Pengaturan Skor yang Mengejutkan, Memilukan, dan Melegakan
Enam pemain IBL terlibat dalam pengaturan skor laga musim lalu. Skandal berulang ini menghadirkan dua sudut pandang yang saling bertabrakan.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·4 menit baca
Dua pekan sebelum musim baru dimulai, pengelola Liga Bola Basket Indonesia atau IBL mengumumkan kabar tidak sedap. Mereka resmi mencoret enam pemain karena terlibat dalam pengaturan skor pertandingan pada musim lalu. Kabar ini mengejutkan, memilukan, sekaligus melegakan.
Mengejutkan karena pengumuman datang di tengah euforia IBL dalam setahun terakhir. Musim depan, klub-klub baru bergabung dari lintas industri, mulai dari keuangan digital hingga hiburan. Sejumlah artis Ibu Kota juga masuk ke beberapa klub, lama dan baru, sebagai pengurus ataupun pemilik. Industri bola basket tampak menjanjikan.
Tiba-tiba, Direktur Utama IBL Junas Miradiarsyah mengungkapkan kasus pengaturan skor bersamaan dengan konferensi pers jelang musim baru pada Rabu (29/12/2021). Enam pemain dari Pacific Caesar dan Bali United dihukum larangan terlibat seumur hidup di IBL dan denda Rp 100 juta akibat skandal tersebut.
Para pemain terlibat pengaturan skor dalam beberapa pertandingan Pacific Caesar pada awal musim. Lima pemain Pacific, yaitu Aga Siedartha, Arisanda, Gabriel Senduk, Yoseph Wijaya, dan Aziz Wardhana, menjadi pelaku di lapangan. Pebasket potensial Bali United, Yerikho Tuasela, berperan sebagai penghubung antara pemain dan pelaku judi daring.
Kami memulai investigasi dengan laporan yang berawal dari klub. Kami melakukan penelusuran dari bukti-bukti yang ada, seperti video pertandingan, juga dengan bantuan Perbasi dan klub. Setelah proses panjang, terbukti ada keterlibatan individu dalam pengaturan skor. Murni individu, bukan manajemen dan klub.
”Kami memulai investigasi dengan laporan yang berawal dari klub. Kami melakukan penelusuran dari bukti-bukti yang ada, seperti video pertandingan, juga dengan bantuan Perbasi dan klub. Setelah proses panjang, terbukti ada keterlibatan individu dalam pengaturan skor. Murni individu, bukan manajemen dan klub,” kata Junas.
Terungkapnya kasus bermula dari kecurigaan ofisial Pacific Caesar. Seperti disampaikan direktur klub, Irsan Pribadi, banyak pemain yang tak tampil sewajarnya pada awal musim 2021 di ”Gelembung” Cisarua, Bogor.
Klub pun mulai mengumpulkan bukti hingga mengonfrontasi langsung para pemain sampai klub akhirnya melapor ke IBL dan baru diselesaikan jelang musim baru. ”Kecurigaan kami terhadap pengaturan skor ini sudah cukup lama, tetapi memang membuktikannya kan susah, juga butuh waktu panjang. Para pemain mengaku motivasinya karena uang,” ucap Irsan.
Selain mengejutkan, kasus ini juga memilukan. Skandal pengaturan skor ini sudah pernah terjadi di IBL pada 2017. Ketika itu, kasus melibatkan 8 pemain dan 1 ofisial JNE Siliwangi Bandung. Bedanya, pengaturan skor itu diduga terlibat dengan bandar judi internasional, sementara kali ini berskala kecil yang melibatkan pemain, penghubung, dan seorang penjudi daring.
Sama seperti 2017, IBL memberikan hukuman serupa. Semua pelaku tidak bisa ikut serta di liga seumur hidup sebagai pemain, ofisial, ataupun pengurus. Keputusan ini sangat tepat. Seorang pelaku pengaturan skor telah mencederai sportivitas, juga berpotensi mengulangi tindakan serupa di kemudian hari.
Pengumuman kasus seperti ini selalu menghadirkan dua sudut pandang. Banyak yang mungkin memandang negatif karena liga ternyata belum bersih seutuhnya. Namun, di sisi lain, tersisa hal positif. Klub dan liga mampu menjalankan fungsi pengawasan.
Keterlibatan klub dalam mengungkap skandal patut diapresiasi. Tanpa mereka, IBL nyaris tidak mungkin mengidentifikasi skandal tersebut. Adapun pemain dan ofisial Pacific Caesar yang tidak terlibat juga geram dengan kelakuan anggota timnya. Mereka turut memberikan informasi penting kepada klub. Hal ini menandakan ekosistem klub yang masih sehat.
Transparansi IBL memberikan kelegaan tersendiri. Liga berarti mendukung ekosistem industri yang bersih. Kejadian tidak transparan pada kasus 2017 tidak terulang. Ketika itu, skandal baru terkuak setelah Perbasi melayangkan surat protes ke pengelola kompetisi lain karena pemain yang mendapat sanksi tampil di kompetisi tersebut.
Junas menyadari pentingnya transparansi. IBL adalah cermin kemajuan bola basket nasional. Sudah seharusnya liga utama ini bersih dari skandal. Mereka pun memilih untuk mengumumkan jelang liga dimulai meski bisa berdampak pada kepercayaan sponsor dan penonton.
Namun, mereka lebih ingin mencabut duri dalam daging secepat mungkin, sebelum menyebar hingga berakibat infeksi. Transparansi ini justru diyakini membuat kepercayaan publik lebih tinggi daripada sebelumnya. Musim baru pun bisa dimulai tanpa beban besar di pundak. ”Kami tidak mau kasus seperti ini terulang kembali,” jelasnya.
IBL harus lebih waspada ke depannya. Semakin besarnya industri, potensi pengaturan skor akan lebih tinggi. Selain pengawasan, salah satu yang menjadi isu adalah kesejahteraan pemain. Motivasi para pelaku mengarah ke isu kesejahteraan yang juga sama seperti kasus empat tahun lalu.
Tentu uang tidak bisa menjadi pembenaran seorang pemain untuk berbuat curang. Namun, jika berada dalam posisi sangat sejahtera, pebasket lokal mungkin akan berpikir seribu sekali untuk melakukan kecurangan, dengan segala risikonya. Mungkin itu pula yang ada di benak pemain NBA yang sudah sejahtera sehingga tidak pernah terdengar kasus pengaturan skor yang melibatkan pemain.