Pekan pembuka penyisihan grup Piala Eropa 2020 berakhir pahit bagi mayoritas tim yang dominan menyerang. Fenomena ini dihadapi barisan tim raksasa, seperti Jerman dan Spanyol.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
Ada ungkapan yang menjadi keniscayaan di era sepak bola modern, yaitu ”menyerang adalah pertahanan terbaik”. Kalimat ini agaknya tidak berlaku dalam pekan pertama Piala Eropa 2020. Tim yang mendominasi permainan, dengan hujan peluang, justru lebih banyak berujung pada kekalahan.
Tim spesialis turnamen, Jerman, membuktikannya ketika ditaklukkan juara dunia Perancis, 0-1, dalam laga penyisihan Grup F di Arena Allianz, Muenchen, Rabu (16/6/2021) dini hari WIB. Pada laga itu, Jerman memenangi seluruh statistik.
Tim ”Panser”, yang dipimpin gelandang Toni Kroos, mengungguli Perancis dalam jumlah tendangan (10-4), penguasaan bola (59 persen), hingga operan sukses (644-371). Sepanjang 20 menit terakhir laga itu, Jerman bahkan memaksa 11 pemain Perancis ”memarkir bus” di sepertiga areal pertahanannya.
Dominasi Jerman itu juga tampak jelas dalam perhitungan matriks gol yang diharapkan atau expected goals (xG). Matriks itu mengukur kualitas peluang menjadi gol. Menurut data xG Philosophy, Jerman menghasilkan angka xG 1,29, sementara Perancis hanya 0,29. Angka xG milik Perancis itu adalah salah satu yang terendah dalam 12 laga awal di turnamen ini.
Namun, ”Die Mannshcaft” tetap kalah akibat gol bunuh diri bek veteran, Matt Hummels. Gol pada menit ke-20 laga itu memaksa Jerman keluar lebih menyerang, sementara Perancis bersembunyi dalam bentengnya.
Di pinggir lapangan, Pelatih Jerman Joachim Loew berkali-kali mengekspresikan kekesalannya. Puluhan umpan silang dari sisi kiri dan kanan buntu karena bertumpuknya para pemain Perancis.
Kurang tajam
Kata Loew, laga itu sangat brutal dan intensif. Timnya sudah mengeluarkan segala upaya untuk bisa menang, tetapi papan skor tidak menunjuk hal demikian. ”Kami sudah memberikan segalanya, tetapi hanya kurang tajam di sepertiga terakhir (pertahanan lawan) untuk memanfaatkan peluang,” ujarnya.
Di sisi lain, Perancis membuktikan kepada tim juara dunia 2014 itu bahwa efektivitas adalah hal terpenting saat ini. Tim asuhan Didier Deschamps itu tidak punya tujuan menampilkan permainan menghibur. Mereka hanya ingin meraih tiga poin.
”Hal terpenting kami bisa membawa tiga poin. Tanpa bola, kami tetap tampil bagus di lapangan sendiri. Semua pemain mau bertahan. Kami menderita bersama sebagai tim, terutama pada babak kedua,” kata kapten tim Perancis, Hugo Lloris.
Sehari sebelumnya, tim semenjana, Swedia, mengajari salah satu tim pengoleksi Piala Eropa terbanyak, Spanyol, bermain efektif. Swedia menunjukkan, percuma menyerang jika tidak berujung gol. Dengan hanya penguasaan bola 25 persen dan empat tendangan, Swedia bisa menahan Spanyol, 0-0. Dari 17 tendangan Spanyol, tidak satu pun mengoyak jala Swedia.
Anomali
Penampilan Spanyol dan Jerman merupakan penegas anomali di pekan pertama Piala Eropa. Realitasnya, setengah dari 12 tim tidak mampu menang, meskipun lebih mendominasi atau unggul dalam xG. Empat tim di antaranya kalah dan dua tim lainya berakhir imbang.
Efektivitas serangan adalah salah satu aspek penentu anomali itu. Spanyol misalnya, tidak punya striker murni mumpuni, begitupun dengan Jerman.
Kehati-hatian tim pada laga pembuka juga menjadi faktor penyerta. Tim-tim unggulan enggan menyerang terlalu frontal, sementara barisan ”kuda hitam” lebih memilih bertahan total. Mereka ingin menghindari kekalahan di laga awal penyisihan grup.
Tak pelak, hasil pekan pertama cenderung datar. Sebanyak 7 dari 12 pertandingan berlangsung seri atau menang dengan keunggulan tidak lebih dari satu gol.
Indikasi bermain aman itu juga terlihat dalam data menit terjadinya gol. Dari total 28 gol, hanya 6 gol yang tercipta pada babak pertama. Angka itu kalah banyak dibandingkan gol yang tercipta setelah menit ke-75 (9 gol). Hal ini memperlihatkan, tim cenderung bermain habis-habisan ketika terdesak.
Fenomena pekan pembuka Piala Eropa itu menunjukkan, tim yang lebih menyerang tidak selalu punya peluang menang lebih besar. Semua tergantung efektivitas serangan.
Laga Portugal versus Hongaria juga ikut mencermin kehati-hatian itu. Tim juara bertahan, Portugal, nyaris bernasib serupa Jerman dan Spanyol. Mereka mendominasi laga versus Hongaria sejak menit pertama, tetapi tidak mampu mencetak gol pembuka hingga menit ke-83.
Bahkan, tim tuan rumah nyaris unggul berkat sepakan pemain pengganti Szabolcs Schon. Gol itu dibatalkan asisten wasit peninjau video (VAR) akibat offside. Beruntung, setelah itu, Portugal mendapatkan tiga gol beruntun dalam 8 menit lewat Raphael Guerreiro dan Cristiano Ronaldo (2 gol).
Pelatih Portugal Fernando Santos berkata, timnya lebih mudah menyerang seusai mencetak gol pertama pada menit ke-84. Hongaria terlihat sangatlah hati-hati ketika skor masih imbang, 0-0. Namun, setelah tertinggal, Hongaria tidak punya pilihan selain keluar menyerang.
”Saya sebenarnya mengharapkan hal yang lain dari Hongaria. Mereka menghabiskan hampir sepanjang laga dengan bertahan sangat dalam. Kami mencoba mencetak gol, tetapi sangat sulit. Hingga akhirnya kami mencetak gol, mereka pun mulai kehilangan fokus,” ujar Santos.
Pelatih Hongaria Marco Rossi mengakui, timnya memang memilih bermain aman saat itu. Mereka butuh poin untuk meningkatkan peluang lolos dari grup ”neraka” yang dihuni Portugal, Jerman, dan Perancis. ”Kami tak bisa seperti ini lagi. Pada dua laga selanjutnya, kami harus berinisiatif, bermain lebih berani, dan membuat peluang,” tutur Rossi.
Fenomena pekan pembuka Piala Eropa itu menunjukkan, tim yang lebih menyerang tidak selalu punya peluang menang lebih besar. Semua tergantung efektivitas serangan. Di sisi lain, seni bertahan masih menunjukkan eksistensinya. (AFP)