Kata Gary Lineker, sepak bola adalah permainan sederhana selama 90 menit yang selalu dimenangi Jerman. Ucapan penuh kenangan buruk ini menghantui skuad Inggris jelang laga 16 besar Piala Eropa 2020 melawan Jerman.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
LONDON, KAMIS — Sungguh berat menjadi pendukung tim nasional Inggris. Perasaan mereka terombang-ambing hanya dalam beberapa jam terakhir. Baru saja larut dalam bahagia karena tim ”Tiga Singa” lolos ke babak 16 besar Piala Eropa 2020 sebagai juara Grup D, mereka kembali gelisah, dinanti mimpi terburuk berwujud skuad tim ”Panser”, Jerman.
Jika ada satu tim yang ingin dihindari Inggris dalam setiap ajang, mereka adalah tim spesialis turnamen, Jerman. Sejarah mencatat tangis dan tawa meliputi pertemuan kedua tim sejak abad lalu. Hanya saja, Inggris lebih banyak berduka.
Gary Lineker, mantan penyerang Inggris, menjadi saksi ketangguhan Jerman pada Piala Dunia Spanyol 1982 dan Italia 1990. Lineker dan rekan-rekan bertarung sepenuh jiwa dalam dua laga yang berakhir seri ini. Namun, hasilnya hanya mengundang tangis dan kecewa.
Pada laga babak kedua 1982, mereka gagal lolos ke semifinal karena kalah jumlah poin dari Jerman. Delapan tahun kemudian, Inggris tersingkir dalam duel tos-tosan di semifinal.
Hingga, terbitlah ucapan legendaris dari mulut Lineker yang penuh sanjung kepada sang rival, juga penyesalan pada dirinya. ”Sepak bola adalah permainan sederhana, 22 pria mengejar bola selama 90 menit dan pada akhirnya Jerman selalu menang,” ucapnya seusai kalah adu penalti di Turin, Italia, pada 1990.
Lineker lagi-lagi menguji ucapannya dalam laga Jerman versus Hongaria di Allianz Arena, Muenchen, Jerman, Kamis (24/6/2021) dini hari WIB. Dia mencuit di Twitter ketika laga tersisa 10 menit dan Jerman tertinggal 1-2. Katanya, musuh masa lalunya itu mungkin akan pulang ke rumah akibat kalah tragis dari tim semenjana.
Lalu, tiba-tiba tim Panser mencetak gol penyeimbang lewat kaki Leon Goretzka jelang akhir laga. Lineker kembali kehabisan kata-kata. ”Seperti kita tahu, Jerman selalu…,” tulisnya tanpa penjelasan.
Lineker terkejut, sama seperti puluhan ribu pendukung Inggris lain. Mereka baru saja bernyanyi ”Football’s Coming Home” dengan antusias seusai timnya menang atas Ceko, 1-0, Rabu. Mereka yakin Inggris sebagai pemuncak grup akan bertemu lawan enteng di 16 besar. Faktanya, mereka bertemu ”hantu” terseram.
Nyanyian ”Football’s Coming Home” mendadak jadi ironi. Bagi publik Inggris, tembang yang dipopulerkan band rock alternatif asal Liverpool, The Lightning Seeds, tersebut adalah simbol harapan.
Padahal, lagu tersebut sekaligus menjadi saksi bisu perih luka yang digoreskan Jerman. Di dalamnya penuh lirik kekecewaan, termasuk kutukan ketika selalu kalah dari sang rival pada ajang besar dalam tiga dekade, 1966-1996. Lebih ironis lagi, lagu yang dirilis pada Piala Eropa 1996 ini justru mengiringi kegagalan tuan rumah Inggris. Saat itu, ”Tiga Singa” kalah lagi dalam adu penalti dari Jerman di semifinal.
Kambing hitam saat itu adalah Gareth Southgate, pelatih Inggris saat ini. Dia gagal mengeksekusi penalti di depan 70.000 penonton di Stadion Wembley, termasuk Ratu Elizabeth II. Tak ayal, Southgate mengaku tidak suka mendengarkan ”Football’s Coming Home”. Lagu itu bernuansa negatif baginya.
Sepak bola adalah permainan sederhana, 22 pria mengejar bola selama 90 menit dan pada akhirnya Jerman selalu menang.
Mimpi buruk itu kini berada di depan mata Southgate dan anak asuhnya. Mereka tidak punya pilihan selain membalaskan derita panjang tersebut. ”Ini menjadi tantangan besar bertemu tim hebat seperti mereka. Meski begitu, Wembley akan berperan penting untuk kami. Pendukung akan membantu kami,” ucap Southgate.
Inggris akan mencoba lepas dari jeratan karma. Bagi publik Jerman, kutukan Inggris adalah balasan dari dosa masa lalu. Mereka merasa dicurangi ketika kalah di final Piala Dunia 1966 dari Inggris lewat gol kontroversial striker Geoff Hurst.
Karma itu tampak jelas pada Piala Dunia 2010 ketika Inggris kalah telak dari Jerman, 1-4. Tiga Singa takluk karena tendangan Frank Lampard, yang sudah melewati garis gawang, tidak dianggap gol oleh wasit. Peristiwa ini serupa seperti gol Hurst. Bedanya, tendangan Lampard berujung pesta Jerman.
Saksi terdekat dalam kejadian kontroversial itu akan kembali hadir, yakni Pelatih Jerman Joachim Loew dan kiper Manuel Neuer. Mereka, mewakili jutaan penduduk, tidak segan untuk kembali melukai Inggris.
Kata Loew, Inggris pasti berbeda dibandingkan dengan 11 tahun lalu. Tim lawan akan mencoba untuk menyerang sebagai tuan rumah. ”Karena itu, kami harus meningkatkan pertahanan, terutama saat bola mati,” katanya.
Juergen Klinsmann, mantan pelatih Jerman, menilai laga ini berimbang dari kualitas pemain. Bukan tidak mungkin, pemenangnya akan ditentukan kembali oleh adu penalti. Hal ini tentu akan semakin mengembalikan memori buruk tuan rumah.
Eks gelandang Inggris sekaligus mantan rekan Southgate, Danny Murphy, tak sabar lagi melihat aksi generasi berbakat Tiga Singa. Dia meyakini skuad saat ini bisa menyakiti sang rival. ”Kami punya bakat luar biasa yang bisa merepotkan mereka,” ucapnya.
Duel raksasa ini menjanjikan keseruan dengan bumbu penuh kemarahan di masa lalu. Inggris mungkin agak dibayangi ketakutan. Namun, setidaknya jalan mereka mewujudkan ”Football’s Coming Home” akan lebih mulus jika mampu melalui ”Hantu Panser”. (AP/AFP)