Lewis Hamilton beberapa kali ingin menjauh sejenak dari Formula 1, menikmati waktunya sendiri. Namun, itu bukan untuk melarikan diri dari tekanan, seperti ketika merintis karier di Formula Renault pada usia 17 tahun.
Oleh
Agung Setyahadi
·6 menit baca
Perjalanan karier Lewis Hamilton hingga meraih enam kali gelar juara dunia Formula 1 bak seven summiteers, para pendaki tujuh puncak dunia. Pebalap berusia 35 tahun itu telah meniti jalan yang panjang, berliku, dan sangat berbahaya, untuk mewujudkan mimpi besarnya. Pun mengalahkan dirinya sendiri sejak usia remaja.
Hamilton menikmati masa kecilnya ketika merintis karier balap mobil di ajang gokar, pada usia delapan hingga 12 tahun. Balapan adalah sumber kegembiraan, dengan melakukan perjalanan antarkota, bertemu orang yang berbeda-beda, mengunjungi banyak tempat berbeda, dan waktu berkualitas bersama keluarga yang selalu menemani.
Namun, tekanan semakin besar seiring dia naik kelas kejuaraan yang persaingannya lebih ketat. Semua diawali dari gelar juara British Cadet Kart Championship pada 1995 di usia 10 tahun. Kejuaraan menjadi lebih serius meskipun tetap menyenangkan.
Hamilton terus bersinar, tahun berikutnya dia memenangi Kejuaraan Kadet McLaren Mercedes of the Future Series. Pada 1997, dia naik kelas lagi ke kelas yunior dan langsung menjuarai Kejuaraan Yunior Yamaha McLaren Mercedes of The Future Series, juga British Super One saat menyisakan satu seri balapan.
Pada 1998, Hamilton mendapatkan tiket penting menuju Formula 1 dengan masuk McLaren Mercedes Young Driver Support Programme. Dia pun menjalani debut balapan di level Eropa saat membalap di Belgia. Dia kemudian bertemu dengan Nico Rosberg, kelak menjadi rekan setimnya di Mercedes F1, pada sebuah balapan di Parma, Italia.
Mereka kemudian berada satu tim di bawah bimbingan ayah Rosberg, Keke. Pada 2001, mereka naik ke kelas tertinggi gokar, Formula Super A. Persaingan kelas ini lebih ketat dan Hamilton tidak mendapat hasil yang bagus. Namun, dia tetap mendapat kesempatan menjalani tes di kelas Formula Renault bersama Manor Motorsport.
Balapan pertama Hamilton di Formula Renault dijalani di Donington Park pada November 2001. Dia merasakan atmosfer yang berbeda pada balapan dengan mobil balap berkursi tunggal yang lebih ”galak”. Saat start dia pun langsung didahului mobil-mobil lain.
”Di gokar saya raja, tetapi sekarang di kursi tunggal saya kembali ke awal,” ujarnya dalam buku autobiografi Lewis Hamilton: My Story (2007).
Perubahan besar terjadi di balapan Formula karena dia tidak bisa lagi bersantai dan bermain setelah balapan. Hamilton memasuki dunia baru, di mana dia harus ikut menganalisis data bersama tim mekanik dan pelatihnya. Data yang sangat detail dan perencaaan strategi balapan adalah sesuatu yang asing bagi pebalap gokar.
Pada 2002, pada musim penuhnya di Formula Renault, Hamilton merasakan tekanan yang berat, hingga dia sulit mengikuti pelajaran di sekolah.
”Sesungguhnya, ada satu titik di mana saya bertanya pada diri saya sendiri, ’Apakah saya akan bisa melakukan ini?’ Saya ingat duduk bersama ayah saya di dalam mobil, memberi tahu dia bahwa saya ingin berhenti. Ayah saya sangat emosional terkait balapan saya dan dia merasa kesal, dia hanya mengatakan, ’Yeah, oke, kita akan berhenti. Dia tidak sungguh-sungguh, tetapi saya meragukan diri saya, tidak merasakan bahwa sayalah orang untuk itu,” kenang Hamilton.
”Tetapi keadaan berubah, dari titik rendah dalam hidup saya itu, saya menyatukan diri saya, memenangi beberapa balapan dan kemudian finis ketiga dalam tahun penuh pertama saya di Formula Renault,” ujar Hamilton. Dia menemukan klik pada 2003 dan memenangi 10 balapan dari 15 seri, dua kali finis kedua dan sekali finis ketiga. Tahun itu dia juara dengan dua sisa balapan.
