Lokasi Markas Tentukan Sukses atau Gagalnya Tim
Kemenangan selalu berawal dari rumah. Prinsip itulah yang dipakai tim-tim raksasa di Piala Eropa 2020. Mereka membentuk markas senyaman dan selengkap mungkin guna memicu performa pemain.
Bagi tim nasional sepak bola Jerman, neraka dan surga hanya terpisah dalam empat tahun. Tim asuhan pelatih Joachim Loew ini pernah mencicipi ”surga” dunia pada Piala Dunia Brasil 2014, sebelum terjerumus ke ”neraka” pada empat tahun berikutnya.
”Turniermannschaft.” Demikian julukan Jerman yang artinya tim spesialis turnamen. Dengan kredibilitas, sejarah kuat, dan status juara bertahan, tidak ada yang menyangka mereka akan dipermalukan di Piala Dunia Rusia, 2018 silam.
Semua kenangan manis di Brasil berubah pahit seusai ditaklukkan tim semenjana asuhan Shin Tae-yong, Korea Selatan. Jerman pun gagal lolos dari babak penyisihan grup di Rusia, empat tahun setelah berjaya di Piala Dunia Brasil.
Begitu banyak aspek yang dijadikan kambing hitam capaian terburuk mereka sejak 1938 itu, mulai dari isu politik yang melibatkan gelandang Mesut Oezil, kegagalan taktik Loew, hingga habisnya era emas ”Die Mannschaft”. Namun, sang kapten tim, Manuel Neuer, punya alasan yang berbeda.
Baca juga : Grup Neraka Penguji Calon Juara Eropa
Katanya, keterpurukan timnya berawal dari markas tempat tinggal tim di kompleks Hotel Vatutinki, Rusia, yang bagai neraka. ”Anda seperti tidak bisa merasakan suasana bermain di Piala Dunia,” jelas sang kiper.
Bak "penjara"
Vatutinki, berjarak 40 kilometer dari barat daya Moskwa, sudah seperti penjara. Tempat itu terisolasi dari dunia luar dengan dikelilingi beton tebal dan hutan tanpa ujung. Udara dingin di sekitar kompleks juga tidak jarang menyiutkan semangat pemain untuk berlatih.
Neuer dan rekan-rekan menjalani dunia terbalik dibandingkan empat tahun sebelumnya. Ketika di Brasil, mereka menginap di kompleks Hotel Campo Bahia. Resor mewah itu memiliki keindahan pantai khas daerah tropis. Markas ini diibaratkan surga yang membawa kenyamanan untuk seluruh pemain. Kebahagian surgawi itu dibawa mereka ke medan laga, salah satunya ketika menggilas tuan rumah Brasil, 7-1, pada semifinal Piala Dunia 2014.
Dua peristiwa berbeda itu menjadi pelajaran berharga bagi Direktur Timnas Jerman Oliver Bierhoff. Mantan striker timnas itu tidak lagi berani meremahkan keajaiban yang hadir dari tempat tinggal skuad.
Dia pernah berkata, sebelum ajang di Rusia dimulai, pemain datang ke Piala Dunia untuk bertarung, bukan berlibur. Pemikiran otoriter itu yang membuatnya memilih Vatutinki, hotel klasik yang bergaya dekorasi ala zaman Uni Soviet. Dia pun menyesali ucapannya itu.
Menurut Bierhoff, kebahagiaan skuad akan jadi fokus utama di Piala Eropa 2020. Maka, kali ini, dia memilih kompleks megah Adidas Campus di Herzogenaurach, Bavaria, Jerman, sebagai markas tim ”Panser.”
”Di satu sisi, kami ingin pemain fokus dengan pekerjaan dan latihan mereka. Saat bersamaan, pemain juga butuh pemulihan. Mereka butuh tempat yang seperti rumah. Kami yakin tempat ini akan bagus untuk kedua hal itu,” ucap Bierhoff.
Tim asuhan Loew akan tinggal dan berlatih dalam area seluas 59 hektar itu. Tempat yang bisa dicapai dengan dua jam berkendara dari Stadion Allianz, Muenchen, itu punya fasilitas mewah berupa lapangan berstandar internasional hingga pusat kebugaran ekstra lengkap. Suasana yang modern dan penuh lanskap rumput hijau juga memberi kenyamanan lebih.
Bakal terisolasi
Tempat tinggal yang nyaman terbukti bisa meningkatkan performa atlet. Pemahaman itu sudah menjadi rahasia umum bagi negara-negara yang ingin tampil di turnamen besar. Kondisi psikologis sangat penting diperhatikan, apalagi musim ini mereka akan lebih terisolasi di dalam markas masing-masing akibat pandemi Covid-19.
Trik serupa dilakukan Perancis. Sang juara dunia ini mereplikasi kenyamanan yang didapatkan pada gelaran di Rusia. Ketika itu, mereka menginap di Hilton Garden Inn, Istra, Rusia. Markas ”Les Vleus” itu punya fasilitas mewah, tetapi juga ketenangan dengan pemandangan pedesaan dan danau.
Sekarang, tim asuhan Didier Dechamps itu akan tinggal di negaranya, tepatnya di kompleks akademi sepak bola Clairefontaine. Tempat yang berjarak 30 kilometer dari Paris ini adalah rumah kelahiran bintang Perancis, seperti Thierry Henry dan Nicolas Anelka.
Namun, para pemain justru hanyut dalam suasana pesta dengan WAGs, di antaranya Victoria Beckham (istri David Beckham) dan Cheryl Cole (istri Ashley Cole).
