Juventus menguasai Liga Italia selama hampir satu dekade. “Si Nyonya Besar” ini selalu berhasil menetapkan standar tinggi yang belum bisa digapai tim-tim lainnya.
Oleh
DOMINICUS HERPIN DEWANTO PUTRO
·5 menit baca
TURIN, SENIN — Tiga tim Italia, yakni Inter Milan, Lazio, dan Atalanta, telah bersusah payah menunjukkan penampilan terbaik pada musim ini di Liga Italia. Optimisme yang menyala terang pada awal musim ini perlahan meredup karena mereka ternyata hanya mengejar bayangan Juventus.
Tim ”Si Nyonya Besar” akhirnya kembali menjadi tim yang berpesta sampanye pada akhir musim sambil mengangkat trofi Liga Italia. Sebuah rutinitas yang telah dilakukan Juve selama sembilan tahun beruntun sejak musim 2011-2012. Di tangan tiga pelatih berbeda, Juventus tetap bisa mendominasi Italia.
Pelatih Juve yang mengawali dominasi tersebut pada musim 2011-2012, Antonio Conte, bahkan tidak tahu cara menghentikannya. Conte mencoba menantang Juve pada musim ini bersama Inter dan sempat menebar teror. Hingga awal Februari, Inter masih bisa berada di puncak klasemen sementara.
Lalu masih ada Lazio yang semakin matang di tangan Pelatih Simone Inzaghi. Dengan diperkuat bomber seperti Ciro Immobile, Lazio musim ini bisa menjadi kandidat perebut scudetto. Namun, baik Inter maupun Lazio justru sering terpeleset ketika kompetisi dilanjutkan pada pertengahan Juni. Mereka memberi jalan kepada kepada Juventus untuk kembali memperkokoh posisinya di puncak klasemen.
Sedikit berbeda dengan Inter dan Lazio, Atalanta justru tampil lebih konsisten pada paruh musim kedua. Mereka terlambat panas pada awal musim dan sempat menelan kekalahan dari tim-tim papan tengah dan bawah seperti Cagliari, Bologna, dan SPAL.
Sekeras apa pun usaha ketiga tim itu pada musim ini, Juventus tetap bisa tampil konsisten dan memastikan gelar juara Liga Italia kesembilan secara beruntun usai mengalahkan Sampdoria, 2-0, di Stadion Allianz Turin, Senin (27/7/2020) dini hari WIB. Gelar juara itu mereka raih ketika musim ini masih menyisakan dua laga lagi.
Pekan lalu, sebelum Inter menghadapi Fiorentina, Conte sudah memperkirakan dominasi Juve belum bisa diruntuhkan. Inter, misalnya, belum cukup hanya dengan memiliki duet Romelu Lukaku dan Lautaro Martinez atau mendatangkan Christian Eriksen. Conte merasa harus melihat ke arah Juve meski itu adalah sesuatu yang tabu jika dipandang dari sisi rivalitas.
Masih ada kepingan puzzle yang hilang di tubuh Inter dan Conte harus kembali belajar dari Juve. ”Juve masih yang terbaik saat ini. Kami harus melihat tim terbaik jika ingin berkembang dan itu tidak diragukan lagi,” kata Conte seperti dikutip Football-Italia.
Lebih kuat
Juve merayakan gelar juara musim ini dengan menuliskan kata ”Stron9er” yang berasal dari kata stronger atau lebih kuat. Ini adalah permainan kata dengan membubuhan angka ”9” yang mengacu pada jumlah gelar juara beruntun saat ini, hal sama yang dilakukan Juve selama dua musim terakhir dengan ”My7h” dan ”W8nderful”.
Dengan slogan yang baru, Juve ingin mengatakan bahwa mereka adalah tim yang kini lebih kuat dari apa pun. Tim yang telah menembus batas, mampu mengatasi segala masalah, dan menorehkan sejumlah rekor. Belum pernah ada klub di lima liga top Eropa yang mampu menjuarai liga selama sembilan musim beruntun. Bayern Muenchen musim ini baru meraih trofi Bundesliga yang kedelapan secara berturu-turut.
Penjelasan sederhana mengenai dominasi itu pun keluar dari mulut Pelatih Juve Maurizio Sarri. ”Saya baru saja mengatakan kepada pemain, ’Jika kalian bisa menjadi juara bersama saya, itu karena kalian memang sudah kuat’,” kata Sarri.
Ketika Sarri masih melatih Napoli pada musim 2017-2018, ia begitu frustrasi mengejar Juventus. Ia pernah mengatakan jika timnya akan ”berkonvoi” menuju ke ”istana” dan mengambil kekuasaan. Istana yang dimaksud adalah simbol dominasi Juve dan ia bersama Napoli ingin mengudeta Si Nyonya Besar.
Namun, upaya itu gagal dan Sarri bertualang ke Chelsea pada musim berikutnya. Bersama ”The Blues”, pelatih yang merupakan mantan bankir itu berhasil mempersembahkan trofi Liga Europa. Keberhasilan bersama Napoli yang kemudian diwujudkan dengan trofi bersama Chelsea membuat Juve kepincut.
Sempat kesulitan
Manajemen Juve berharap Sarri bisa membuat tim menjadi lebih atraktif seperti saat di Napoli ketika diminta menggantikan Pelatih Massimiliano Allegri. Namun, Sarri kesulitan ketika memiliki sejumlah bintang seperti Cristiano Ronaldo, Paulo Dybala, dan Gonzalo Higuain.
Sarri sibuk untuk menemukan formula yang lebih tepat untuk menyatukan para bintang di dalam skuadnya. ”Ketika Anda datang ke klub yang sudah menjuarai liga selama delapan musim beruntun dan ingin mengubah segalanya, maka itu bukan langkah yang pintar,” katanya.
Konsekuensinya, Juve meraih gelar juara musim ini dengan standar yang lebih rendah jika dibandingkan dengan penampilan mereka pada delapan musim sebelumnya, terutama dalam hal pertahanan tim. Hingga laga ke-36 Juve sudah kebobolan 38 gol dan bisa bertambah dalam dua laga terakhir. Apabila Juve tidak menambah poin lagi dalam dua laga terakhir, mereka akan menjuarai liga dengan poin terendah (83 poin) sejak musim 2011-2012 (84 poin).
Meski demikian, Juve masih punya Ronaldo yang pada laga Sampdoria mencetak golnya yang ke-31. Ia tetap berhasil menjadi mesin gol untuk mengimbangi pertahanan yang kurang rapat. Apalagi jika ditemani Dybala, Ronaldo lebih mematikan.
Tugas berat Sarri saat ini adalah memperluas dominasi Juve dari kompetisi domestik ke level Eropa. Sejak tahun 1996, Juve belum berhasil merebut kembali trofi Liga Champions. Untuk itulah pemain seperti Ronaldo dibeli.
Juventus akan menghadapi Lyon pada laga kedua babak 16 besar Liga Champions pada awal Agustus. Mereka telah kalah 0-1 pada laga pertama dan ini akan menjadi ujian selanjutnya bagi Sarri.
”Sarri bisa beradaptasi. Saya yakin ia bisa berkontribusi lebih besar pada musim depan,” ujar mantan pelatih Juventus, Carlo Ancelotti. (AP/AFP/REUTERS)