Bersama Manajer Thomas Tuchel, Chelsea tidak lagi menang dengan hujan gol seperti pada era Frank Lampard. Namun, era minimalis gol bersama Tuchel itu justru melahirkan banyak kemenangan.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·3 menit baca
SEVILLA, KAMIS — Permainan pragmatis tidak melulu bermain ala ”parkir bus” atau bertahan total. Pragmatisme bisa berupa penguasaan bola dominan. Semakin banyak penguasaan bola, kian kecil peluang lawan mencetak gol.
Paham itulah yang diperlihatkan Chelsea bersama Manajer Thomas Tuchel. Tuchel tidak menuntut timnya menang telak. Unggul satu atau dua gol sudah cukup, selama itu berujung kemenangan. Pragmatisme itu kembali ditampilkan Chelsea saat membekap tuan rumah FC Porto, 2-0, dalam laga pertama perempat final Liga Champions Eropa di Stadion Ramon Sanchez Pizjuan, Sevilla, Spanyol, Kamis (8/4/2021) dini hari WIB.
Sepanjang melatih ”Si Biru”, sejak akhir Januari lalu, Tuchel sudah membawa timnya menang 11 kali, termasuk kemarin. Tidak ada satu pun kemenangan Chelsea itu yang berakhir dengan selisih lebih dari dua gol. Bahkan, Chelsea belum pernah mencetak tiga gol dalam satu pertandingan.
Tren performa Chelsea itu berbanding terbalik dengan saat dilatih Frank Lampard. Saat itu, mereka kerap membuat hujan gol. Sebanyak 9 dari 16 kemenangan Chelsea bersama Lampard diraih dengan selisih lebih dari dua gol.
Meskipun minim gol, Tuchel mampu mencatatkan persentase kemenangan 68,7 persen. Angka itu salah satu yang tertinggi dalam sejarah Chelsea. Adapun persentase kemenangan Lampard, yang kerap berpesta gol, hanya 55,1 persen pada musim ini.
Bersama Tuchel, pertahanan Chelsea jauh membaik. Gawang ”Si Biru” hanya kebobolan sekali dari 11 laga yang telah mereka menangi sejauh ini.
Ketika Anda kehilangan fokus, mereka (Chelsea) akan mencetak gol. Mereka bermain sangat efektif.
Namun, Tuchel berbeda dibandingkan manajer yang terkenal dengan gaya pragmatisnya, Jose Mourinho. Tuchel mengandalkan penguasaan bola sebanyak mungkin untuk mencegah permainan lawan berkembang. Sementara Mourinho memilih bertahan total tanpa perlu penguasaan bola.
Hal itulah yang terlihat kemarin. Setelah unggul pada babak pertama lewat gol Mason Mount, Chelsea lebih berhati-hati menjaga keunggulannya. Mereka tetap mendominasi permainan, terbukti dengan penguasaan bola sampai 60,3 persen. Namun, Chelsea tidak memaksakan diri mencari gol kedua.
Gol kedua Chelsea, dari Ben Chilwell, baru datang saat Porto lengah, yaitu pada menit ke-85. ”Si Biru” lebih memilih tidak mencetak gol kedua dibandingkan harus kemasukan satu gol lawan. Kesabaran itu menjadi kunci kemenangan mereka, termasuk saat dua kali menang tipis atas Atletico Madrid pada babak 16 besar.
Tak pelak, kekaguman muncul dari gelandang Porto, Matheus Uribe. Menurut dia, Chelsea seolah-olah menjebak lawan dengan bermain terbuka lewat penguasaan bola. ”Ketika Anda kehilangan fokus, mereka akan mencetak gol. Mereka bermain sangat efektif,” ucapnya.
Saat menguasai bola, Chelsea memang tampak lebih terbuka. Namun, tidak mudah merebut bola, apalagi mereka tidak memaksa menembus pertahanan lawan. Di sisi lain, pertahanan mereka yang dikawal tiga bek solid dan dua gelandang bertahan sudah dalam posisi siap untuk menghadang.
Gelandang Chelsea, Jorginho, berkata, sangat penting untuk tidak kebobolan. Hal itu krusial demi menjaga kemenangan. ”Ketika kami bisa bertahan solid, akan lebih tenang juga untuk menyerang. Tidak kebobolan sangat penting, apalagi setelah perasaan tidak bagus (karena kemasukan lima gol pekan lalu dari West Bromwich Albion),” ungkapnya.
Gaya pragmatis ini mungkin agak berlawanan dengan ciri khas Tuchel ketika melatih Borussia Dortmund dan Paris Saint Germain. Di kedua tim tersebut, dia membebaskan timnya untuk bermain lebih cair dan mencetak gol sebanyak mungkin.
Namun, manajer asal Jerman itu agak berhati-hati di Chelsea. Dalam wawancara pertamanya sebagai manajer Chelsea, dia berkata akan menyesuaikan filosofinya dengan kebutuhan tim. Kebutuhan itu adalah mencari kemenangan sebanyak mungkin, bukan gol. Target pragmatis ini tidak lepas dari tuntutan sang pemilik klub, Roman Abramovich.
”Kami pernah memenangi banyak pertandingan bersama, juga kalah bersama-sama. Tetapi, hal terpenting adalah reaksi ketika kami kalah. Hal itu semakin menyatukan kami, memberi kepercayaan, ini sangat sempurna,” sebut Tuchel, yang gembira timnya mampu merespons dengan gemilang kekalahan dari Albion, akhir pekan lalu. (AP)