Transformasi sang juara
Sejak saat klik itu, Hamilton tak terbendung lagi. Dia menjemput mimpinya menjadi juara Formula 1. Dia menjalani debut di Formula 1 pada 2007 dan tahun berikutnya juara dunia. Kini, enam gelar juara sudah diraih Hamilton pada 2008, 2014, 2015, 2017, 2018, dan 2019. Musim 2020 ini seharusnya menjadi perburuan gelar ke tujuh untuk menyamai rekor Michael Schumacher.
Namun, pandemi Covid-19 membuat balapan Formula 1 tidak bisa digelar. Semua pebalap ”libur panjang” dan berusaha menjaga pikiran tetap positif. Namun, libur yang dipaksakan ini justru mewujudkan hasrat sabatikal Hamilton yang muncul dalam beberapa tahun terakhir.
Kali ini, dia ingin menjauh dari Formula 1 bukan untuk berhenti, tetapi untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada pada dirinya sebagai juara dunia. Dia mengalami transformasi mental, sebagai seorang juara dia ingin mengeksplorasi semua yang masih bisa diperbaiki untuk mempertahankan takhta.
”Ada saat-saat, mungkin dalam lima tahun terakhir atau lebih, saya berpikir mungkin akan bagus untuk tubuh saya dan pikiran saya untuk beristirahat setahun. Tetapi Anda tidak bisa menjauh,” ujarnya dalam video tim Mercedes F1, Sabtu (9/5/2020).
”Saya tidak berpikir bagi seorang atlet yang berada di puncak mereka, itu hal yang baik untuk melangkah pergi selama setahun dan kemudian kembali,” lanjutnya.
”Teknologi berkembang sangat cepat, pada tingkat seperti itu, Anda perlu tetap berada di atas mobil ini serta pengembangan, untuk mengambil sabatikal sama sekali tidak ada dalam pilihan. Tetapi kita mendapat semacam bagian sabatikal, yang saya nikmati, dan saya merasa lebih segar serta lebih sehat dibandingkan sebelumnya, dan perjuangan semua orang membuat pikiran tetap jernih,” tegas salah satu pebalap F1 terbaik dunia itu.
Hamilton mengambil sisi positif dari pandemi ini, meskipun dia sangat merindukan balapan, jalan hidup yang telah dia jalani sejak kanak-kanak. Kini dia memanfaatkan waktu untuk membenahi bagian fisiknya yang kurang prima. ”Memiliki situasi seperti ini memberi Anda waktu lebih untuk fokus pada area-area kelemahan,” ujarnya.
”Jadi, ada hal-hal yang melelahkan dan monoton seperti otot betis dan melakukan latihan betis, di mana itu tidak mengasyikan. Latihan glute yang sekali lagi cukup membosankan, tetapi semuanya sangat penting,” tegas Hamilton.
”Saya pikir pada akhirnya, seiring dengan waktu, tubuh kita berubah ke bentuk tertentu, menjadi pola, di mana ada kekuatan dan kelemahan di seluruh tubuh kita, dan ketika Anda pergi ke pusat kebugaran sering kali Anda melatih otot-otot besar, tetapi tidak dengan otot-otot kecil, jadi saya benar-benar berusaha lebih dalam dan membenahi tubuh saya,” ujarnya.
Pikiran positif Hamilton itu terbentuk sejak dia masih belia, dia telah melalui berbagai rintangan, mulai dari tekanan psikologis, tuntutan berlatih lebih keras, serta tetap semangat saat dia tidak bisa latihan gokar karena ayahnya tidak memiliki uang. Dia menemukan cara untuk memanfaatkan semua yang dia miliki untuk menjadi lebih baik. Kini dia tidak bisa balapan, tetapi memiliki waktu longgar untuk memperbaiki kondisi fisiknya. Pikiran positif itu yang mengantar Hamilton ke puncak dunia.
”Setiap hari saya bangun dan saya sangat gembira dengan matahari terbit, gembira dengan matahari terbenam, dan kemudian tentu saja apa yang saya lakukan hari itu, berlatih dan mencoba berusaha menjaga pikiran saya sesegar dan sefokus mungkin,” ujar Hamilton.
”Anda harus melihat sisi positifnya, dan jika Anda melihat ke seluruh dunia langit lebih cerah, saya pikir orang-orang mungkin lebih menghargai waktu seperti ini, keluarga mereka, hubungan mereka, ada banyak hal yang muncul dari ini, dan saya sungguh berharap kita semua bisa berkembang dari pengalaman ini. Dan, saya harap ini (pandemi) segera berlalu,” pungkas Hamilton yang inspiratif.