All England 2020 menjadi turnamen bulu tangkis paling karena digelar di tengah pembatalan dan penundaan kejuaraan lain karena penyebaran virus korona. Turnamen ini juga menggambarkan persaingan di OIimpiade Tokyo 2020.
Oleh
Yulia Sapthiani
·4 menit baca
Hampir setiap hari melalui akun media sosial, panitia penyelenggara turnamen bulu tangkis All England melakukan hitung mundur jelang turnamen yang akan berlangsung di Arena Birmingham, Birmingham, Inggris, pada 11-15 Maret ini. Hal ini dilakukan terutama setelah dibatalkannya turnamen Jerman Terbuka, yang seharusnya berlangsung 3-8 Maret.
Jerman Terbuka menjadi salah satu turnamen yang terdampak penyebaran virus korona (Coronavirus disease/Covid-19) di tengah kualifikasi Olimpiade Tokyo 2020. Ajang lain yang dibatalkan atau ditunda di antaranya Lingshui China Masters, Polandia Terbuka, dan Ciputra Hanoi Yonex Inernational Challenge. Adapun Kejuaraan Asia, 21-26 April, dipindah dari Wuhan, China, ke Manila, Filipina.
Karantina selama 14 hari atau larangan masuk bagi warga yang berasal dari China dan sekitarnya yang diterapkan berbagai negara, juga berdampak pada kejuaraan. Dengan peraturan itu, pemain China dan Hong Kong tak bisa mengikuti Kejuaraan Asia Beregum, yang menjadi kualifikasi Piala Thomas Uber Zona Asia, di Manila, Filipina, Februari.
Namun, demi rangkaian turnamen di Eropa pada Maret, khususnya All England, skuad China telah berlatih di Inggris sejak pertengahan Februari. Asosiasi Bulu Tangkis China (CBA) menilai, mereka tak dapat melewatkan All England dalam masa kualifikasi Olimpiade yang akan berakhir 26 April.
Diandalkan
Dari barisan pemain Indonesia, Hafiz Faizal/Gloria Emanuelle Widjaja, juga, mengandalkan All England demi target menempatkan dua ganda campuran Indonesia di Olimpiade. Mereka harus memanfaatkan All England semaksimal mungkin setelah kesempatan menambah poin di Jerman Terbuka hilang. Ada juga kekhawatiran turnamen kualifikasi lain menyusul dibatalkan atau ditunda.
Pelatih ganda campuran pelatnas bulu tangkis Richard Mainaky mengatakan, Hafiz/Gloria minimal harus menembus perempat final di Arena Birmingham untuk bertahan pada peringkat kedelapan. Dua pasangan pada delapan besar dalam daftar peringkat yang akan dikeluarkan 28 April menjadi syarat untuk mendapat dua wakil per nomor bagi masing-masing negara.
Menyadari persaingan berat sejak babak pertama, tanpa mengikuti turnamen pemanasan sebelumnya, Hafiz mengatakan, dia dan Gloria harus beradaptasi secepat mungkin dengan kondisi lapangan.
”Kesempatan latihan di lokasi harus dimanfaatkan sebaik mungkin agar kami bisa langsung tancap gas sejak laga pertama,” ujar Hafiz.
Di All England, ganda campuran Malaysia berperingkat ke-9 dan 11 dunia, Tan Kian Meng/Lai Pei Jing dan Goh Soon Huat/Lai Shevon Jemie, akan menjadi pesaing dalam perburuan poin. Belum lagi ancaman dari pasangan top dunia, seperti dua ganda campuran China yang menempati peringkat teratas, Zheng Siwei/Huang Yaqiong dan Wang Yilyu/Huang Dongping.
Pasangan Jepang Yuta Watanabe/Arisa Higashino, Dechapol Puavaranukroh/Sapsiree Taerattanachai (Thailand), dan rekan sepelatnas, Praveen/Melati Daeva Oktavianti, juga menjadi kandidat juara.
”Level persaingan ganda campuran kini sangat tinggi. Permainannya juga sangat cepat. Pada bulu tangkis, ganda campuran cukup bergengsi, berbeda dengan tenis,” komentar Gail Emms, juara dunia 2006 asal Inggris bersama Nathan Robertson, pada laman resmi BWF.
Gambaran Tokyo 2020
Persaingan tahun ini juga bisa memberi sedikit gambaran persaingan di Olimpiade Tokyo 2020. Pada 2019, sebagian besar juara All England tampil kembali menjadi yang terbaik dalam ajang tertinggi, Kejuaraan Dunia di Basel, Swiss. Mereka adalah Kento Momota (tunggal putra/Jepang), Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan (ganda putra/Indonesia), dan Zheng/Huang (ganda campuran/China).
Ditambah dengan juara tunggal dan ganda putri asal China, Chen Yufei dan Chen Qingchen/Jia Yifan, kelima pemain/pasangan itu kembali menjadi yang terbaik pada turnamen akhir tahun, Final BWF World Tour. Hal itu setidaknya menjadi gambaran bahwa hanya pemain-pemain bermental tangguh yang bisa mengatasi besarnya tekanan dalam ajang besar.
Maka, meski turnamen tahun ini kurang lengkap dengan absennya Momota, persaingan All England bisa menjadi gambaran persaingan di Tokyo, 24 Juli-9 Agustus. Momota belum bisa berlaga setelah mengalami kecelakaan lalu lintas usai menjadi juara Malaysia Masters, Januari.
Namun, seperti dikatakan tunggal putra Indonesia, Anthony Sinisuka Ginting, persaingan tunggal putra tak akan lebih mudah dengan absennya Momota. “Masih banyak pemain lain. Absennya Momota tidak menjadi satu keuntungan,” kata Anthony yang selalu gagal pada babak pertama dalam keikutsertaan pada All England tiga tahun terakhir.
Pemain ganda campuran, Praveen Jordan, juga mengingatkan dirinya sendiri untuk waspada sejak babak awal. ”Tekanannya lebih besar, semua ingin juara di All England. Apalagi, sejak babak pertama bisa bertemu lawan berat,” ujar Praveen, juara All England 2016 saat berpasangan dengan Debby Susanto.
Dengan bekal gelar juara Denmark dan Perancis Terbuka 2019, Praveen/Melati layak dimasukkan dalam kandidat juara ganda campuran tahun ini. ”Gelar di Denmark dan Perancis didapat setelah mengalahkan pemain-pemain top. Kami pikir, kalau di sana bisa, di All England juga seharusnya bisa,” kata Melati.
Pada ganda putra, nomor yang selalu menjadi andalan Indonesia dalam semua kejuaraan, Hendra/Ahsan dan Kevin Sanjaya Sukamuljo/Marcus Fernaldi Gideon, sama-sama berpeluang meraih gelar ketiga. Jika bisa melakukannya, mereka akan menyamai Li Yongbo/Tian Bingyi (China), ganda putra terakhir yang tiga kali menjuarai All England. Mereka juara pada 1987, 1988, dan 1991.
”Kami tidak terbebani harus juara, selangkah demi selangkah saja. Pada usia seperti kami, saatnya menikmati pertandingan,” kata Ahsan. Dengan bekal itulah, Hendra/Ahsan bisa bertahan pada persaingan papan atas meski tergolong ”pemain tua” dengan usia masing-masing 35 dan 32 tahun.