Sepuluh tahun lamanya Everton tidak mampu mengalahkan Liverpool di markas mereka, Stadion Goodison Park. Derbi Merseyside edisi terbaru bisa memulihkan atau justru menambah buruk catatan unik itu.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
LIVERPOOL, SABTU - Legenda hidup Liverpool Steven Gerrard pernah berkata, dia memilih Stadion Goodison Park, markas Everton, jika hanya ada satu tempat untuk menang. Di tempat tersebut, dalam laga derbi, tekanan penonton terhadap tim tandang terasa seperti neraka. Namun, tekanan itu justru membuat kemenangan berkali-kali lipat lebih manis.
Bagi Gerrard, Everton merupakan rival terbesar bagi Liverpool. Bedanya, rivalitas itu lahir bukan dari kebencian, tidak seperti Liverpool dengan Manchester United. Persaingan mereka penuh gengsi, tetapi juga diikuti dengan rasa hormat.
Karena itu, tidak ada tempat terbaik untuk memenangkan rasa hormat tersebut selain menang di Goodison Park, di depan pendukung fanatik lawan.
”Pertandingan di sana seperti final sebuah turnamen. Mereka punya pendukung hebat. Saya menghormati mereka. Termasuk untuk kesulitan (seperti neraka) yang suporter mereka berikan,” kata Gerrard kepada Sky Sports, jelang derbi ke-33 yang dijalaninya pada 2015.
Cerita Gerrard bisa menggambarkan gelora skuad Liverpool saat berkunjung ke markas rival sekota. Ambisi itu yang seringkali membuat Goodison Park seolah-olah markas mereka. Statistik membuktikan, terakhir kali Liverpool kalah di stadion rival sekota adalah satu dekade lalu, atau pada 2010.
Derbi Merseyside di Goodison Park seperti menjadi antitesis. Biasanya, tim kandang berpeluang menang lebih besar. Akan tetapi, keunggulan sebagai tuan rumah seperti terhapus begitu saja. Padahal, Everton merupakan tim ”pemakan raksasa”. Mereka kerap menaklukkan tim besar seperti MU, Chelsea, atau Arsenal di kandang.
Sejarah unik ini membayangi derbi yang akan berlangsung pada Senin (22/6/2020) dini hari WIB, di Goodison Park. Dengan rekor positif, ”Si Merah”, julukan Liverpool, di atas kertas lebih diunggulkan.
Meski begitu, antitesis itu menjadi pertanyaan. Sebab, pendukung tuan rumah yang selalu memancing semangat pemain Liverpool, kini tidak diizinkan ada di stadion. Hal tersebut bisa menguntungkan atau justru merugikan bagi mereka.
Jelang laga, tekad besar ditunjukkan bek kanan ”Si Merah”, Trent Alexander-Arnold yang adalah penduduk asli Kota Liverpool. Arnold, seperti Gerrard, merupakan pemain yang berada dalam sejarah rivalitas kedua klub.
”Pastinya. Itu adalah permainan yang ingin Anda mainkan sepanjang waktu, terutama setelah kembali dari istirahat panjang seperti ini. Ini laga yang sangat besar. Saya yakin kami akan siap untuk siapa pun yang kami lawan,” ucap Arnold, Sabtu, seperti dikutip situs klub.
Bagi Liverpool, misi kali ini bukan hanya membuktikan mereka klub terbaik di kota, tetapi juga di daratan Inggris. Jika memenangkan laga ini, skuad asuhan Juergen Klopp tinggal perlu satu kemenangan lagi untuk meraih trofi Liga Inggris yang terakhir diraih pada 1990.
Kekuatan terbaik
Liverpool, setelah tidak bertanding tiga bulan, akan turun dengan kekuatan terbaiknya. Kapten Liverpool Jordan Henderson kembali memimpin timnya setelah tidak tampil pada laga terakhir di Liga Inggris karena cedera. Kembalinya kandidat pemain terbaik Liga Inggris itu akan menopang skema 4-3-3 milik Klopp.
Trio penyerang Mohamed Salah, Roberto Firmino, dan Sadio Mane pun berpeluang tampil bersama di lini depan. Kehadiran mereka memungkinkan Liverpool mengancam lewat serangan-serangan kilat.
Klopp telah menyiapkan senjata rahasia yang bisa mengubah pertandingan dari bangku cadangan. Pemain itu adalah gelandang serang Takumi Minamino yang baru didatangkan Januari lalu. Minamino mulai nyetel dengan pemain lain saat menyumbang masing-masing satu gol dan asis pada laga persahabatan melawan tim dari Divisi Championship, Blackburn.
Menurut Klopp, Minamino telah beradaptasi. Hal itu terbantu oleh jeda tiga bulan selama pandemi. Jeda itu dijadikan seperti pramusim oleh Klopp. ”Hal itu membantu dan Taki sudah 100 persen. Dia terlihat sangat berbeda dari ketika tiga minggu saat pertama datang,” pungkasnya.
Di lain sisi, tuan rumah sama sekali tidak bisa diremehkan. Di bawah asuhan Carlo Ancelotti, Everton berubah menjadi tim yang lebih efisien. Juru taktik asal Italia itu kerap memainkan pola pragmatis, 4-4-2, saat menghadapi tim besar.
Pola tersebut sudah jarang dipakai tim Inggris yang lebih akrab dengan gaya modern seperti 4-3-3 atau 4-2-3-1. Namun, sebagai ahli 4-4-2, Ancelotti mengetahui cara yang paling tetap untuk memainkan pola tersebut.
Dengan strategi itu, Ancelotti memanfaatkan pemain yang memiliki kecepatan untuk mengeksploitasi lini belakang lawan. Everton biasanya menggunakan dua penyerang bertubuh tinggi, juga lincah, yaitu Richarlison dan Dominic Calvert-Lewin.
Everton menggunakan strategi tersebut saat terakhri kali bermain di kandang melawan MU. Hasilnya, MU yang sedang dalam performa positif, sejak kedatangan Bruno Fernandes, dibuat kerepotan dengan hasil akhir 1-1.
Ancelotti menyadari skuad asuhan Klopp saat ini nyaris sempurna. Karena itu, anak asuhnya membutuhkan 90 menit yang sempurna untuk menang. “Kami harus bermain sempurna, menunjukkan karakter, juga pengorbanan sepanjang laga. Untuk mengalahkan Liverpool, Anda butuh bermain lebih dari 100 persen,” kata manajer yang membawa AC Milan menaklukkan Liverpool di final Liga Champions 2007 tersebut. (AP/REUTERS)