Ungkapan penundaan Olimpiade Tokyo 2020 yang semula hanya berupa komentar pribadi telah menjadi sikap federasi, komite, dan organisasi. Desakan penundaan sudah datang dari para atlet sejak pekan lalu.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
TOKYO, MINGGU — Kehadiran api abadi belum cukup membuat tuan rumah Jepang bisa menatap Olimpiade Tokyo 2020 dengan tenang. Beberapa hari jelang dimulainya perjalanan kirab obor, 26 Maret, pelaksanaan ajang kembali dipenuhi tanda tanya setelah permintaan penundaan menguat dari berbagai negara, termasuk dari dalam negerinya.
Datangnya api Olimpiade, sejak Jumat, membuat warga Jepang begitu antusias. Akhir pekan kemarin, sekitar 50.000 warga mengantre melihat api yang ditampilkan di Stasiun Sendai, Prefektur Miyagi. Antrean mengular hingga setengah kilometer selama beberapa jam.
Namun, antusiasme serupa tidak terlihat dari para peserta, baik atlet maupun komite Olimpiade berbagai negara. Protes meminta penundaan ajang mengepung tuan rumah yang masih optimistis memulai Olimpiade pada 24 Juli-9 Agustus 2020 di tengah pandemi Covid-19.
Ungkapan penundaan yang semula hanya berupa komentar pribadi telah menjadi sikap federasi, komite, ataupun organisasi. Komite Olimpiade Brasil (COB), yang pernah menghadapi ketidakpastian penyelenggaraan Olimpiade Rio 2016 akibat virus zika, turut meminta ajang ditunda.
Presiden COB Paulo Wanderley menyatakan, impian terbesar para atlet adalah bersaing di Olimpiade dengan kondisi terbaik mereka. ”Sebagai mantan atlet dan pelatih judo, saya memahaminya. Sangat jelas, momen saat ini akan menghadang mimpi tersebut menjadi nyata,” katanya dalam Insidethegames.
Pernyataan serupa juga ditegaskan Komite Olimpiade Norwegia dan Komite Olimpiade Amerika Serikat. Di AS, pernyataan juga disampaikan federasi cabang olahraga, seperti renang dan atletik, melalui surat resmi ke komite negaranya.
Dalam surat itu, Ketua Federasi Renang AS Tim Hinchey menuliskan, atletnya berada dalam tekanan mental karena tidak bisa mempersiapkan diri dengan baik ke ajang terbesar dalam karier mereka. ”Tentunya kebaikan atlet merupakan prioritas utama,” katanya.
Di AS, kebijakan pembatasan fasilitas umum membuat dua perenang terbaik, Katie Ledecky dan Simone Manuel, tidak bisa berlatih nyaris seminggu akibat keterbatasan kolam latihan. Tempat latihan mereka, di Universitas Stanford, ditutup akibat Covid-19. Untuk sementara, kedua atlet pengoleksi 10 medali Olimpiade itu harus berlatih di klub olahraga lokal yang terkenal dengan fasilitas berkuda.
Bagi atlet elite, terutama renang, tidak mungkin libur lebih dari dua hari mendekati ajang besar. ”Itu sangat memengaruhi performa keseluruhan. Renang adalah tentang rutin gerakan. Latihan sangat berpengaruh. Saya ragu atlet terbaik kami bisa bersaing di Olimpiade,” ucap pelatih kepala tim renang putri AS, Greg Meehan, kepada Washington Post.
Desakan penundaan datang dari para atlet sejak pekan lalu. Gelombang protes dimulai dari atlet asal Inggris Raya, Guy Learmonth, hingga atlet lompat galah Yunani, Katerina Stefanidi.
Ketidaksamaan realitas dengan harapan Komite Olimpiade Internasional (IOC) membuat atlet gelisah. Menurut atlet saptalomba asal Inggris, Katarina Johnson, IOC meminta atlet mempersiapkan diri sebaik mungkin. Namun, pada kenyataannya, pemerintah di masing-masing negara punya kebijakan berbeda menangani Covid-19. ”Pemerintah kami mengisolasi latihan dan gim. IOC dan pemerintah berseberangan,” ungkapnya.
Asosiasi dayung dan panahan Jepang tidak mempermasalahkan seandainya Olimpiade ditunda. Pernyataan itu seperti mendukung ungkapan anggota Komite Olimpiade Jepang (JOC) Kaori Yamaguchi yang juga meminta ajang ditunda. Profesor dari Universitas Tsukuba tersebut menyampaikan penyelenggara bisa menempatkan atlet dalam bahaya.
Olimpiade, menurut New York Times, merupakan bisnis miliaran dollar AS. Akan tetapi, jantung dari ajang ini adalah atlet. Karena itu, sangat masuk akal atlet menyuarakan permintaan penundaan. Mereka merasa adanya ketidakadilan.
Skema pembatalan
Sebelumnya, PM Shinzo Abe menyampaikan Olimpiade tidak akan ditunda. Namun, di belakang layar, opsi penundaan ternyata diam-diam mulai disiapkan tuan rumah sebagai reaksi dari protes atlet dan komite.
”Akhirnya, kami diminta membuat simulasi jika penundaan terjadi. Kami membuat rencana alternatif, rencana B, C, D. Untuk melihat perbedaan jeda waktu (terbaik) untuk penundaan,” kata salah satu sumber yang dirahasiakan, yakni ofisial yang bekerja membuat skenario bersama JOC.
Menurut media lokal Jepang, Nikkei, IOC akan kembali menggelar rapat penting pekan ini. Sebelumnya, IOC telah mengadakan telekonferensi dengan komite berbagai negara pekan lalu. Namun, tidak ada keputusan terkait penundaan.
Presiden IOC Thomas Bach mengatakan, perkembangan Olimpiade akan terus bergulir. ”Kamu tidak bisa menunda Olimpiade seperti layaknya pertandingan sepak bola pada Sabtu depan. Apa yang terjadi bulan depan berbeda dengan empat bulan kemudian. Semua masih menunggu perkembangan situasi,” katanya.
IOC sendiri sudah berpengalaman dengan gangguan terhadap penyelenggaraannya. Sebelumnya, mereka telah membatalkan Olimpiade pada 1916, 1940, dan 1944 akibat perang dunia. Mereka juga menyelesaikan persoalan pemboikotan Olimpiade Moskwa 1980 dan Los Angeles 1984.
Wakil Presiden Panitia Penyelenggraa Tokyo 2020 Endo Toshiaki menjelaskan, keputusan akhir penundaan bukan beradap pada pihaknya, melainkan IOC. Mereka selaku penyelenggara hanya mencoba menyiapkan ajang ini sesuai jadwal yang sudah ditentukan.
Adapun perjalanan kirab obor akan dimulai pada 26 Maret dari Prefektur Fukushima. Kirab obor akan melewati 47 prefektur selama 121 hari dengan tujuan akhir di tempat penyelenggaraan, Tokyo. (AP/REUTERS)