“Perang” Calon Bintang MotoGP
Seri pertama Grand Prix 2020 di Sirkuit Losail, Qatar, menegaskan persaingan di kelas Moto2 yang sangat ketat. Balapan yang penuh kejutan itu bak “perang bintang" masa depan yang kelak menjadi penguasa takhta di MotoGP.
LOSAIL, SENIN - Persaingan kelas menengah di balap motor Grand Prix atau GP selalu mendidih. Balapan transisi sebelum promosi ke kelas elite, MotoGP, ini menjadi pertaruhan terakhir para bintang muda balap roda dua. Inilah peluang untuk promosi atau tenggelam.
Moto2, yang dulunya adalah kelas GP 250cc, menjadi kawah candradimuka para pebalap muda yang kini menjadi idola di MotoGP seperti Valentino Rossi, Marc Marquez, Maverick Vinales, Alex Rins, dan bintang muda Fabio Quartararo. Persaingan ketat di Moto2 itu ditegaskan oleh kemenangan Tetsuta Nagashima pada seri pembuka musim ini di Sirkuit Losail, Qatar, Minggu (8/3/2020 malam waktu setempat.
Berbeda dengan kelas MotoGP yang dibatalkan di seri itu menyusul wabah Covid-19 akibat virus korona baru, balapan Moto2 dan Moto3 tetap berlangsung di Qatar. Itu karena para pebalap di kedua kelas ini telah berada di Losail jauh-jauh hari untuk latihan pramusim 2020.
Adapun balapan MotoGP di Qatar batal terlaksana karena sejumlah tim, khususnya asal Italia, menolak kebijakan karantina selama minimal 14 hari yang diterapkan pemerintah setempat untuk menangkal infeksi baru virus Sars-Cov-2. Ketentuan karantina itu membuat banyak tim maupun pebalap MotoGP terkendala masuk ke Qatar dan menjalani seri perdana sesuai jadwal.
Tak ayal, raungan mesin dari motor-motor Moto2 yang memiliki kapasitas 765 cc dari Triumph menjadi daya tarik tersisa di GP seri Qatar tahun ini. Balapan motor dengan mesin tiga silinder itu berlangsung sengit, bahkan tidak terduga.
Nagashima, pebalap Jepang berusia 27 tahun, misalnya menjadi pusat kejutan dengan finis terdepan setelah start dari posisi ke-14 di balapan itu.
Pencapaian Nagashima, pebalap Moto2 sejak 2013 yang prestasi terbaiknya adalah finis ke-14 pada klasemen akhir tahun lalu, ibarat anomali di balapan pembuka GP musim 2020.
Ia mematahkan prediksi yang menggunggulkan para pebalap top di Moto2 seperti Jorge Navarro, Augusto Fernandez, Luca Marini, dan Lorenzo Baldassarri. Nagashima meraih kemenangan pertamanya berkat usaha keras melampaui batasan diri selama ini.
Pada usia yang tak lagi muda, motivasinya untuk semakin kompetitif tak pernah padam. Mentalitas itu mungkin akan membuatnya mencicipi kelas elite MotoGP suatu saat nanti, meskipun peluangnya kecil seiring usianya yang tak lagi muda.
“Sejak awal, saya mendorong diri lebih keras dan lebih keras lagi. Tetapi, saya berpikir tidak ada yang seperti ini. Tim mendorong saya karena tahun lalu saya sangat dekat dengan podium. Akan tetapi, saya tidak pernah sampai di sana (finis podium). Jadi, saya melupakan segalanya dan mendorong diri untuk menang atau justru kecelakaan,” ujar Nagashima dikutip Crash.
Sejak awal, saya mendorong diri lebih keras dan lebih keras lagi. Tim mendorong saya karena tahun lalu sangat dekat dengan podium. Akan tetapi, saya tidak pernah sampai di sana (finis podium). Jadi, saya melupakan segalanya dan mendorong diri untuk menang atau justru kecelakaan.
Start dari posisi ke-14 untuk memenangi balapan adalah pencapaian yang sangat mengesankan oleh Nagashima. Pebalap tim Red Bull KTM Ajo itu menyalip banyak pebalap. Usaha itu perlu kesabaran dan tekad kuat karena pebalap lain juga berjuang keras untuk kompetitif.
Menjaga konsistensi kecepatan selama balapan juga sangat sulit, salah satunya karena stamina yang menurun. Namun, Nagashima mampu melewati seluruh tantangan dan meraih podium tertinggi di Moto2 untuk pertama kalinya dalam karirnya. Sejak 2013, pencapaian terbaiknya di seri balapan adalah finis di posisi kelima, yaitu di Belanda dan Inggris, musim lalu.
Meskipun tidak memiliki banyak kesempatan promosi ke kelas elite MotoGP, mengingat usianya saat ini, daya juangnya yang sangat besar sangatlah penting di Moto2. Ia bisa menjadi teladan yang mendorong para pebalap muda di kelas Moto2 menaikkan kemampuannya.
