Lima pertandingan harus dijalani ganda putra Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan alias ”Daddies” untuk juara di Arena Birmingham, Inggris. Tiga pertandingan di antaranya adalah melawan pemain Jepang.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·4 menit baca
Perjalanan untuk mempertahankan gelar juara All England bagaikan persaingan dengan tim Jepang bagi Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan. Dari lima pertandingan yang harus dijalani untuk juara di Arena Birmingham, Inggris, tiga lawan bagi ganda putra berjulukan ”Daddies” itu adalah pemain Jepang.
Hiroyuki Endo/Yuta Watanabe, yang akan dihadapi pada perempat final, Jumat (13/3/2020) malam waktu setempat atau Sabtu dini hari waktu Indonesia, menjadi penantang ketiga beruntun asal Jepang bagi Hendra/Ahsan.
Sebelum berhadapan dengan ganda peringkat keenam dunia itu, ”para ayah” yang menjuarai All England 2014 dan 2019 tersebut melewati tantangan Akira Koga/Taichi Saito pada babak pertama dan Takuro Hoki/Yugo Kobayashi (babak kedua), masing-masing, dalam tiga gim.
Seperti dikatakan Hendra setelah mengalahkan Hoki/Kobayashi, 14-21, 21-15, 21-14, pada babak kedua, Kamis, lawan yang akan dihadapi semakin berat meski mereka memiliki keunggulan dalam statistik pertemuan. Hendra/Ahsan unggul 6-1 atas Endo/Watanabe dengan kemenangan yang didapat dalam lima pertemuan terakhir.
Uniknya, ganda nomor dua Jepang itu selalu menang dalam lima pertemuan terakhir, dari tujuh pertandingan, atas ganda Indonesia nomor satu dunia, Kevin Sanjaya Sukamuljo/Marcus Fernaldi Gideon.
Ketenangan dan permainan yang mengandalkan pukulan akurasi tinggi menjadi kekuatan Hendra/Ahsan saat menghadapi pemain Jepang yang terkenal paling ulet dibandingkan dengan atlet negara lain. Semangat dan intensitas permainan atlet Jepang tak pernah berkurang meski dalam kondisi tertinggal.
”Fokus latihan kami adalah memperkuat pertahanan dan akurasi pukulan karena sudah tidak mungkin meningkatkan kecepatan untuk mengimbangi pemain lain yang lebih muda,” kata Hendra sebelum berangkat ke Birmingham.
Ketenangan, yang marupakan wujud mental juara, berkali-kali membawa Hendra/Ahsan pada kemenangan dengan skor ketat. Di All England, mereka melakukannya ketika berhadapan dengan Koga/Saito. Dalam pertemuan pertama kedua pasangan itu, Hendra/Ahsan menang 12-21, 21-13, 25-23 meski unggul lebih dulu 20-17 pada gim ketiga.
Setiap kali melewati momen kritis, yang membuat penonton tegang, mereka, justru, selalu menanggapinya dengan tenang. ”Yang terjadi pada gim ketiga, ya, mereka mengejar perolehan poin kami,” canda Ahsan setelah memenangi babak pertama.
”Inginnya, sih, bisa menang dengan cepat, tetapi mau bagaimana lagi,” ujar Hendra setelah melewati tiga pertandingan dengan selisih skor tipis secara beruntun di Indonesia Masters, Januari.
Komentator bulu tangkis yang merupakan mantan pelatih bulu tangkis Denmark, Steen Pedersen, menilai, keunggulan berapa pun tak akan berpengaruh jika melawan Hendra/Ahsan. Dia mengatakan itu saat ”Daddies” memenangi final turnamen Final BWF World Tour 2019 atas Endo/Watanabe, 24-22, 21-19, setelah tertinggal 10-16 pada gim kedua.
Momen terbaik
Tak dapat dimungkiri, pengalaman tampil pada persaingan level tinggi telah membentuk mereka menjadi seperti sekarang. Di balik itu, seperti dikatakan pelatih ganda pelatnas bulu tangkis putra Herry Iman Pierngadi, motivasi dan kedisiplinan menjadi kelebihan Hendra/Ahsan meski masing-masing telah berusia 35 dan 32 tahun.
Latihan berporsi yang sama dengan ”adik-adiknya” di Pelatnas Cipayung, juga motivasi tak ingin kalah dari yang lebih muda, membuat mereka terlahir kembali. Pada 2019, Hendra/Ahsan menjuarai ajang-ajang besar, yaitu All England, Kejuaraan Dunia, dan Final BWF World Tour. Mereka menempati peringkat kedua, melampaui pesaing-pesaing muda.
Hendra, bahkan, menyebut gelar juara All England 2019 lebih berkesan dibandingkan dengan yang pertama didapatnya tahun 2014, juga, bersama Ahsan. ”Itu karena kami sudah tua dan saya cedera dalam dua pertandingan terakhir. Kami benar-benar tidak menduga bisa juara, targetnya adalah semifinal,” kata ayah dari tiga anak itu.
Hendra bermain dengan rasa sakit pada betis kanan sejak semifinal. Dia bahkan berjalan pincang akibat cederanya itu ketika berhadapan dengan salah satu pasangan Jepang yang sulit ditaklukkan, Takeshi Kamura/Keigo Sonoda. Sakitnya lebih terasa, justru, ketika dia bermain di bagian depan lapangan yang merupakan keahliannya.
Di final, taktik pun sedikit diubah. Hendra lebih banyak berperan di belakang lapangan meski jalannya pertandingan tak bisa ditebak. Apalagi, ganda putra adalah nomor dengan ritme paling cepat.
Selain cedera, sehari sebelum final, Hendra/Ahsan, juga, Tommy Sugiarto, harus pindah hotel. ”Kami selalu memesan hotel hingga Sabtu. Prinsipnya lebih baik memperpanjang daripada membatalkan. Biasanya tinggal perpanjang di hotel yang sama, tetapi saat itu kamarnya penuh jadi harus mencari hotel yang lain,” cerita Hendra.
Cara itu dilakukan Hendra/Ahsan karena mereka menjadi pemain magang di Pelatnas Cipayung sejak kembali ke pelatnas pada awal 2018. Dengan status yang memang mereka pilih tersebut, mereka berhak atas semua fasilitas latihan, tetapi harus membiayai sendiri turnamen.
”Jadi, selain diskusi dengan Ahsan di kamar, diskusi juga dilakukan lewat telepon dengan Koh Herry yang tak harus pindah hotel karena termasuk rombongan PBSI. Namun, akhirnya itu jadi pengalaman paling berkesan,” kata Hendra.