Di tengah keraguan terhadap pelaksanaan Olimpiade Tokyo 2020, Jepang kembali menunjukkan optimismenya. Disimbolkan melalui api Olimpiade yang dibawa dari Yunani, optimisme itu berkobar.
Oleh
D HERPIN DEWANTO PUTRO
·4 menit baca
ATHENA, KAMIS — Pandemi Covid-19 yang terus meluas ke beberapa negara membuat Olimpiade Tokyo 2020 terancam ditunda. Para atlet kesulitan berlatih, kualifikasi sejumlah cabang olahraga terganggu, dan tes doping sulit dilakukan. Namun, Jepang tetap optimistis dan telah membawa pulang api harapan dari Yunani, Kamis (19/3/2020).
Optimisme itu terpancar dalam acara penyerahan api Olimpiade di Stadion Panathenaic, Athena, Kamis kemarin. Mantan perenang Jepang yang tampil pada Olimpiade Atlanta 1996, Naoko Imoto, menerima obor api abadi yang diambil di Olympia, tempat asal Olimpiade kuno itu, dari Ketua Komite Olimpiade Yunani Spyros Capralos.
Seremoni tersebut berlangsung senyap karena stadion yang menjadi lokasi upacara pembukaan dan penutupan Olimpiade modern pertama tahun 1896 itu tidak dihadiri penonton agar tidak meningkatkan risiko penyebaran Covid-19. Durasi acara pun dipersingkat menjadi kurang dari 1 jam.
Imoto kemudian menyimpan api itu ke dalam lentera kecil untuk dibawa pulang ke Jepang. Api tersebut dijadwalkan tiba di Pangkalan Udara JASDF Matsushima di Perfektur Miyagi, Jumat (20/3/2020). Pawai obor akan dilanjutkan pada 26 Maret, sedangkan Olimpiade sesuai dengan jadwal semula akan berlangsung pada 24 Juli hingga 9 Agustus.
Api yang dibawa ke Jepang itu, menurut Ketua Panitia Penyelenggara Olimpiade Tokyo 2020 Yoshiro Mori, menggambarkan konsep yang mereka rencanakan. ”Konsep kirab obor nanti adalah ’harapan menerangi jalan’. Saya harap cahaya api ini akan menyinari hati warga Jepang dan menyibak awan gelap,” kata Mori melalui pesan yang disampaikan lewat rekaman video dalam acara tersebut.
Mori menegaskan, Jepang berkomitmen menyiapkan pelaksanaan Olimpiade Tokyo 2020 sesuai jadwal. Ia mengajak publik untuk tetap optimistis dan meyakini bahwa situasi akan membaik sebelum Olimpiade berlangsung.
Namun, suasana sunyi di stadon yang seluruh tribunenya dilapisi marmer putih itu cukup membuat publik ragu Olimpiade bisa berjalan tepat waktu. Apalagi, hingga Kamis, kasus positif Covid-19 secara global terus meningkat lebih dari 200.000 kasus. Angka kematian menembus 9.000 jiwa. Hampir semua negara yang terdampak sudah melakukan pembatasan.
Kondisi ini menyulitkan para atlet untuk berlatih di negara masing-masing. Atlet anggar Amerika Serikat, Race Imboden, mengaku hanya bisa berlatih ringan di garasi rumahnya. Ia tidak bisa berlatih seperti biasa karena pemerintah mewajibkan penduduk untuk tetap tinggal di rumah untuk menghentikan penyebaran virus Covid-19.
Padahal, Imboden membutuhkan pelatih dan lawan tanding yang bisa didapatkan di gedung olahraga. Namun, berlatih di gedung olahraga tidak memungkinkan untuk saat ini. ”Sayangnya, anggar adalah olahraga tarung sehingga kami membutuhkan kehadiran orang lain saat berlatih,” kata Imboden, seperti dikutip harian USA Today.
Atlet tidak hanya kesulitan untuk berlatih, tetapi juga mengikuti ajang kualifikasi menuju Olimpiade. Banyak ajang kualifikasi yang akhirnya harus ditunda hingga akhir Juni. Bahkan, kualifikasi untuk cabang olahraga induk, seperti atletik, senam, dan renang, juga belum tuntas.
Saat ini baru 57 persen dari total 11.000 atlet yang sudah lolos kualifikasi. ”Jika kami tidak diizinkan berlatih, apa yang harus kami lakukan? Bagaimana kami bisa lolos kualifikasi Olimpiade?” kata atlet lontar martil AS, Gwen Berry.
Persoalan lainnya adalah tes doping terhadap para atlet masih terkendala. Ketika banyak negara sedang menutup akses dan memberlakukan pembatasan jarak sosial, tes akan sulit dilakukan. Potensi kecurangan pun akan sangat tinggi.
Kutukan 40 tahun
Berbagai persoalan yang menghantui pelaksanaan Olimpiade Tokyo 2020 ini seolah membenarkan adanya ”kutukan” yang berlangsung selama 40 tahun sekali. Jepang pun merasakannya sebanyak dua kali.
Olimpiade 1940 di Jepang batal karena Perang Dunia II dan 40 tahun berikutnya, Olimpiade Moskwa 1980 diboikot akibat peperangan antara Uni Soviet dan Afghanistan. Kini bukan perang yang mengancam Olimpiade, melainkan virus.
”Ini adalah masalah yang terjadi setiap 40 tahun. Olimpiade dikutuk dan faktanya seperti itu,” ujar Wakil Perdana Menteri Jepang Taro Aso, seperti dikutip The Guardian. Meski demikian, Aso masih merasa optimistis Olimpiade bisa berjalan lancar apabila semua negara mendukung.
Komite Olimpiade Internasional (IOC) pun turut berkeras menegaskan bahwa penundaan atau bahkan pembatalan olimpiade belum diperlukan. ”Semua orang menyadari kami masih punya waktu lebih dari empat bulan untuk persiapan,” kata Presiden IOC Thomas Bach.
Untuk memastikan atlet yang tampil di Olimpiade, Bach meminta federasi internasional setiap cabang mengajukan proposal baru pada akhir Maret, mengenai langkah yang dilakukan untuk memenuhi kuota jumlah atlet. Sejauh ini dikabarkan belum ada federasi yang menanyakan kepada Bach, apakah Olimpiade dipertimbangkan untuk ditunda.
”Kami sangat optimistis Olimpiade Tokyo dapat digelar sesuai dengan rencana,” kata Nenad Lalovic, Presiden Perastuan Gulat Dunia (UWW), yang juga salah satu anggota Komite Eksekutif IOC yang berpengaruh.
Namun, Ketua Atletik Dunia Sebastian Coe kepada BBC membuka kemungkinan penundaan Olimpiade. ”Situasi berubah setiap jam. Ini bukan keputusan yang harus kita tentukan saat ini,” ujarnya.
Jika Olimpiade ditunda atau dibatalkan, IOC, Pemerintah Jepang, dan semua pihak yang terlibat akan rugi besar. Tokyo telah mengeluarkan 12,6 miliar dollar AS atau hampir Rp 200 triliun. Sementara itu, 73 persen pendapatan IOC dari Olimpiade (periode 2013-2016) berasal dari penjualan hak siar televisi. (AP/AFP/REUTERS)