Federasi Tenis Internasional (ITF) memberikan penghargaan ”Player Commitment Award” kepada Chistopher Rungkat karena 20 kali lebih memperkuat Tim Davis Indonesia. Dedikasi Christo diharapkan jadi inspirasi petenis muda.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·4 menit baca
Dedikasi Chistopher ”Christo” Rungkat untuk Tim Davis Indonesia membuahkan penghargaan dari Federasi Tenis Internasional (ITF) berupa ”Player Commitment Award”. Melalui penghargaan itu, Christo mencoba mengalihkan tongkat estafet positif untuk petenis Indonesia lainnya.
”Saya bangga dengan penghargaan ini. Pertama kali bermain di Piala Davis pada 2007, tiga belas tahun kemudian masih bisa bermain,” ujar Christo yang menjadi bagian dari tim tenis Indonesia melawan Kenya pada babak play off Piala Davis Grup Dunia II di Stadion Tenis Gelora Bung Karno, Jakarta, 6-7 Maret.
Tampil sebagai tunggal kedua, Christo membuka pertemuan pertama kedua tim bereda zona itu dengan kemenangan atas Sheil Kotecha, 6-1, 6-2. Meski bersaing pada ganda putra dalam turnamen internasional ATP, dia, juga, selalu dipercaya bermain pada nomor tunggal ketika membela Tim Davis Indonesia.
Tak bisa dimungkiri, belum ada petenis lain yang menyamai kemampuan Christo, termasuk pada nomor tunggal. Dalam kejuaraan BNI Terbuka, November 2019, yang diikuti petenis-petenis terbaik Indonesia, misalnya, Christo menjuarai tunggal putra.
Penghargaan untuk pemain yang berkomitmen dalam Piala Davis diberikan kepada atlet yang 50 kali tampil di berbagai level atau 20 kali dalam pertandingan dengan sistem kandang-tandang. Christo memenuhi kriteria yang kedua. Penghargaan diberikan oleh perwakilan dari ITF, Martin Oosthuysen, sebelum pertandingan Indonesia melawan Kenya, Jumat (6/3/2020).
Termasuk laga melawan Kenya, petenis berusia 30 tahun itu telah 23 kali tampil bersama Tim Davis Indonesia. Setiap kali dipanggil ”Merah Putih”, petenis yang mengawali penampilan dalam Tim Davis pada 2007, pada tahun yang sama dalam karier di arene tenis profesional, ini selalu bermain.
Sebelum Christo, ada tiga petenis Indonesia yang tampil 20 kali atau lebih bersama Tim Davis. Mereka adalah Suwandi (33 kali), Bonit Wiryawan (29), dan Gondo Widjojo (20). Akan tetapi, dibandingkan dengan ketiganya, Christo memiliki persentase kemenangan tertinggi, yaitu 69 persen (38 kali menang, 17 kali kalah).
Penampilannya melawan Kotecha menjadi yang ke-36 bagi Christo dalam nomor tunggal. Dia menang dalam 24 pertandingan.
Mencontoh senior
Perjalanan Christo pada Piala Davis dimulai ketika Indonesia berhadapan dengan Hong Kong pada babak pertama Grup II Zona Asia/Oseania 2007. Dalam usia 17 tahun, dia menjadi yang termuda di tim ”Merah Putih”.
Dipimpin pemain paling senior, Suwandi, saat itu, Christo bergabung bersama Prima Simpatiaji dan Elbert Sie. Laga pertamanya adalah pada nomor ganda, duet dengan Suwandi, dan menang. Tampil pada nomor tunggal pada partai kelima, Christo kalah. Meski demikian, Indonesia tetap menang, 3-2.
”Saya banyak belajar dari para senior, terutama dari idola saya, Bonit Wiryawan. Dia adalah sosok yang sangat disiplin. Saya banyak belajar tidak hanya tentang sikap di lapangan, tetapi juga di luar lapangan. Apalagi, dulu, Indonesia sering berhadapan dengan tim-tim kuat,” tutur Christo.
Memasuki tahun ke-13 di Tim Davis Indonesia, petenis pertama Indonesia yang meraih gelar di ATP Tour itu (Christo/Andre Goransson (Swedia) menjuarai ganda putra ATP 250 Pune, India, Januari), berubah peran menjadi paling senior. Dia menjadi pemimpin bagi David Agung Susanto, yang hanya setahun lebih muda darinya; M Rifqi Fitriadi (21); dan Gunawan Trismuwantara (17).
Pengalaman dalam berbagai level kejuaraan berusaha ditularkan Christo kepada ”adik-adiknya” itu. Sudah menjadi rahasia umum, pada saat ini, Indonesia hanya memiliki Christo dalam turnamen profesional putra.
Kondisi sedikit lebih baik pada tenis putri. Aktifnya Beatrice Gumulya dan Jessy Rompies, serta petenis-peteni sebelumnya, dalam turnamen ITF dan WTA diikuti Aldila Sutjiadi dan Priska Madelyn Nugroho. Pada Januari lalu, Priska menjuarai ganda putri yunior Australia Terbuka (bersama Alexandra Eala/Filipina). Saat ini, bersama Aldila dan Janice Tjen (17 tahun), Priska membela Tim Piala Fed Indonesia dalam Grup I Zona Asia/Oseania.
Dalam beberapa kali pertemuan, Christo mengatakan, menjadi petenis profesional tak hanya membutuhkan dana yang selalu dikelukan sebagian besar petenis Indonesia. Faktor lebih penting dari itu adalah motivasi dan keinginan untuk terus berkembang meski harus mengorbankan sebagian besar waktu untuk tenis.
”Semoga penghargaan ini menjadi inspirasi bagi yang lain. Saya tidak akan selamanya main di Piala Davis. Saya ingin mengalihkan tongkat estafet positif kepada pemain lain,” ujar Christo.