Real Madrid lahir di pusat kerajaan Spanyol, sedangkan Barcelona dari puing-puing Catalunya. Kenyataan itu jadi paradoks pada salah satu rivalitas terbesar di sepak bola, ”el clasico” edisi ke-244, di Santiago Bernabeu.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
MADRID, SABTU — Bagi orang Catalan, Barcelona sudah seperti gereja. Klub yang bermarkas di pesisir laut ini menjadi tempat warga Catalunya mengekspresikan kebebasan dan kebanggaan yang mereka nilai direnggut pemerintahan Spanyol.
”Barca adalah gereja kami. Klub mewakili kultur Catalan. Di sini adalah cara terbaik kami menggambarkan bagaimana Catalunya sebenarnya kepada dunia luas,” kata Joan Laporta, Presiden Barca, pada 2003-2010 dalam buku El Clasico: Football’s Greatest Rivalry.
Wilayah Catalunya di timur laut Spanyol, termasuk Barcelona di dalamnya, memiliki sejarah pahit dengan pemerintah pusat di Madrid. Terbukti dari 92 persen warga yang menginginkan referendum Catalunya pada 2017 akibat perlakuan timpang dari segi ekonomi dan hak-hak lain.
Warisan kelam perang sipil pada pertengahan abad ke-20 masih tersisa. Saat itu, rezim Jenderal Fransisco Franco memberangus warga sekaligus budaya Catalan yang ikut melawan pemerintah. Hampir setengah abad bendera dan bahasa mereka dilarang di daratan Spanyol.
Karena itu, hanya Barca, klub terbesar di Catalunya, yang bisa menjadi alat perlawanan. Bahkan, sejak bayi, para kakek sudah mendaftarkan cucunya menjadi anggota klub sebagai wujud Barca adalah institusi utama melebihi institusi pemerintah.
”Blaugrana” terbentuk di antara ketidakadilan negara. Berbanding terbalik dengan sang rival, Real Madrid. Terletak di pusat pemerintahan, Madrid seperti ”anak emas” dari kerajaan Spanyol.
Madrid disematkan nama ”Real”, artinya kerajaan, dan mahkota di logo klub oleh Raja Alfonso XIII pada 1920. Penghormatan itu menunjukkan betapa glamornya mereka. ”Madrid seperti simbol sentral dari negara. Mereka adalah pusat. Sementara itu, Catalunya seperti tempat yang aneh,” kata Joan Mario Pou, pengamat olahraga Spanyol.
Keistimewaan yang diberikan pemerintah merupakan pemicu besar perpecahan Real dan Barca. Pemain legendaris Real, Alfredo Di Stefano, lahir dari skandal politis pada 1953. BBC mengabarkan, Stefano seharusnya menjadi pemain Barca. Namun, dia berakhir menjadi pemain Real setelah ada campur tangan Jenderal Franco.
Kebencian inilah yang menjadi latar pertarungan bertajuk ”El Clasico”. Sejarah pahit dan ketimpangan sosial ditambahkan dengan persaingan ketat prestasi membuat kisah dua tim ini tidak pernah tuntas.
Barcelonistas, pendukung Barca, punya dendam sebagai ”anak buangan”, sedangkan Madridistas, pendukung Madrid, ingin mempertahankan status ”penguasa negara”. ”Saya bisa merasakan atmosfer el clasico seminggu sebelum pertandingan. Rasanya seperti menuju final Piala Dunia. Rivalitas keduanya begitu kental,” kata mantan penyerang Barca, Eidur Gudjohnsen.
Dua ”manita”
El clasico edisi ke-244 berlangsung pada Senin (2/3/2020) dini hari WIB di markas Madrid, Santiago Bernabeu. Pertarungan ini akan kembali menjadi paradoks bagi keduanya.
Bernabeu, rumah Real, justru menjadi tempat pesta Barca pada empat laga terakhir. Madrid kalah empat kali beruntun di Bernabeu dalam empat edisi el clasico sebelumnya. Barca, tim dari kota yang kerap terpinggirkan, malah bisa mengacak-acak representasi ibu kota dengan mudah.
Marca menjelaskan, satu kemenangan lagi di Bernabeu akan membuat Barca kembali merasakan ”manita”. Julukan itu artinya jari kecil, yang merupakan gestur angka lima, yang dibuat skuad Barca saat menang 5-0 dalam duel kedua tim pada 1994.
Jika menang, ”Blaugrana” akan meraih dua ”manita”. Pertama, rekor kemenangan lima kali beruntun di Bernabeu. Kedua, Lionel Messi dan rekan-rekan kokoh di puncak klasemen dengan keunggulan lima poin.
Pelatih Barca Quique Setien berencana menggunakan strategi pria asli Catalan, Pep Guardiola, saat membawa Manchester City menaklukkan Madrid pada laga pertama babak 16 Besar Liga Champions, tengah pekan lalu. ”Apa yang dilakukan City bisa berguna untuk kami. Di samping itu, kami akan menyerang karena itu DNA kami,” ujarnya.
Barca akan mewujudkan ”manita” dengan datang bersama Messi, pencetak gol terbanyak di el clasico dengan koleksi 26 gol. ”Ketika Anda punya Messi, itu sama seperti memiliki dua atau tiga ratu di dalam catur,” ucap Setien memuji kehebatan pemainnya.
Paradoks semakin menghantui Madrid karena penampilan buruk pada babak 16 besar Liga Champions. Sebagai representasi utama Spanyol, mereka justru dibungkam City di kandang sendiri.
Pelatih Madrid Zinedine Zidane tidak mau tenggelam dalam tekanan tren kekalahan. ”Hati, kepala, dan bersatu. Kami butuh fans untuk bersama kami sejak menit pertama hingga terakhir. Kami akan bersama keluar dari masalah ini dengan memainkan sepak bola indah,” tuturnya.
Beban besar ada di pundak Zidane mengingat dalam lima laga terakhir mereka tiga kali kalah. Hasil el clasico akan sangat penting bagi tim ibu kota untuk kembali ke realitas sebagai penguasa Spanyol.