Davide Brivio gagal meraih mimpi jadi pebalap motokros, tetapi cemerlang sebagai manajer tim MotoGP. Brivio pembelajar tulen, gigih mempelajari hal-hal baru hingga menjadi arsitek juara Valentino Rossi serta Joan Mir.
Oleh
AGUNG SETYAHADI
·7 menit baca
MILAN, KAMIS — Sosok di belakang gelar juara Suzuki di ajang MotoGP, Davide Brivio, tidak akan ada di paddock pada musim 2021. Brivio resmi meninggalkan Suzuki untuk bergabung dengan tim Alpine, nama baru tim Renault di ajang Formula 1, Kamis (7/1/2021). Kepergian Brivio meninggalkan lubang besar dalam menajemen tim Suzuki, sekaligus menghadirkan harapan baru di Renault yang melakukan restrukturisasi tim dengan berubah menjadi Alpine mulai 2021.
Brivio tidak pernah bermimpi menjadi manajer tim balap karena gairah terbesarnya sejak kecil adalah menjadi pebalap motokros. Namun, orangtuanya tidak memiliki cukup biaya untuk memenuhi mimpi putranya. Brivio kecil merawat mimpinya dengan mengikuti berita olahraga balap penggaruk tanah melalui koran dan majalah. Pada usia 14 tahun, dia bahkan mengajukan lamaran sebagai mekanik atau asisten mekanik tanpa gaji ke tim pabrikan Gilera, tak jauh dari Milan, Italia.
Brivio sempat memenuhi mimpinya sebagai pebalap motokros, tetapi dia tidak cukup cepat untuk menjadi pebalap elite. Dia menyadari masa depannya di motokros suram. Dia kemudian mengalihkan kemudi sebagai reporter balapan motokros. Brivio juga pernah menjadi petugas media di Superbike. ”Itu bukanlah pekerjaan yang ideal, tetapi bagi saya itu mimpi yang menjadi kenyataan bisa berjalan di paddock,” ujar Brivio dalam wawancara dengan Cycle World seusai memastikan Joan Mir juara MotoGP 2020.
Brivio menghabiskan 11 tahun di Superbike dan pernah berada di tim Yamaha saat Noriyuki Haga nyaris menjadi juara dunia pada 2000. Dia kemudian mengikuti Haga ke MotoGP pada 2001 dan pada 2002 bergabung di tim Marlboro Yamaha dengan pebalap Max Biagi dan Carlos Checa.
Petualangan Brivio di MotoGP menjadi semakin serius saat dirinya menjadi direktur tim Yamaha dengan Lin Jarvis sebagai manajer direktur. Dia menjadi bagian dari tim yang membawa Yamaha ke kejayaan bersama Valentino Rossi yang meraih gelar juara pada 2004, 2005, 2008, dan 2009. Yamaha melakukan restrukturisasi tim menyusul hasil buruk pada 2003 di mana pebalap mereka tidak meraih podium, kecuali pebalap tim satelit Alex Barros pada balapan basah di Le Mans, Perancis.
Kemudian muncul ide yang menurut Brivio ”gila” karena berusaha mendatangkan Rossi yang sedang bersinar terang bersama Honda, sedangkan Yamaha tidak pernah juara dalam 12 tahun. Namun, Kepala Yamaha MotoGP Masao Furusawa memberi dorongan besar untuk mendapatkan Rossi. Kehadiran ”The Doctor” pun menghadirkan masa-masa kejayaan tim yang berpusat di Iwata, Jepang, itu.
Ketika Valentino bergabung dengan Yamaha, dia mengajari kami pendekatan kemenangan, perlunya berpindah dari memenangi balapan ke memenangi kejuaraan.
Brivio mengaku memetik pelajaran penting dari Rossi, yaitu mental juara. ”Ketika Valentino bergabung dengan Yamaha, dia mengajari kami pendekatan kemenangan, perlunya berpindah dari memenangi balapan ke memenangi kejuaraan,” ujarnya.
”Ketika saya bergabung dengan perusahaan (Suzuki), saya membawa pengalaman tersebut, juga keahlian saya dalam bekerja dengan perusahaan Jepang. Kami melakukan bersama-sama dengan dukungan mereka. Tetapi hal yang bagusnya adalah mereka selalu menindaklanjuti,” tutur Brivio.
Diplomasi senyum
Brivio mulai melakukan pembicaraan serius dengan Suzuki pada 2012 karena mereka ingin kembali ke MotoGP. Dia mulai memimpin proyek baru Suzuki pada 1 April 2013 menjelang kembali ke MotoGP pada musim 2015. Dia mengaku seperti menghadapi selembar kertas kosong saat memulai proyek itu.
”Kami perlu menjalankan tim dari awal. Saya ingat ketika saya bertanya, di mana markas tim, bagaimana dengan truk-truk, perlengkapan, peti-peti?” Dan, mereka menjawab, ”Kami tidak punya apa-apa!” Tidak ada bengkel kerja serta truk-truk dan perlengkapan bukan milik mereka. Ini membuat keseluruhan proses jauh lebih menarik. Saya akan memulai dari awal besok,” kenang Brivio.
Brivio mendapat dukungan penuh dari Suzuki, termasuk dalam merekrut anggota tim serta pebalap. Dia memiliki kelihaian membaca karakter orang sehingga bisa memilih personel yang sesuai dengan iklim kerja yang dia bangun. Dia mencari personel yang memiliki motivasi tinggi dan benar-benar ingin menjadi bagian dari proyek jangka panjang itu. ”Sangat penting membangun tim yang kuat. Saya ingin anggota tim digerakkan oleh ambisi, gairah, tetapi juga membumi serta kalem, seperti saya,” ungkapnya.
