Balap sepeda Tour de France merupakan mesin ingatan untuk merunut jejak peradaban modern. Ajang ini telah melalui jalan panjang sejak 1903, bertahan dari dua Perang Dunia, dan kini bergerilya di tengan pandemi Covid-19.
Oleh
AGUNG SETYAHADI
·6 menit baca
NICE, KAMIS — Tour de France nyaris batal bergulir tahun ini karena pandemi Covid-19. Lomba balap sepeda terbesar yang awalnya dijadwalkan pada 27 Juni-19 Juli itu terpaksa ditunda menjadi 29 Agustus-20 September. Tour yang telah berusia 117 tahun ini sekali lagi berusaha bangkit dari krisis, seperti saat bertahan hidup di tengah Perang Dunia I dan II, serta intrik politik dan sosial, yang memunculkan label ”forçat de la route” alias buruh narapidana jalanan, karena balap sepeda ini dinilai sebagai perbudakan.
Edisi pertama Le Tour pada 1903 menempuh jarak yang tidak lazim saat itu, 2.400 kilometer dalam 19 hari. Namun, balapan itu sukses besar, hingga penyelenggara, koran L’Auto meningkatkan oplahnya menjadi dua kali lipat, dari 20.000-30.000 eksemplar menjadi 65.000 eksemplar per hari, seperti disebutkan dalam buku The Tour De France 1903-2003: A Century of Sporting Structures, Meanings, and Values.
Drama langsung lahir dari edisi perdana itu, dengan Maurice Garin sebagai juara. Garin saat masih bocah dibawa dari Lembah Aosta, Italia ke Perancis. Dia dijual oleh ayahnya menjadi pembersih cerobong asap untuk ditukar dengan segulung besar keju. Balap sepeda menawarkan jalan melepaskan diri dari kondisi hidup sulit.
Namun, dalam perkembangannya, balap sepeda ini memunculkan polemik yang memanas dalam pertarungan politik dan ekonomi. Muncul tudingan perbudakan untuk mengeruk uang di atas keringat dan darah kelas menengah ke bawah. Balap sepeda ini dinilai membahayakan keselamatan para pebalap karena sangat berat dan eksploitatif, dengan waktu istirahat yang singkat. Situasi itu terus berkembang hingga aturan berubah untuk membuat balapan semakin profesional. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kemudian memasukan sports science masuk ke olahraga modern, termasuk Le Tour.
Tak sebatas itu, Tour de France juga mengubah bagaimana media massa melaporkan ajang olahraga. L’Auto merangkai kisah perjuangan para pebalap menjadi cerita yang menggugah rasa ingin tahu. Mereka menciptakan konsep pahlawan dalam dunia olahraga. Tradisi bersepeda yang melekat di warga Perancis pun membuat mereka selalu menanti balap sepeda epik ini. Mereka berjejer di pinggir jalan, bak para peziarah, menantikan para pahlawan mereka mengayuh pedal untuk mengalahkan tantangan.
Tour de France di era modern tidak kehilangan identitasnya, sebagai ritual komunal tahunan. Balap sepeda ini memiliki banyak wajah dengan aneka makna, mulai dari olahraga, politik, ekonomi, budaya, dan literasi. Karakter unik Tour de France yang terbangun dari sejarah panjang peradaban manusia dari era agraris ke industri inilah yang membuatnya selalu dinantikan.
Pada masa pandemi Covid-19 ini, Tour de France justru semakin kuat maknanya. Dari sisi ekonomi, ajang ini menjadi semacam tali penyelamat bagi tim-tim World Tour yang terancam krisis. Para pebalap juga menjadikan Le Tour sebagai target besar dalam karier profesional mereka. Perjuangan mereka sangat dinantikan para penggemar balap sepeda.
Kali ini, kerumunan penonton dibatasi tak lebih dari 5.000 orang, dan ini menjadi tantangan besar bagi panitia untuk memastikan syarat itu tidak dilanggar. Panitia penyelenggara akan mati-matian memastikan ”gelembung” yang mereka ciptakan tidak berubah menjadi kluster baru Covid-19.
Pandemi ini telah mengubah cara orang menikmati olahraga, termasuk balap sepeda yang hidup karena interaksi langsung penonton dan para pebalap. Mereka yang berada di tepi lintasan dilarang kontak dengan para pebalap, termasuk meminta tanda tangan dan foto bersama. Menjaga jarak fisik menjadi tanggung jawab utama penonton untuk melindungi diri serta pebalap idola mereka agar bisa terus bersaing memperebutkan gelar juara Tour de France edisi pandemi ini.
