan Barcelona di babak 16 besar. Liga Champions merupakan "lautan" mengerikan bagi debutan seperti Quique Setien, pelatih Barca.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
NAPOLI, SELASA – Sepanjang mengarungi karir sepak bolanya, baik sebagai pemain maupun pelatih, Quique Setien tak pernah sekali pun merasakan atmosfer Liga Champions Eropa. Sang pelatih Barcelona, untuk pertama kalinya, akan menakhodai timnya menuju “lautan” paling berbahaya di benua Eropa itu.
Pentas Eropa tertinggi bagi Setien sebagai pelatih sebelumnya hanyalah Liga Europa, yaitu saat menukangi Real Betis. Sebagai pemain, dia hanya tampil tiga kali di Piala UEFA (kini bernama Liga Europa), bersama Atletico Madrid pada era 1980-an. Turnamen ini berada satu kasta di bawah Liga Champions.
Setelah menunggu 43 tahun, Setien akhirnya bisa mewujudkan mimpinya tampil di turnamen kasta tertinggi Eropa. Dia akan memimpin Barca saat bertandang ke markas Napoli di Stadion San Paolo, Italia, pada laga pertama babak 16 besar Liga Champions, Rabu (26/2/2020) pukul 03.00 WIB.
Laga ini akan mengawali perjalanan manajer berusia 61 tahun itu meraih mimpi terbesarnya. “Saya ingin (tulisan) batu nisan saya nantinya berkata, saya pernah memenangkan Liga Champions bersama Barca,” katanya dalam wawancara bersama L\'Esportiu saat baru dipercaya menggantikan Ernesto Valverde di Barca, Januari lalu.
Saya ingin (tulisan) batu nisan saya nantinya berkata, saya pernah memenangkan Liga Champions bersama Barca.
Namun, mimpi itu tidak akan terwujud dengan mudah. “Lautan” itu sudah membunuh banyak mimpi manajer-manajer terbaik di Eropa, salah satunya Arsene Wenger. Mantan manajer Arsenal itu yang tidak pernah meraih trofi "si kuping lebar" sepanjang karir melatihnya.
Liga Champions tidak mudah ditaklukkan, apalagi bagi manajer yang belum berpengalaman. Seluruh manajer dan pemain terbaik sejagat berkumpul di kompetisi ini. Terkadang, strategi semata tidak cukup memenangkan sebuah pertandingan. Butuh mentalitas baja dan sedikit keberuntungan.
Sir Alex Ferguson, manajer legendaris Manchester United, menggambarkan kompetisi itu seperti neraka berdarah. Dia menyatakan hal itu seusai timnya menjuarai Liga Champions 1999 lewat dua gol di detik-detik akhir. “Hasil berubah dengan cepat. Tim yang kalah hanya bisa pulang dengan penyesalan,” katanya.
Maka itu, Liga Champions menjadi ujian terberat Setien. Ia harus "membangunkan" Barca yang dua musim beruntun tenggelam di kompetisi ini. Sempat unggul telak pada laga pertama babak gugur, "kapal raksasa" Barca pun karam di tengah samudera Liga Champions yang ganas, dua musim terakhir. Mereka dikubur AS Roma pada musim 2017/2018 lalu dan Liverpool setahun berikutnya.
Terbunuh filosofi
Dalam debutnya itu, Setien akan berhadapan dengan Manajer Napoli Gennaro Gattuso yang juga bakal pertama kali turun sebagai manajer di Liga Champions. Bedanya, Gattuso sempat mencicipi 79 pertandingan, 6.721 menit, dan dua trofi Liga Champions sebagai pemain AC Milan.
Pengalaman kedua manajer mungkin tidak berbeda jauh. Akan tetapi, filosofi Gattuso bisa membunuh harapan Setien. Gattuso mulai merasuki skuad Napoli dengan karakter permainan pragmatis.
Napoli perlahan berubah, yaitu dari tim dominan dalam penguasaan bola di era Maurizio Sarri dan Carlo Ancelotti, menjadi penganut serangan balik. Gattuso tidak malu meraih kemenangan dengan penguasaan lebih sedikit saat bertemu tim besar. Strategi ini terbukti ampuh menaklukkan Inter Milan dan Juventus, dua raksasa di Italia.
Filosofi Napoli saat ini bisa merusak Setien yang mengagungkan penguasaan bola. Setien, yang mengagumi Johan Cryuff, sangat membenci sepak bola negatif. Dia lebih memilih kalah daripada harus bermain bertahan.
Kebencian itu terasa lebih dalam karena pengalaman melatihnya. Dia kerap kesulitan menghadapi tim pragmatis seperti Getafe yang diasuh rivalnya, Jose Bordalas. Persentase kemenangan Setien hanya 27 persen dari Bordalas. Tak heran, Barca harus susah payah mengalahkan Getafe 2-1 pada duel 15 Februari lalu.
Meskipun demikian, Setien optimistis dengan kekuatan timnya yang baru saja menang 5-0 dari Eibar di Liga Spanyol, akhir pekan lalu. “Kami melaju dengan baik. Kami punya banyak pemain bagus dan sedang dalam mental yang tepat,” tutur pelatih asal Spanyol itu.
Sejak dipegang Setien, ciri khas “Blaugarana” sebagai tim menyerang telah kembali. Penguasaan bola Barca nyaris selalu mencapai 70 persen di setiap laga. Ini lebih tinggi dibandingkan di era Valverde, yaitu rata-rata di bawah 60 persen.
Faktor Messi
Keyakinan Setien pun kian menguat karena membawa sang kapten Barca, Lionel Messi. Pemain terbaik sejagat tahun 2019 itu baru saja membungkus empat gol saat melawan Eibar. Dia sedang berada di performa puncak.
Kondisi itu berbahaya bagi Napoli yang tidak bisa diperkuat salah satu bek terbaik di dunia, Kalidou Koulibaly, akibat cedera. Ancaman Barca dikabarkan membuat Gattuso kesulitan tidur.
“Kami akan melawan tim dengan kekuatan terhebat. Ini akan menjadi laga yang sulit karena mereka tim yang lebih kuat dalam 10-15 tahun terakhir. Tetapi, kami tidak takut. Kami akan bermain dengan harga diri di kandang,” ucap Gattuso.
Napoli tidak akan menyerah begitu saja karena mereka bermain di kandang sendiri. Bagi tim tamu, Stadion San Paolo merupakan salah satu markas paling angker di Eropa. Juara bertahan Liverpool sempat menjadi korban kebrutalan di stadion itu, yaitu ditaklukkan Napoli 0-2 di laga penyisihan grup, September lalu.
“Ini tidak akan mudah untuk Napoli. Namun, pasukan Gattuso berhasil memenangkan enam dari tujuh laga terakhirnya. Melawan tim-tim besar seperti Liverpool dan Juventus di rumahnya, Napoli bisa membuktikan kekuatannya. San Paolo akan menjadi faktor lebih untuk membantu tim ini meraih malam indah,” kata jurnalis UEFA Vieri Capretta.(AFP/REUTERS)