”Oase" Kemerdekaan dari Air Mata dan Peluh Atlet
Sejumlah atlet nasional mengabaikan ego pribadi, penderitaan, bahkan tragedi guna mengibarkan Merah Putih. Pengorbanan tidak bertepi itu menjadi oase bagi RI yang menyambut hari jadi ke-75 di tengah cobaan pandemi.
Membela negara, bagi sejumlah atlet nasional, adalah tugas sakral. Mereka rela berkorban habis-habisan dan melewati segala rintangan agar bisa mengibarkan Merah Putih. Patriotisme itu mereka buktikan dalam sikap sehari-hari dan prestasi.
”Membela negara adalah kebanggaan. Sebagai orang Indonesia, pasti ingin membuat negara ini bangga. Rasa itu muncul dengan sendirinya. Bukan sesuatu yang dididik, melainkan dirasakan dari dalam diri,” kata atlet juara dunia wushu, Edgar Xavier Marvelo (21), ketika dihubungi Senin (10/8/2020).
Semangat patriotisme itu diuji hebat saat Edgar tampil di SEA Games Manila 2019, akhir tahun. Beberapa jam menjelang final nomor taolu kombinasi daoshu dan gunshu pada cabang wushu, ia mendapatkan kabar tragis. Ayahnya, Lo Tjhiang Meng, meninggal.
Alih-alih terpuruk, ia justru memukau juri lewat aksi meliuk-liuk yang diikuti dengan ketepatan tempo dan tenaga di final taolu itu. Seperti halnya sikap para pejuang di masa prakemerdekaan, ia tampak tegar. Tidak terlihat raut kesedihan di wajahnya meskipun hatinya pada saat itu hancur berantakan.
”Setiap pertandingan, kami (atlet) punya tanggung jawab. Kami harus bisa meraih prestasi dengan segala macam masalah. Lagi pula saya juga tidak bisa mengubah kondisi. Papa sudah enggak ada,” ucap peraih medali perak Asian Games 2018 itu.
Baca juga : Medali Persembahan Edgar untuk Sang Ayah
Tangisan Edgar pun baru pecah, seperti halnya bocah, saat final itu berakhir. Air mata pemilik tiga medali emas dari Kejuaraan Dunia Wushu 2019 di China itu mengalir deras saat prosesi sakral penyerahan medali dilakukan. Ia meraih emas di final taolu daoshu-gunshu itu.
Untuk pertama kali dalam ajang multicabang olahraga, dia membuat bendera Merah Putih dikibarkan dan ”Indonesia Raya” turut dikumandangkan. Ia melakukan itu dua kali setelah pada final lainnya, yaitu taolu duilian, juga meraih emas bersama dua rekannya, Seraf Siregar dan Harris Horatius.
Menurut atlet yang berlatih wushu sejak usia delapan tahun itu, berkibarnya Merah Putih di Filipina membayar seluruh pengorbanannya. ”Itu adalah kebanggaan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Sesuatu yang tidak bisa dibayar dengan apa pun,” ungkap Edgar yang mempersembahkan kedua medali emas di SEA Games itu untuk almarhum ayahnya.
Padahal, sebagai warga keturunan Tionghoa, Edgar tidak jarang mendapatkan pandangan miring di media sosial. Namun, itu tidak mengurangi sedikit pun motivasinya membela Indonesia. Justru dia meyakini olahraga bisa menjadi jalan keluar yang memutus perbedaan.
”Saya tidak menganggap diri sendiri sebagai minoritas. Saya orang Indonesia dan membela Indonesia. Ketika saya menang, (lagu kebangsaan) yang dinyanyikan ’Indonesia Raya’ dan yang dikibarkan Merah Putih. Ini (Tionghoa) hanyalah sebuah (etnis) keturunan. Kita semua sama, kok,” tegasnya kemudian.