Persaingan juara
Musim ini, persaingan tidak diikuti empat kali juara Tour de France, Chris Froome, serta juara 2018, Geraint Thomas. Kedua pebalap Tim Ineos (dulu Tim Sky) itu dicoret karena performanya belum maksimal dalam lomba pemanasan, Criterium du Dauphine.
Froome, meskipun sudah pulih dari cedera, mengaku belum mencapai level fisik yang dibutuhkan untuk Tour de France. Adapun Thomas, meskipun optimistis bisa menurunkan kelebihan berat badannya, akan digantikan oleh Richard Carapaz. Froome akan fokus ke Vuelta a Espana, dan Thomas fokus ke Giro d’Italia.
Ineos akan mengandalkan juara musim lalu, Egan Bernal (23) dan Carapaz untuk meraih jersey kuning alias juara umum Tour de France. Pendekatan Ineos kali ini membutuhkan kerja sama solid dari delapan pebalap mereka. ”Kami tahu di mana kami berada, dan kami tahu di mana semua orang berada dan hal terkait memilih tim yang tepat untuk Grand Tours, pemimpin yang tepat, serta juara Grand Tours. Kami sangat bersemangat, kami memiliki Egan dan Richard untuk meraih jersey kuning sekali lagi,” ujar Manajer Tim Ineos Dave Brailsford seperti dikutip Cyclingnews.
Bernal menjadi favorit meraih gelar juara umum kedua kalinya. Pebalap asal Kolombia itu memiliki persiapan lebih baik daripada para pesaingnya yang berlatih di Eropa. Bernal masih bisa bersepeda di luar ruangan untuk menjaga kondisi fisiknya tetap prima di balapan dengan rute yang menguntungkan para jago tanjakan itu.
Dia akan bersaing dengan pebalap yang punya kemampuan sangat baik mengatasi medan menanjak, seperti pebalap Slovenia yang memperkuat Jumbo-Visma, Primoz Roglic yang didukung Tom Dumoulin. Juga pebalap Perancis Julian Alaphilippe (Deceuninck QuickStep) yang tahun lalu memimpin balapan selama 16 hari serta memenangi dua etape. Dua rekan senegaranya, Thibaut Pinot (Groupama-FDJ), dan Romain Bardet (AG2R La Mondiale) juga memperketat persaingan.
Adapun persaingan jersey hijau, atau klasifikasi sprinter yang memperebutkan poin, masih menempatkan sprinter kawakan Peter Sagan sebagai favorit. Pebalap tim Bora-Hansgrohe yang mengincar jersey hijau kedelapan itu akan mendapat tantangan dari sejumlah pebalap, termasuk Caleb Ewan (Lotto-Soudal), serta Wout van Aert (Jumbo-Visma), meskipun keduanya mengaku akan fokus pada tiap etape.
”Jujur, saya tidak memfokuskan pada jersey hijau. Sistem poin yang berlaku bukanlah persaingan yang sesuai bagi sprinter murni. Kami belum pernah melihat sprinter murni menang dalam beberapa tahun terakhir. Saya pikir bukan hanya karena Sagan, tetapi juga Van Aert yang mampu di tanjakan dan sprint. Pada hari-hari di mana saya tidak bisa mencapai finis, mereka akan berada di sana dan meraih poin maksimal. Bahkan, pada hari-hari saya bisa menang, mereka selalu berada di lima besar atau 10 besar dan selalu meraih poin,” ujar Ewan.
Van Aert pun menegaskan, persaingan meraih jersey hijau juga bukan menjadi targetnya saat ini. Dia fokus mendukung timnya meraih gelar juara umum. ”Memburu jersey hijau bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan dengan mudah di tengah hal lain yang ditargetkan. Kami jelas menargetkan jersey kuning di Paris, dan mengejar jersey hijau serta semua intermediate sprint dan meraih poin di setiap garis finis akan mustahil. Itu bukan bagian dari rencana kami. Saya ingin menjadikan itu tujuan di masa mendatang, lagi pula saya masih muda, untuk saat ini itu bukan target saya,” ujar pebalap asal Belgia berusia 25 tahun itu.