Jepang ”Ngotot” Gelar Olimpiade Tokyo
Olimpiade Tokyo menjadi satu-satunya perhelatan olahraga saat ini yang bergeming dari ancaman pandemi Covid-19. Pemerintah Jepang masih bersikeras menggelar ajang akbar itu sesuai rencana, yaitu Juli-Agustus mendatang.
TOKYO, SELASA —Di tengah maraknya penundaan banyak pentas olahraga, termasuk Piala Eropa, akibat pandemi Covid-19, Pemerintah Jepang bersikeras menggelar Olimpiade Tokyo 2020 sesuai jadwal semula. Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe bahkan mengklaim para pemimpin G-7 mendukung Jepang menggelar Olimpiade 2020 secara penuh atau lengkap.
Kendati demikian, Abe mengesampingkan pertanyaan awak media mengenai kepastian jadwal penyelenggaraan ajang empat tahunan tersebut. Menurut laporan The Japan Times, Selasa (17/3/2020), pimpinan negara G-7, yang terdiri dari Jepang, Inggris, Italia, Jerman, Perancis, Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Kanada, melakukan KTT G-7 via konferensi video, Senin malam.
Ini merupakan pertemuan pertama pimpinan negara-negara maju itu melalui saluran video. Semula, mereka berencana melakukan pertemuan itu di Amerika Serikat, tetapi lantas batal karena masifnya wabah Covid-19 secara global.
Dalam pertemuan itu, para pemimpin negara tersebut turut membahas mengenai gelaran Olimpiade dan Paralimpiade 2020. Seusai pertemuan itu, Abe mengatakan, dia mendapatkan dukungan untuk mengadakan Olimpiade dan Paralimpiade 2020 dalam bentuk lengkap.
Abe menilai mereka semua ingin membuktikan bahwa manusia dapat mengatasi virus korona baru yang tengah mewabah itu. Namun, ketika ditanya awak media tentang pembahasan mengenai jadwal gelaran kedua ajang itu, termasuk kemungkinan perubahan atau penundaan jadwal, Abe tidak menjawab dan justru mengulangi penjelasannya mengenai dukungan tersebut.
”Kami melakukan segala upaya untuk mempersiapkan ini (Olimpiade dan Paralimpiade 2020) dan kami ingin membidik acara secara lengkap. Ini sebagai bukti bahwa umat manusia dapat mengalahkan virus korona baru ini,” ujar Abe.
Menafsir pernyataan Abe, Menteri Urusan Olimpiade dan Paralimpiade Seiko Hashimoto menjelaskan, jawaban dan sikap Abe bukan berarti dua ajang itu akan ditunda. Penyelenggaraan secara lengkap justru bermakna dua ajang tersebut akan dilangsungkan sesuai agenda yang telah dirancang semula dan dihadiri penonton.
Sebagaimana jadwal semula, Olimpiade akan digelar pada 24 Juli hingga 9 Agustus, sedangkan Paralimpiade akan dilaksanakan pada 25 Agustus hingga 6 September. ”Tidak ada penundaan terhadap rencana penyelenggaraan Olimpiade dan Paralimpiade. Kami tetap menyiapkannya sesuai rencana yang ada,” kata Hashimoto yang penjelasannya serupa Kepala Sekretaris Kabinet Jepang Yoshihide Suga.
Konferensi video IOC
Wabah Covid-19 kian memprihatinkan dan menjadi krisis kesehatan di sejumlah negara. Sejauh ini, virus yang mulai merebak akhir 2019 itu telah menginfeksi sekitar 180.000 orang di sekitar 100 negara dan menyebabkan kematian sekitar 7.000 orang di seluruh dunia. Khususnya di Jepang, angka kasus positif korona 1.530 orang dan korban meninggal 31 orang.
Beberapa negara menerapkan sistem penutupan area (lokcdown). Mereka juga mengimbau masyarakatnya agar berdiam diri di dalam rumah atau tidak berkegiatan yang melibatkan banyak orang. Sejumlah kegiatan olahraga pun terimbas. Banyak kualifikasi Olimpiade 2020 yang ditunda. Kompetisi olahraga profesional dan turnamen/kejuaraan internasional pun tak sedikit yang ditangguhkan hingga ditiadakan sama sekali.
Selain menjadi pokok bahasan pertemuan pimpinan G-7, berdasarkan laporan Straits Times, Selasa, situasi itu pun memicu anggota Dewan Eksekutif Komite Olimpiade Internasional (IOC) bersama pengurus federasi olahraga internasional mengadakan pertemuan yang tak terjadwal via saluran video Selasa ini. Namun, pertemuan itu bersifat tertutup.
Kendati demikian, tidak ada keputusan penting yang dihasilkan dari pertemuan tersebut. IOC justru mengklaim itu hanya dialog rutin pemangku kepentingan jelang penyelenggaraan Olimpiade dan Paralimpiade. ”Sejak situasi ini mulai berkembang beberapa minggu lalu, kami terus-menerus melakukan pertemuan tentang perkembangan terakhir. Ini adalah pertemuan reguler untuk berbagi informasi,” bunyi keterangan IOC.
Terlepas dari itu, seusai pertemuan dengan federasi olahraga internasional pada pekan lalu, Direktur Olahraga IOC Kit McConnell tidak menutup kemungkinan adanya perubahan proses atau sistem kualifikasi. Perubahan dapat mencakup perpanjangan periode kualifikasi, tetapi tidak lebih dari 30 Juni.