Dengan pasokan mesin yang sama, Triumph 765cc, faktor pembeda di kelas ini hanya tersisa di dua hal, yaitu kemampuan para pebalap menaikan levelnya dan konstruksi sasis yang mewakili kompromi antara pebalap dan mesin.
Petarung berani
Moto2 memang dikenal sangat ketat, bahkan sejak era 250cc. Jarang terjadi dominasi oleh pebalap tertentu di kelas ini karena selisih waktu antarpebalap yang sangat ketat. Mereka semua adalah petarung yang berani mengambil resiko terjatuh untuk memanfaatkan celah kecil melewati lawan.
Kejeliaan melihat celah itu, serta kekuatan mental, telah diasah sejak mereka berlomba di jenjang sebelum GP, salah satunya CEV di Spanyol. “Pebalap Eropa lebih berani dan nekat. Mereka berani lebih rebah saat menikung dan masuk (menyalip) saat ada celah sempit. Mereka nekat, tetapi (tetap) rasional,” ujar Mario Suryo Aji, pebalap Indonesia di Kejuaraan Dunia Yunior Moto3 CEV saat bertemu di Sirkuit Ricardo Tormo, Valencia, Spanyol, November 2019 lalu.
Persaingan ketat di level GP Moto2 diakui Joe Roberts, pebalap tim American Racing. Menurutnya, Moto2 jauh lebih ketat dari MotoAmerika. Maka, tak heran dia sempat terkejut dengan kerasnya persaingan di balapan Moto2 pertamanya pada seri Ceko di Sirkuit Brno, 2017 lalu. Ia menilai, para pebalap di Moto2 sangat agresif dalam perebutan posisi. Itu tidak jarang membuat lawan-lawan, seperti dirinya, keluar lintasan.
“Saya pikir (Remy) Gardner merusaha mendorong saya keluar lintasan. Saya kemudian berpikir, oke, beginilah cara kita untuk bermain. Hal pertama yang bisa saya katakan adalah para pebalap di kejuaraan dunia (GP) sangat menyebalkan,” ujar Roberts yang akhirnya finis ke-10 setelah start dari posisi ke-29 dalam debutnya di Moto2 itu seperti dikutip MotoMatters.
Pebalap berusia 22 tahun itu melakukan lompatan besar di awal musim ini. Setelah mencetak rekor waktu lap tercepat di Sirkuit Losail, saat sesi latihan pertama, Roberts meraih pole position di Moto2. Dia finis di posisi keempat, yaitu pencapaian terbaiknya selama ini. Sebelumnya, ia tidak pernah finis di sepuluh besar.
Kunci lompatan performa Roberts adalah kombinasi dari hadirnya pelatih John Hopkins, motor baru dengan sasis Kalex, kemampuannya mengatasi tekanan, dan keberanian mengambil resiko. “Kami berjudi dengan ban depan (berkompon) lebih keras. Beberapa kali, pada tikungan ke kiri, saya kehilangan (cengkeraman ban) depan dan harus menyelamatkan (supaya tidak terjatuh),” ujar Roberts yang berkompromi dengan tidak memaksakan diri pada tikungan ke kiri di balapan itu.
Dinamika di Moto2 sangat cepat. Luca Marini—pebalap tim Sky Racing VR46 milik Valentino Rossi yang memimpin balapan sejak lap kedua hingga ke-14—kehilangan posisinya dengan sangat cepat saat balapan menyisakan enam lap. Dia kehilangan daya cengkeram seiring ausnya ban dan terjatuh di tikungan terakhir sebelum finis setelah dilewati oleh Jake Dixon.
“Bukan akhir yang saya inginkan. Saya memiliki start yang sangat bagus, merasa sangat nyaman dan menjaga waktu lap, tetapi tiba-tiba saya mulai kehilangan keyakinan dengan ban depan dan terpaksa kehilangan banyak posisi,” ujar Marini yang gagal meraih poin pada balapan ini.
Wakil Indonesia
Sementara itu, Andi Farid Izdihar, pebalap Indonesia yang membela Idemitsu Honda Team Asia, finis di posisi ke-22. Posisi itu lebih baik dari rekan setimnya, Somkiat Chantra dari Thailand, yang finis terbuncit di balapan itu, yaitu ke-25. Dari total 29 pebalap, ada empat yang tidak finis, termasuk Marini.
Andi, yang biasa disapa Andi "Gilang", memiliki tantangan besar untuk meraih poin pertamanya di Moto2. Target itu bisa dicapai dengan minimal finis di posisi ke-15. Pebalap yang dimatangkan di Asia Road Racing Championship, Asia Talent Cup, dan CEV itu berharap proses adaptasi dengan motor dan tim berlangsung cepat dan bisa kompetitif di ajang GP Moto2 musim ini.(ANG)