Brivio juga memilih pendekatan yang humanis dan simpatik untuk menyelesaikan kendala. ”Saya lebih memilih senyuman untuk menghantam meja (saat rapat). Keinginan kuat untuk memahami orang lain dan situasi menjadi yang utama. Saya tidak suka pertengkaran dan perkelahian ketika kami bekerja bersama,” tuturnya.
Dia menciptakan keseimbangan, termasuk menempatkan karakter Eropa dan Jepang dalam frekuensi yang sama. Etos kerja personel dari Jepang dipadukan dengan imajinasi Italia berbuah kemajuan krusial dalam pengembangan GSX-RR. Motor Suzuki itu sebenarnya bukanlah motor terkuat di lintasan, bahkan para mekanik mereka sering bercanda bahwa mereka balapan MotoGP dengan motor jalan raya.
Brivio memang mengembangkan motor dengan konsep ”semakin sederhana semakin baik”. GSX-RR pun difokuskan pada sasis yang istimewa untuk mendukung kelincahan, bobot yang ringan, dan mudah dikendalikan. Keunggulan motor itu disempurnakan dengan memilih pebalap yang memiliki teknik tinggi. Dalam memilih pebalap, mereka selalu mencari pebalap muda yang bisa dikembangkan menjadi pebalap gaya Suzuki. Filosofi itu berjalan baik dan melahirkan para pebalap top, seperti Maverick Vinales, Alex Rins, dan Joan Mir.
Tim yang dibangun Brivio itu pun membuahkan hasil pada musim 2020 di mana Mir menjadi juara dunia. Ini pencapaian besar karena mereka juara hanya dalam musim keenam sejak kembali ke MotoGP. Gelar itu juga menjadi juara pertama Suzuki setelah Kenny Roberts Junior pada 2000 di ajang GP500 dengan motor RGV500.
Petualangan Brivio di ajang balapan akan memasuki babak baru pada tahun ini. Dia resmi meninggalkan MotoGP untuk menjadi CEO Tim Alpine F1. ”Sebuah tantangan profesi baru dan kesempatan tiba-tiba datang kepada saya dan akhirnya saya memutuskan untuk mengambil itu,” ujar Brivio dalam pernyataan resmi Suzuki, Kamis (7/1).
”Ini keputusan yang sulit. Bagian tersulitnya adalah akan meninggalkan sekelompok orang yang mengagumkan ini, di mana saya mengawali proyek ini bersama ketika Suzuki kembali ke kejuaraan. Dan, sulit mengucapkan selamat tinggal kepada semua orang yang bergabung dalam tahun-tahun itu untuk menciptakan tim yang hebat ini,” ungkap Brivio.
”Saya merasa sedih pada sudut pandang ini, tetapi di saat yang sama saya merasakan berlimpah motivasi untuk tantangan baru ini, yang merupakan faktor kunci ketika saya memutuskan antara memperbarui kontrak saya dengan Suzuki atau mengawali pengalaman yang sama sekali baru,” ujar Brivio.
”Meraih gelar juara MotoGP adalah sesuatu yang akan terus berada dalam buku sejarah Suzuki dan ini akan selalu mendapat tempat istimewa dalam kenangan hidup saya,” kata Brivio.
Brivio pindah ke Alpine diyakini oleh Motorsport berkat CEO Renault Luca de Meo. Mereka saling kenal sejak di tim Yamaha MotoGP ketika Brivio menjadi manajer tim pada 2002-2010. Pada saat Yamaha disponsori oleh Fiat, 2007-2010, De Meo merupakan kepala tim pemasaran pabrikan mobil Italia itu.
Brivio dikabarkan akan menjadi CEO Alpine yang bekerja bersama kepala tim Marcin Budkowski. Namun, posisi pasti Brivio belum dikomfirmasi oleh Renault sebagai induk Alpine.
Tantangan Suzuki
Kepergian Brivio itu meninggalkan lubang besar dalam manajemen Suzuki. Mereka hanya memiliki waktu sempit untuk mencari manajer tim yang baru karena balapan musim 2021 akan bergulir pada 28 Maret di Qatar. ”Dengan penuh hormat, ini kabar yang sangat mengejutkan bagi kami terkait kepergian Davide dari Tim Suzuki Ecstar,” ujar Kepala Proyek Suzuki MotoGP Shinici Sahara.
”Ini terasa seperti seseorang mengambil sebagian dari diri saya karena saya selalu berdiskusi dengan dia bagaimana mengembangkan tim dan motor, serta kami sudah lama bekerja bersama,” ucap Sahara.
”Pada 2020, kami meraih hasil fantastis meskipun dalam situasi yang tidak biasa dan sulit karena Covid-19. Dan, 2021 akan menjadi tahun yang semakin penting bagi kami untuk mempertahankan momentum. Sekarang kami berusaha mencari cara terbaik untuk menutup kehilangan Davide,” tutur Sahara.
Mir melalui akun media sosialnya mengucapkan terima kasih kepada Brivio yang memberi kesempatan promosi ke MotoGP dari Moto2. ”Terima kasih Davide Brivio telah memercayai saya dan membantu saya meraih mimpi saya dan menjadi juara dunia MotoGP. Saya mendoakan yang terbaik untuk anda dalam tantangan baru anda,” tulis pebalap Spanyol berusia 23 tahun itu.