Kemungkinan akan ada peninjauan ulang pula mengenai alokasi kuota atlet dan penghapusan mengenai kriteria tertentu. ”Pengurus federasi internasional sudah berupaya bertindak cepat. Jika diperlukan, atas nama Dewan Eksekutif IOC, kami akan menyetujui perubahan sistem pada kualifikasi,” ujar McConnel.
Sikap ngotot Abe ataupun Pemerintah Jepang untuk tidak menunda gelaran Olimpiade dan Paralimpiade 2020 boleh jadi karena harga mahal yang telah dikeluarkan negaranya untuk menyiapkan pesta olahraga yang berasal dari Yunani tersebut. Jepang sudah menghabiskan anggaran 12 miliar dollar AS atau setara Rp 180 triliun dan mengundang sponsor domestik bernilai lebih dari 3 miliar dollar AS untuk menyiapkan gelaran itu.
Selain kerugian materil, bagi Abe, penundaan, bahkan pembatalan, gelaran akan turut mempertaruhkan citra politiknya. Apalagi, dia menjadi sosok utama di balik terpilihnya Jepang sebagai tuan rumah Olimpiade dan Paralimpiade 2020.
Abe memimpin negaranya ketika menawarkan diri menjadi tuan rumah ajang itu pada pemaparannya di Buenos Aires, Argentina, pada 2013. Ia bahkan juga hadir dengan pakaian karakter video game, Super Mario, untuk mempromosikan Tokyo 2020 dalam penutupan Olimpiade Rio de Janeiro, 2016.
Kendati demikian, pengamat politik Jepang untuk Teneo Intelligence di Washington, Amerika Serikat, Tobias Harris, menyampaikan, dampak penundaan Olimpiade dan Paralimpiade 2020 secara politik telah berubah.
Pada awal krisis kesehatan di Jepang, penundaan kedua ajang itu mungkin akan menjadi penilaian negatif untuk Abe di mana dia akan dianggap gagal mengelola kondisi yang ada. ”Namun, karena krisis kesehatan itu sudah bersifat global, penundaan Olimpiade dan Paralimpiade 2020 justru sangat diperlukan untuk menyelamatkan rakyat Jepang,” kata Harris.
Namun, karena krisis kesehatan itu sudah bersifat global, penundaan Olimpiade dan Paralimpiade 2020 justru sangat diperlukan untuk menyelamatkan rakyat Jepang.
Rakyat minta ditunda
Sejumlah lembaga dan media massa di Jepang pun telah melakukan survei mengenai tanggapan rakyat Jepang terkait keberlanjutan Olimpiade dan Paralimpiade 2020. Survei oleh surat kabar Asahi pada Selasa menunjukkan, 63 persen responden di seluruh Jepang ingin kedua ajang itu ditunda. Adapun hanya 23 persen responden yang ingin itu tetap dilakukan sesuai rencana.
Jejak pendapat serupa dilakukan oleh Kyodo News yang terbit pada Senin. Hasilnya, 70 persen responden di seluruh Jepang berpendapat Tokyo tidak mungkin menggelar Olimpiade dan Paralimpiade 2020 sebagaimana jadwal yang sudah dirancang. Jejak pendapat oleh NHK pada 6-9 Maret juga menunjukkan, 45 persen responden di seluruh Jepang menentang Olimpiade dan Paralimpiade 2020 dilanjutkan sesuai rencana, sementara 40 persen mendukung berjalan sesuai rencana awal.
Dengan situasi darurat seperti sekarang, banyak pihak di luar Jepang meminta pemerintah setempat mempertimbangkan usulan penundaan tersebut. Pasalnya, memaksakan Olimpiade tetap dilaksanakan seperti jadwal semula justru akan berdampak negatif untuk penyelenggara, masyarakat setempat, dan para tamu yang datang.
Jika digelar tanpa penonton dengan agenda semula, itu tetap memberikan dampak buruk terhadap perekonomian Jepang karena tidak ada nilai keuntungan yang didapat. Kalau tetap digelar dengan penonton dan sesuai rencana semula, itu akan meningkatkan risiko penyebaran virus yang belum diketahui kapan wabahnya akan berakhir.
”Sangat disayangkan, mereka (Jepang) telah membangun beberapa bangunan (arena) yang indah untuk Olimpiade. Akan tetapi, lebih baik gelaran itu ditunda daripada melihat arena-arena kosong. Jika Anda membatalkannya, Olimpiade bisa diadakan setahun kemudian,” kata Presiden Amerika Serikat Donald Trump dikutip Daily Mail.
Presiden Komite Olimpiade Perancis (CNOSF) Denis Masseglia mengutarakan, ada baiknya Jepang melihat perkembangan korona hingga Mei mendatang. Jika pandemi itu masih berkecamuk pada Mei, lebih bijaksana menunda kedua gelaran tersebut. ”Jika kita masih dalam krisis kesehatan pada akhir Mei, saya tidak bisa membayangkan bagaimana Olimpiade bisa berlangsung (kalau dilakukan sesuai rencana semula),” ujarnya.
Terlepas dari itu, Masseglia menilai Jepang sangat berusaha keras agar bisa menjadi tuan rumah kedua gelaran itu tepat waktu. Paling tidak, mereka melakukan upaya pencegahan penyebaran virus secara masif.
”Sekembali dari Jepang pada Sabtu (14/3/2020), saya melihat Jepang memang melakukan penanganan korona yang berbeda dengan di Eropa. Mereka sangat berhati-hati. Ada cairan pembersih di mana-mana. Semua orang menggunakan masker dan beraktivitas nyaris secara normal,” pungkasnya. (AP/AFP/REUTERS)