Sebagai akademi, Clairefontaine punya fasilitas lengkap dalam urusan persiapan dan pemulihan skuad. Di sisi lain, tempat ini juga dilengkapi dengan hotel mewah bergaya klasik.
Menepis kemewahan
Lain lagi dengan Inggris. Pelatih mereka, Gareth Southgate, terus mencari ekuilibrium antara suasana santai dan disiplin. Southgate belajar dari pengalaman pelatih-pelatih sebelumnya, mulai dari Terry Venables, Sven Goran Eriksson, Fabio Capello, hingga Roy Hodgson.
Pada masa Eriksson, markas Inggris lebih seperti tempat berpesta dibandingkan markas tim sepak bola. Sang pelatih mengizinkan pemain menghadirkan istri dan kekasihnya alias WAGs (wife and girlfriends) di markas tim. Hal itu untuk menenangkan pemain.
Baca juga : Jack Grealish Membawa Magis
Namun, para pemain justru hanyut dalam suasana pesta dengan WAGs, di antaranya Victoria Beckham (istri David Beckham) dan Cheryl Cole (istri Ashley Cole). Pemain senior Rio Ferdinand pun sangat cemas dengan suasana itu. Padahal, mereka akan menghadapi laga hidup mati, yaitu versus Portugal, di perempat final Piala Dunia Jerman, 2006 silam.
Cilakanya, salah satu pemain menghilang, saat itu. Dia ternyata tengah mengurus anaknya lalu merayakan ulang tahun di tempat lain. Mantan bek Inggris, Gary Neville berkata, suasana tim memang dibuat santai, tetapi itu sudah melewati batas. Pesta itu berakhir dengan kekalahan dari Portugal.
Kemudian, datang rezim Capello. Sang pelatih mengisolasi skuadnya dari para WAGs. Pelatih tegas asal Italia itu selalu berkata, pemain datang ke turnamen untuk berlaga, bukan berpesta. Namun, pemain merasa terlalu terkekang. Hasilnya, tim ”Tiga Singa” juga gagal berprestasi. Mereka kandas di babak 16 besar Piala Dunia Afrika Selatan, 2010 silam.
Southgate mencoba memadukan kedua gaya berbeda itu di Piala Dunia Rusia. Dia menemukan formula yang lebih moderat. Sang pelatih memberikan izin ke pemainnya untuk bertemu anggota keluarga. Akan tetapi, mereka tidak bisa sesukanya pergi dan berpesta. Semua tergantung izinnya.
Pelatih berusia 50 tahun itu juga sesekali mengajak pemain dan keluarganya makan malam di markas tim. Acara itu memberikan rasa kekeluargaan dan kenyamanan untuk para pemain. Di saat bersamaan, dia juga bisa mendengarkan isi hati pemainnya. Hasilnya, Inggris menembus semifinal Piala Dunia untuk kali pertama sejak 1990.
Menonton band
Southgate tidak mau lagi terlalu membebaskan pemainnya. Selain pengalaman Eriksson, dia juga belajar dari pengalaman sendiri saat Piala Eropa 1996 di Inggris. Dia dan Stuart Pearce, rekannya sesama pemain saat itu, pernah diizinkan Venables menonton konser musik band asal Inggris, Sex Pistols.
Padahal, tiga hari ke depan, mereka akan menghadapi musuh bebuyutannya, Jerman, pada semifinal. Southgate pun gagal mengeksekusi penalti yang membuat Inggris takluk dalam adu penalti saat itu. Pengalaman itu tak pernah bisa dilupakan Southgate hingga detik ini.
Menurut Southgate, WAGs akan dilarang masuk ke markas tim selama Piala Eropa 2020. Semua itu karena protokol kesehatan yang ketat di era pandemi Covid-19. ”Mungkin, kami akan mengizinkan beberapa pemain kembali ke rumah jika perlu. Namun, itu dengan pengawasan sangat ketat,” jelasnya.
Kami ingin berada di dekat pusat laga, sehingga bisa untuk bersantai dan jalan-jalan. Tempat ini sudah seperti rumah sendiri. Saya yakin, ini pilihan tepat. (Fernando Santos, Portugal)
Skuad Inggris nantinya akan bermarkas di pusat sepak bola St George Park, sekitar Burton upon Trent. Tempat seluas 330 hektar itu punya fasilitas modern yang dibutuhkan tim. Mereka akan dimanjakan dengan fasilitas ala hotel bintang empat dan lanskap pedesaaan Staffordshire. ”Kami sudah mengenal tempat ini. Pastinya, akan memberikan energi lebih untuk tim,” ungkap Southgate.
Adapun sang juara bertahan, Portugal, tidak memilih markas di negaranya sendiri. Cristiano Ronaldo dan rekan-rekan akan menetap di Grand Hotel Pulau Margaret, Budapest, Hongaria.
Menurut sang pelatih, Fernando Santos, para pemainnya bisa lebih banyak beristirahat jika tetap tinggal di Budapest dan tidak pulang-pergi ke negara asalnya. Tim ”Selecao” akan menjalani dua laga babak penyisihan grup di Arena Puskas, Budapest, Hongaria.
”Di Rusia (2018), kami tinggal di antah-berantah. Kami ingin berada di dekat pusat laga, sehingga bisa untuk bersantai dan jalan-jalan. Tempat ini sudah seperti rumah sendiri. Saya yakin, ini pilihan tepat,” ucap Santos. (AFP)