Magis olahraga
Selama ini, olahraga memang memiliki andil besar dalam merawat semangat solidaritas dan persatuan antaranak bangsa ini. Sering kali ajang yang dianggap tidak sepenting ekonomi ataupun politik itu justru menjadi penyelamat semangat nasionalisme bangsa ini di tengah berbagai ujian hebat.
Daya magis olahraga itu terbukti menjadi sebuah oase di tengah turbulensi politik yang diikuti krisis ekonomi di Tanah Air, 1998. Prestasi tim bulu tangkis putra Indonesia, yaitu menjuarai Piala Thomas 1998, mengobati luka mendalam akibat tragedi kerusuhan yang berbau rasialisme ketika itu.
Tak pelak, pada 25 Mei 1998, harian Kompas menyambut kemenangan tersebut dengan tulisan berjudul ”Republik Indonesia Masih Ada” di halaman utamanya. Kemenangan tim yang diperkuat sejumlah pemain beretnis Tionghoa, seperti Haryanto Arbi, Hendrawan, Tony Gunawan, dan Candra Wijaya, itu seperti menyadarkan masyarakat bahwa republik ini terbentuk dari perbedaan suku dan agama para warganya.
Baca juga : Persiapan Piala Thomas-Uber Berlanjut
Manajer tim bulu tangkis Indonesia saat itu, Agus Wirahadikusumah, mengatakan, kisah sukses di Piala Thomas kala itu, dengan segala perbedaan di dalamnya, merupakan cermin dari kekuatan republik ini.
Semangat solidaritas dari para anggota tim bulu tangkis saat itu masih terus hidup pada diri generasi saat ini, salah satunya pemain ganda putra Hendra Setiawan (35). Hendra, yang telah banyak meraih prestasi di bulu tangkis, seperti medali emas di Olimpiade Beijing 2008, menunda pensiun, salah satunya demi misi solidaritas itu.
Di usia yang tak lagi muda, ia terus berlatih dan bermandi keringat, bahkan di era pandemi Covid-19 seperti saat ini, untuk ”membantu” partnernya yang berbeda etnis dan agama, Mohammad Ahsan (32), mewujudkan mimpi meraih medali emas Olimpiade di Tokyo, 2021. Berbeda dengan Hendra, Ahsan belum pernah meraih medali emas Olimpiade.
Baca juga : Jaga Momentum Emas di Olimpiade
”Kami terus menjaga kekompakan dan berlatih keras. Perbedaan (agama dan suku) justru membuat kita kuat,” ujar Hendra yang bersama Ahsan memberikan gelar juara dunia ganda putra pada bulan kemerdekaan ke-74 RI, Agustus 2019.
Olimpiade Tokyo
Seperti halnya 1998, saat ini, Indonesia juga tengah terluka akibat pandemi. Bukan tidak mungkin, luka itu akan diobati pula lewat prestasi para atlet nasional. Selain Olimpiade Tokyo, tahun depan akan ada banyak ajang olahraga lain seperti Paralimpiade, Piala Dunia U-20, dan SEA Games 2021.
Tekad menghadirkan oase itu juga datang dari atlet parabadminton, Leani Ratri Oktila (29), yang menargetkan emas di Paralimpiade Tokyo. Setelah meraih emas di Asian Para Games, Ratri ingin memberikan kado emas bagi republik ini di ajang olahraga disabilitas terbesar sejagat tersebut.
Untuk itu, pengorbanan pun dilakukannya sejak jauh-jauh hari. Penundaan Paralimpiade selama setahun tidak membuat semangatnya surut. Saat atlet pelatnas lainnya pulang ke daerah masing-masing akibat pandemi, Ratri terus berlatih mandiri di Solo, Jawa Tengah.
”Semua orang pasti ingin bisa menjadi juara di Paralimpiade. Makanya, saya tetap di Solo saat orang lain pulang. Itu demi bisa membawa Merah Putih berkibar nantinya,” ucap juara dunia parabadminton 2019 itu.
