Pemerintah di negara-negara Eropa sedang berada di persimpangan. Mereka harus memilih untuk menyelamatkan industri sepak bola atau kesehatan banyak orang.
Oleh
Herpin Dewanto Putro
·5 menit baca
COLOGNE, SENIN- Gelandang Cologne, Birger Verstraete, merasa gelisah ketika Jerman berusaha keras melanjutkan kompetisi sepak bola Bundesliga atau Liga Jerman pada pertengahan Mei ini. Ia takut karena pandemi Covid-19 masih berlangsung dan ia bisa saja menjadi korban berikutnya.
Kegelisahannya kian menjadi ketika dua pemain dan satu staf di klubnya dinyatakan positif Covid-19 pada akhir pekan lalu. Klub meminta para pemain lainnya, yang dinyatakan negatif, tetap berlatih. Adapun mereka yang dinyatakan positif harus menjalani karantina. Identitas dua pemain dan satu staf tersebut dirahasiakan demi menjaga privasi.
Verstraete merasa ada yang salah. Sebagai satu tim, ia melakukan aktivitas bersama semua rekan-rekannya di tempat yang sama. Meski ada pembatasan jarak selama berlatih, ia tetap berpeluang melakukan kontak fisik dengan pemain dan staf yang lain atau menyentuh fasilitas umum milik klub.
Lagipula, rekan-rekannya yang dinyatakan positif tidak menunjukkan gejala penyakit Covid-19. Setiap pemain tidak bakal mengetahui apakah rekan di sekitarnya terinfeksi virus korona baru jika belum menjalani tes kesehatan.
“Saya sekarang tidak bisa memikirkan sepak bola. Saya ingin semua pemain dan staf benar-benar sehat sebelum kami kembali bermain,” kata Verstraete dikutip Kicker.
Verstaete rupanya harus bersabar dan pasrah karena klub tetap meminta para pemain terus berlatih. Cologne mengikuti protokol kesehatan yang diterapkan Federasi Sepak Bola Jerman (DFB). Itu dinilai efektif karena para pemain terus menjalani tes secara rutin sebelum berlatih bersama.
Direktur Utama Cologne Horst Heldt menyatakan klubnya berinisiatif memperketat protokol itu dengan menggelar pemusatan latihan dan mengarantina pemain. Semua pemain, setelah dites dan dinyatakan negatif, akan berada di satu tempat yang sama selama latihan berlangsung.
Segala upaya ini dilakukan agar Bundesliga bisa kembali bergulir pada 16 atau 23 Mei. Klub-klub sudah berlatih sejak awal April dan Bundesliga bakal menjadi liga besar di Eropa yang pertama kali sukses melanjutkan kompetisi.
Rencana itu masih berjalan mulus karena baru Cologne yang melaporkan kasus positif Covid-19. Hingga Senin (4/5/2020), sebanyak 14 klub Bundesliga tidak melaporkan adanya kasus positif. Adapun tiga klub lainnya, yaitu Borussia Muenchengladbach, RB Leipzig, dan Augsburg, belum mau membuka hasil tes.
Proposal mengenai jadwal yang diajukan sudah masuk akal dan saya mendukung liga dilanjutkan bulan ini.
Pemerintah Jerman pun sudah memberi “lampu hijau” bergulinya kembali Bundesliga. Keputusan akhir rencana itu akan diambil pada Rabu (6/5/2020). “Proposal mengenai jadwal yang diajukan sudah masuk akal dan saya mendukung liga dilanjutkan bulan ini,” ujar Menteri Dalam Negeri dan Olahraga Jerman, Horst Seehofer.
Klub-klub Bundesliga yang ingin menyelamatkan diri dari kerugian besar sangat mengharapkan dukungan pemerintah semacam itu. Jika bisa menuntaskan liga pada 30 Juni mendatang, klub-klub bisa mendapat uang dari penjualan hak siar total sebesar 300 juta euro atau hampir Rp 5 triliun.
Picu polemik
Namun, banyak pula pihak di Jerman yang menentang Bundesliga dilanjutkan dalam waktu dekat. Itu salah satunyanya Karl Lauterbach, legislator dari Partai Sosial Demokrat yang juga merupakan profesor kesehatan ekonomi dan epidemiologi. Situasi ini mengingatkannya terhadap Juvenal, seorang penyair Romawi.
Pada abad kedua setelah masehi, Juvenal menggambarkan situasi masa Kekaisaran Romawi saat itu dalam karyanya, Satire X, dan mengenalkan istilah “panem et circenses”, bahasa latin yang berarti roti dan sirkus/permainan. Istilah itu menyindir cara penguasa menenangkan rakyat dengan memberi gandum (roti) dan hiburan (permainan).
Dengan dipasok dua hal itu, rakyat bisa senang dan melupakan masalah yang lebih pokok. Hal itu, menurut Lauterbach, sangat relevan dengan saat ini ketika sepak bola lebih condong mengutamakan penyelamatan ekonomi, sedangkan aspek kesehatan diabaikan.
“Sepak bola seharusnya memberi contoh yang baik, bukan menjadi ‘roti dan sirkus’,” katanya.
Lauterbach melihat sepak bola yang dipaksakan saat ini hanya akan menjadi hiburan semata yang bisa membuat orang melupakan masalah yang lebih besar, yaitu pandemi dan penanganannya. Klub bisa menghindari kerugian besar dan publik mendapat hiburan, tetapi risiko terhadap kesehatan dibiarkan membesar.
Istilah ini juga berlaku di negara-negara pemilik liga top Eropa lainnya seperti Italia, Inggris, dan Spanyol. Manajer Chelsea, Frank Lampard, merasa ada hal yang tidak etis ketika para pemain diprioritaskan mendapatkan tes kesehatan, sedangkan para tenaga medis masih sulit mengaksesnya.
“Sudah tepat jika pemain harus menjalani tes secara teratur. Namun, ketika kami melihat sekeliling, saya rasa penting bagi sepak bola untuk menempatkan dirinya (dengan baik) dalam situasi ini," kata Lampard seperti dikutip The Guardian.
Namun, bagi Ketua Klub Crystal Palace Steve Parish, masalah yang dipersoalkan Lampard itu tidaklah penting. “Kita semua harus lebih memikirkan uang. Saya menjelaskan alasannya. Tidak akan ada yang menang jika Liga Primer kehilangan banyak uang,” tulis Parish dalam kolomnya di Sunday Times.
Sepak bola telah menjadi mesin penghasil pajak yang efektif di Inggris, yaitu sebesar 3,3 miliar pounds atau Rp 62 triliun per tahun. Liga Primer pula yang menghidupi kompetisi lainnya dalam piramida kompetisi sepak bola Inggris.
Diselamatkan
Selama pandemi, banyak klub yang merugi dan bingung karena tidak mudah bagi mereka untuk memecat karyawan. Jika kompetisi terlalu lama terhenti, semakin banyak pihak yang akan terkena dampaknya. Parish, dalam tulisannya itu, sependapat dengan Presiden La Liga Spanyol Javier Tebas yang menginginkan sepak bola sebagai industri yang harus diselamatkan.
Dalam pekan-pekan ini, pemerintah di Eropa dituntut mengambil keputusan yang bijak terkait sepak bola. Jangan sampai sepak bola menjadi “roti dan sirkus” yang hanya memberikan kepuasan sesaat, tetapi mengancam kesehatan banyak orang. (AFP/REUTERS)