Pada saat kompetisi sepak bola terhenti akibat pandemi Covid-19, para pemain merasa bosan, frustrasi, dan cemas, karena terlalu lama terkurung di dalam rumah. Klub harus bertindak cepat mengatasi hal ini.
Oleh
Herpin Dewanto Putro
·4 menit baca
MADRID, SENIN - Kompetisi sepak bola di Eropa dan hampir di seluruh dunia telah berhenti sejak satu bulan lalu akibat pandemi Covid-19. Ketika seluruh pemain diwajibkan berada di dalam rumah, mereka masih bisa menjaga kebugaran tubuh. Namun, tidak mudah bagi mereka untuk menjaga kesehatan mental.
Para pemain terbiasa menjalani jadwal yang sangat padat untuk berlatih maupun bertanding. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu bersama maupun bersosialisasi dengan keluarga maupun teman lainnya. Tubuh mereka selalu bergerak dan segala aktivitas yang dilakukan bisa menekan rasa penat.
Namun, ketika negara-negara di Eropa menerapkan penutupan wilayah, seluruh rutinitas itu ikut terhenti. Para pemain praktis terkurung di dalam rumah selama berhari-hari sambil menjalani rutinitas yang lama-lama membosankan. Itu ikut mewakili kondisi yang dirasakan sebagian besar orang di seluruh dunia saat ini.
Aktivitas yang terbatas di dalam rumah kemudian mendorong para pemain mencari kesenangan yang akhirnya bisa merugikan mereka. Penyerang sayap Real Madrid, Eden Hazard, misalnya, berusaha keras untuk menahan diri tidak pergi ke dapur dan makan roti sebanyak-banyaknya.
“Ternyata tidak mudah. Situasi ini sangat rumit bagi saya,” ujarnya kepada RTBF, Senin (13/4/2020).
Di Inggris, kapten Aston Villa, Jack Grealish, sampai mendapat sanksi berupa denda dari klub karena keluyuran ke rumah temannya pada akhir Maret lalu. Sialnya, ia tertangkap kamera karena berjalan di dekat lokasi sebuah tabrakan mobil. Tindakannya melanggar aturan berdiam diri di rumah itu pun akhirnya terungkap.
Grealish kemudian meminta maaf melalui media sosial dan mengakui bahwa ini merupakan masa yang sulit bagi semua orang untuk terus bertahan di rumah. “Teman saya menelepon dan mengundang saya datang ke rumahnya. Bodohnya, saya menyetujuinya,” ujar Grealish dikutip The Guardian.
Beberapa hari kemudian, pemain Manchester City, Kyle Walker, juga mendapat sanksi dari klub karena nekat menggelar pesta di rumahnya. Sama seperti Grealish, Walker pun hanya bisa minta maaf dan pasrah menerima hukuman.
Tekanan psikis yang lebih hebat juga dirasakan para pemain tim nasional China. Hampir sepanjang Maret lalu, mereka “mengungsi” ke Dubai untuk menjalani latihan. Namun, situasi tidak lebih baik karena Dubai juga dilanda wabah yang sama.
“Selama di Dubai, para pemain dan staf merasa sangat tertekan secara psikis. Setiap orang merasa gelisah, ingin pulang, dan selalu merasa khawatir mengenai keselamatan diri,” ujar pelatih timnas China, Lie Tie. Pada 23 Maret, mereka bisa pulang ke China dan kemudian menjalani karantina lanjutan.
Peran klub
Akhir Maret lalu, penyerang Barcelona, Antoine Griezmann, sudah mengungkapkan ketakutannya. “Saya sudah merindukan sepak bola. Sekarang tidak ada lagi yang bisa kami lakukan. Saya pun tidak tahu kapan kompetisi bisa dilanjutkan lagi,” ujarnya.
pemain masih harus lebih lama lagi dalam menghadapi tekanan psikis dan klub harus segera bertindak untuk menjaga kesehatan mental para pemainnya.
Dua pekan kemudian, pernyataan Griezmann masih sangat relevan karena situasi belum berubah. Sepak bola masih terhenti dan berada dalam ketidakpastian kapan akan bergulir kembali. Artinya, pemain masih harus lebih lama lagi dalam menghadapi tekanan psikis dan klub harus segera bertindak untuk menjaga kesehatan mental para pemainnya.
Gary Bloom, psikoterapis olahraga di Oxford dan London, mengingatkan bahwa banyak pemain yang enggan mengatakan langsung kepada klub bahwa mereka mengalami masalah psikis. “Saat ini adalah periode yang mudah membuat atlet dan staf merasa tertekan dan klub sebenarnya punya peranan besar dalam hal ini,” ujarnya dikutip The Independent.
Tor-Kristian Karlsen, analis sepak bola asal Norwegia dalam artikelnya di ESPN, mengatakan, tidak semua klub sudah siap menghadapi situasi ini. Klub-klub yang sebelumnya sudah menaruh perhatian besar terhadap kesehatan mental pemain dengan mudah bergerak cepat memantau setiap pemain secara rutin.
Seorang staf sebuah klub elite di Eropa yang tidak disebutkan namanya, mengatakan kepada Karlsen bahwa sebelum pandemi terjadi, ia bertugas untuk menemani para pemain pada waktu luang. Ia mengajak pemain tertentu ke bioskop atau ke tempat lain. “Saya seperti seorang pekerja sosial,” kata staf tersebut.
Tugas yang lebih sulit adalah menjaga para pemain asing tetap bahagia. Mereka datang merantau dan biasanya tinggal jauh dari keluarga besar. Mereka akan selalu dihantui kecemasan mengenai kondisi keluarganya. Perasaan itu pun tidak sepenuhnya terobati meski sudah ada teknologi telekonferensi. (AFP)