Newcastle United akan memiliki pemilik baru. Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman, segera menguasai ”The Magpies” untuk mengganti Mike Ashley yang telah memimpin klub sejak 2007.
Oleh
M IKHSAN MAHAR
·4 menit baca
NEWCASTLE, KAMIS — Selama 13 tahun di bawah kepemilikan Mike Ashley, Newcastle United masuk ke dalam periode kelam. Ashley membuat ”The Magpies” menjauhi tradisi asli klub itu, yaitu sebagai klub besar Liga Inggris sekaligus langganan masuk zona Eropa pada kurun 1990-an hingga awal 2000-an.
Alhasil, rencana akuisisi saham mayoritas klub kepada Dana Investasi Publik Arab Saudi menghadirkan harapan baru bagi para penggemar klub yang bermarkas di Stadion St James Park itu.
Pada dekade pertama Liga Primer Inggris, yang dimulai pada 1992, Newcastle merupakan salah satu klub pesaing titel kompetisi domestik di ”Negeri Ratu Elizabeth”. Pemain legendaris, seperti David Ginola, Les Ferdinand, Alan Shearer, hingga Michael Owen, pernah bertarung di lapangan hijau demi panji The Magpies.
Meskipun cukup disegani, pada abad ke-21, Newcastle baru meraih gelar juara Piala Intertoto edisi 2006.
Setahun setelah merengkuh gelar kasta ketiga kompetisi antarklub Eropa itu, Ashley menjadi pemilik saham mayoritas ”The Magpies” dan membawa klub ke periode buruk. Dua kali klub itu terdegradasi dari Liga Primer pada 2009 dan 2016. Hingga di pekan ke-29 Liga Inggris musim ini, Newcastle berada di peringkat ke-13.
Di tengah masa kepemimpinan Ashley, para ”Toon Army”, sebutan penggemar Newcastle, sudah berkali-kali melontarkan kegeramannya kepada Ashley yang menjauhi identitas klub sebagai salah satu tim besar di Liga Inggris. Pendiri grup band legendaris, The Police, Sting ikut dalam gerakan boikot terhadap Ashley untuk tidak datang ke laga kandang pada musim 2015/2016.
Kecaman kepada Ashley dilontarkan oleh mantan penyerang The Magpies, Faustino Asprilla. ”Mike Ashley melihat fans Newcastle seperti bar codes. Saya berharap hal ini akan berakhir segera. Tim ini untuk para penggemar, bukan sekadar cenderamata,” ungkap Asprilla di akun Twitter-nya.
Ketika mendengar rencana Dana Investasi Publik (PIF) Arab Saudi yang dipimpin Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman, Toon Army menyambut baik rencana itu. Gelontoran dana sekitar 300 juta paun (Rp 5,9 triliun) disiapkan untuk membeli saham mayoritas Ashley.
Dana itu sebanyak 80 persen berasal dari Saudi, kemudian 10 persen berasal dari firma finansial berbasis di Dubai, Uni Emirat Arab, PCP Capital Partners, dan pengusaha kaya Inggris, David dan Simon Reuben.
”Ada spanduk terkenal yang telah terpasang beberapa tahun terakhir di setiap laga kandang yang terbaca: Kami tidak menuntut tim selalu menang, tetapi kami menginginkan klub yang berusaha (menang). Selama 13 tahun ini kami tidak melihat klub yang berusaha (menang) itu,” ujar juru bicara Newcastle United Supporters Trust (NUST).
Lebih lanjut, NUST menilai, di bawah kekuasaan Ashley, The Magpies tidak memiliki ambisi, tidak melakukan investasi, dan tidak memiliki harapan di dunia olahraga. ”Mereka hanya berpikir agar klub bisa bertahan, tidak lebih dari itu,” ujar jubir NUST.
Mereka (Newcastle) menanti seseorang yang datang membawa investasi segar dan membawa kembali ke posisi mereka seharusnya, yaitu papan atas Liga Primer dan mungkin Liga Champions.
Sementara itu, mantan Manajer Newcastle Graeme Souness berpendapat, kehadiran pemilik baru bisa membawa harapan baru bagi prestasi klub. ”Mereka (Newcastle) menanti seseorang yang datang membawa investasi segar dan membawa kembali ke posisi mereka seharusnya, yaitu papan atas Liga Primer dan mungkin Liga Champions,” ucap Souness, yang memimpin The Magpies pada 2004-2006.
Proses serupa Man City
Ikhtiar untuk mengakuisisi Newcastle mulai dilakukan PIF Arab Saudi sejak November 2017. Proses negosiasi dilakukan oleh Direktur Eksekutif PCP Capital Partners Amanda Staveley. Pebisnis berusia 45 tahun itu bukan orang asing dalam proses jual-beli saham klub Liga Primer.
Pada 2008 lalu, Staveley menjadi pihak yang bernegosiasi dengan mantan Perdana Menteri Thailand, Thaksin Shinawatra, untuk mengambil alih saham mayoritas Manchester City. Dalam kesempatan itu, ia membantu Sheikh Mansour bin Zayed yang kemudian menyulap ”The Citizens” sebagai klub papan atas di Inggris dan Eropa.
”Kami adalah penggemar berat Newcastle. Klub ini sangat menarik karena memiliki penggemar yang fantantis,” kata Staveley kepada The National, Februari 2019.
Staveley mengakui, untuk bisa membuat Newcastle diisi pemain berharga tinggi tidak bisa dilakukan secara singkat seiring aturan financial fair play. Bagi dia, langkah akuisisi saham mayoritas Newcastle bukan sekadar dilihat dari kacamata sepak bola.
”Saya amat bangga kepada Manchester City. Kami memang tidak berambisi menyaingi langkah investasi besar City dengan membeli pemain. Akan tetapi, kami akan melakukan investasi serupa yang dilakukan City untuk memberikan pengaruh bagi wilayah Eastlands di Manchester,” ujarnya.
Tawaran nilai akuisisi sebesar 300 juta pounds telah dimasukkan ke Companies House, agen perdagangan Pemerintah Kerajaan Inggris. Steveley dan Ashley dipercaya telah sepakat dengan nilai uang itu dan tinggal merampungkan pembahasan detail, termasuk persoalan legal klub.
Adapun dana akuisisi itu dinilai menurun 40 juta pounds (Rp 788 miliar) seiring wabah Covid-19 di Inggris yang menurunkan nilai aset sepak bola.
Sementara itu, langkah PIF Arab Saudi untuk membeli sahan mayoritas Newcastle dikecam oleh Amnesty Internasional Inggris.
”Di rezim kekuasaan Salman, Arab Saudi telah melakukan sejumlah pelanggaran hak asasi manusia. Alhasil, mereka menggunakan kemeriahan dan prestise Liga Primer sebagai alat humas untuk menutupi catatan buruk HAM,” tutur Kepala Kampanye Amnesty Internasional Inggris Felix Jakens. (AFP/AP)