Pelatih Barcelona Quique Setien gagal memenuhi janji tampil ofensif di Santiago Bernabeu dalam "El Clasico", Senin dini hari WIB. Terjebak filosofi semu penguasaan bola Setien, Barca justru menjadi santapan Real Madrid.
Oleh
kelvin hianusa
·4 menit baca
MADRID, SENIN – Pelatih Barcelona Quique Setien sempat menjanjikan permainan menyerang seperti dilakukan Manchester City saat menaklukkan Real Madrid di Liga Champions. Namun, janji itu tidak terwujud dalam el clasico edisi ke-244, Senin (2/3/2020) dini hari WIB.
Setien justru memainkan "filosofi semu" yang membuat Barca pulang dari Stadion Santiago Bernabeu dengan rasa malu. Tidak seperti City yang memenangkan duel itu, Barca justru dipermalukan Madrid 0-2. Ini merupakan kekalahan pertama Barca di Bernabeu sejak terakhir kali 1.954 hari lalu.
Bek sekaligus kapten Madrid, Sergio Ramos, bahkan sampai bingung dengan strategi tim rival. Barca lebih banyak menguasai bola, yaitu 56 persen, tetapi tidak mengancam pertahanan timnya pada babak pertama.
Melihat itu, Pelatih Madrid Zinedine Zidane menginstruksikan anak asuhnya menekan pertahanan Barca sampai ke lini pertahanan mereka. “Kami putuskan menekan dan mencuri bola mereka (pada babak kedua). Kami mulai membuat peluang dan mencetak gol,” ungkap Ramos kepada Marca.
Madrid pun menghukum sang rival. Di paruh kedua, aksi penyerang muda Madrid Vinicius Junior membawa tuan rumah unggul lewat sepakannya yang memanfaatkan umpan Toni Kroos pada menit ke-71. Gol tambahan hadir pada menit injury time lewat pemain pengganti, Mariano Diaz.
Gaya Barca dan City sama sekali berbeda di Bernabeu. City, yang memainkan formasi 4-1-4-1, tampil lebih efektif di sepertiga akhir areal pertahanan lawan. Penguasaan bola “The Citizens” hanya 51 persen, tetapi mereka melesakkan total 16 tendangan. Sebanyak delapan peluang di antaranya tepat sasaran. Ancaman itu membuat Madrid tidak berkembang.
Sementara itu, Barca memulai laga dengan formasi 4-4-2 dengan duet penyerang Lionel Messi dan Antoine Griezmann. Mereka mendominasi laga itu, tetapi tidak mengancam. “Blaugrana” tidak agresif, hanya menghasilkan 9 kali tendangan. Adapun Madrid menciptakan 13 kali tembakkan.
Ketika ditekan, Barca "mati gaya". “Kami kalah karena kehilangan kontrol. Kami tidak tahu caranya ketika mereka mulai menekan man to man. Ini membuat kami sering tidak yakin ingin mengoper ke mana,” kata gelandang bertahan Barca Sergio Busquets.
Blaugrana berulang kali membangun serangan dari bawah yang berujung pada kegagalan. Keberadaan “La Pulga”, julukan Messi, tidak banyak menolong. Pencetak gol terbanyak dalam el clasico, yaitu 26 gol, ini terisolasi karena bola lebih banyak berada di lini pertahanan dan tengah.
Jurnalis olahraga Spanyol, Julio Maldonado, menganalisa, racikan strategi Setien jauh dari kata efektif. “Madrid lebih layak menang. Mereka menciptakan paling banyak momen terbaik di pertandingan ini,” jelasnya.
Kemenangan itu membuat Madrid berhasil mengkudeta Barca di puncak klasemen sementara Liga Spanyol. “Los Blancos”, yang kini unggul satu poin dari sang rival, bisa menentukan nasib juara di tangannya sendiri.
Filosofi semu
Goal.com menyebut kekalahan ini menunjukkan Setien tidak memiliki obat yang manjur untuk memenangkan laga. Barca gagal menang dengan skuad Madrid yang pincang tanpa bintang utamanya, Eden Hazard.
Setien menilai timnya jauh lebih baik daripada lawan di babak pertama. Sayangnya, mereka tidak bisa menemukan posisi yang tepat untuk melakukan penyelesaian akhir.
“Kadang kamu mencobanya dan gagal. Kami mencoba memindahkan bola secepat mungkin, tetapi gagal. Kami sempat menguasai pertandingan. Tetapi, banyaknya kesalahan umpan membuat kami kalah,” kata Pelatih Barca sejak Januari 2020 itu.
Setien dikenal sebagai pemuja permainan menyerang. Inspirasi utama gaya melatihnya adalah legenda Barca Johan Cryuff, penganut aliran “Total Football” yang juga merupakan guru dari Guardiola.
Meski demikian, sejak melatih Blaugrana, mantan pelatih Real Betis ini tidak pernah menampilkan gaya yang benar-benar menyerang. Timnya hanya terpaku pada penguasaan bola semata.
Meski demikian, sejak melatih Blaugrana, mantan pelatih Real Betis ini tidak pernah menampilkan gaya yang benar-benar menyerang. Timnya hanya terpaku pada penguasaan bola semata.
Dalam lima laga terakhir misalnya, Barca berhasil mendominasi permainan dengan rata-rata 67 persen penguasaan bola, jauh di atas tim peringkat kedua dalam penguasaan bola, Madrid (56,5 persen). Namun, jumlah tendangan yang dihasilkan dari dominasi itu hanya 10,4 kali, lebih rendah dari tim peringkat ke-12 La Liga, Osasuna (13,1 kali).
Pada masa keemasan Blaugrana, Guardiola bisa menyeimbangkan dominasi dengan kesuburan tim. Pada 2009, bersama duet Xavi Hernandez dan Andres Iniesta, Barca mendominasi 63 persen penguasaan bola saat menjalani el clasico di Bernabeu. Mereka memproduksi 17 tendangan yang berujung kemenangan telak, 6-2.
Setien seperti terjebak pada filosofinya sendiri. Pelatih berusia 67 tahun itu ingin mendominasi penuh pertandingan, tetapi lupa dengan tujuan akhir dari menyerang, yaitu mencetak gol. (AFP/REUTERS)