Kebanggaannya luar biasa. Makanya, (saya) sering menangis ketika bendera dikibarkan serta diiringi lagu ’Indonesia Raya’. Seolah ini balasan rasa cinta saya terhadap Tanah Air. (Leani Ratri Oktila)
Bagi Ratri, pengibaran Merah Putih ketika mendapatkan medali emas ibarat ritual emosional. ”Kebanggaannya luar biasa. Makanya, (saya) sering menangis ketika bendera dikibarkan serta diiringi lagu ’Indonesia Raya’. Seolah ini balasan rasa cinta saya terhadap Tanah Air,” ujarnya.
Sejak kecil, Ratri memang sudah bermimpi bisa membanggakan Indonesia lewat olahraga. Namun, mimpinya itu sempat terhenti ketika mengalami kecelakaan sepeda motor, 2011. Kejadian itu memaksanya sempat berhenti bermain bulu tangkis karena kakinya berselisih panjang 7 sentimeter setelah mengalami patah tulang.
Baca juga : Korona Renggut Pengorbanan Para Atlet
Namun, ia mengejar mimpi itu dengan cara lainnya. Setelah melewati ribuan malam untuk berlatih, dia pun bisa berprestasi di parabadminton. Jenis kompetisi itu mungkin berbeda, tetapi tujuan akhirnya tetaplah sama, yaitu meraih prestasi dan mengharumkan ”Bumi Pertiwi”.
Melawan sakit
Demi tujuan besar itu, tidak jarang atlet harus melawan sakit atau cedera dan menepikan ego pribadinya. Perjuangan itu kental dialami pelari putri nasional yang dijuluki ”Ratu Lari Jarak Jauh Asia Tenggara”, Triyaningsih (33).
Sejak 2013, Triyaningsih didera cedera kaki. Cedera itu membuatnya gagal tampil di Asian Games 2014 Incheon.
Namun, ia enggan menyerah dengan hambatan itu. Pelari yang memulai karier lari sejak usia 15 tahun itu berjuang memulihkan kondisinya. Hasilnya, pada SEA Games 2015 di Singapura, ia membawa pulang dua medali emas dari nomor lari 5.000 dan 10.000 meter.
Baca juga : Batu Loncatan Triyaningsih
Bagi Triyaningsih, apa pun yang sudah dimulai harus dituntaskan. Maka, ia memilih total menjalani karier sebagai atlet, termasuk berlatih keras dan melawan cedera. ”Saat sudah melakukan start di lintasan, saya harus menyelesaikan lomba hingga finis, apalagi saya berlomba membawa nama negara,” ujarnya.
Kegigihan itu ia perlihatkan saat meraih emas di nomor lari maraton pada SEA Games 2011 di Tanah Air. Menjelang perlombaan, setelah meraih emas dari nomor lari 5.000 dan 10.000 meter, ia merasakan sakit hebat pada kakinya yang bekerja keras di tengah teriknya cuaca di Palembang, Sumatera Selatan, saat itu. Namun, ia memutuskan tetap melanjutkan lomba.
Sambil mengenakan plester pereda nyeri, ia kembali berlari dan meraih emas dari nomor maraton. ”Selain menantang diri sendiri, saya juga ingin mengharumkan Indonesia,” ujar atlet yang menolak tawaran beasiswa dari universitas di Malaysia itu agar tetap bisa fokus berlatih.
Keuletan serupa diperlihatkan juara dunia lari 100 meter putra yunior Lalu Muhammad Zohri (20). Ia rela kehilangan masa muda bersenang-senang seperti remaja lainnya demi latihan rutin dan prestasi tinggi.
”Mimpi saya adalah menjadi orang Asia Tenggara pertama yang berlari di bawah 10 detik. Saya juga ingin menyumbangkan medali untuk Indonesia di Olimpiade,” ungkap Zohri yang akan tampil di Olimpiade Tokyo 2021.
Para atlet nasional ini menunjukkan, nasionalisme bukan jargon keren untuk diucapkan. Sebaliknya, itu adalah perbuatan dari tanggung jawab besar yang tidak jarang disertai pengorbanan. (Yulvianus Harjono)