Realitas Pahit-Manis Kehidupan Saling Berpacu di Vietnam
Kejutan sudah menjadi hal lumrah di SEA Games 2021. Seperti halnya realitas kehidupan, atlet-atlet Indonesia memaknai momen jatuh-bangun di Vietnam. Odekta meraih emas, sebaliknya Windy kehilangannya.
Oleh
KELVIN HIANUSA, I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·4 menit baca
HANOI, KOMPAS — Hidup penuh kejutan, tak selalu bahagia ataupun sebaliknya, sedih. Realitas hidup itu saling berpacu di SEA Games Vietnam 2021. Saat pelari maraton Indonesia, Odekta Naibaho (30), menebus kesalahannya dengan raihan medali emas, lifter Windy Cantika Aisah (19) harus menahan kecewa karena gagal mempertahankan prestasi.
Ekspektasi yang berbanding terbalik dengan realitas itu harus dijalani Windy. Lifter putri andalan Indonesia di kelas 49 kilogram itu pulang dengan tangan hampa dari Hanoi Sports Training Center, Vietnam, Kamis (19/5/2022).
Sempat memberi harapan lewat angkatan snatch 86 kg, yang menyamai rekor SEA Games, sang juara bertahan justru tidak meraih medali apa pun. Windy mengejutkan seluruh penonton saat gagal dalam tiga angkatan clean and jerk 100 kg. Dia pun keluar dari persaingan medali.
Bagi peraih perunggu Olimpiade Tokyo 2020 itu, angkatan cleanandjerk 100 kg ada di bawah standarnya. Tim pelatih menggunakan jumlah beban itu hanya untuk mengamankan medali. Sebelumnya, Windy bisa mengangkat beban 102 kg di Kejuaraan Dunia Yunior, awal Mei lalu. Ia juga pernah meraih angkatan 110 kg di Olimpiade.
Namun, kemarin, dia sangat kesulitan ketika ingin memasuki posisi jerk (mengangkat beban ke atas kepala) pada angkatan 100 kg. ”(Saya) baru pulang dari Kejuaraan Dunia (Yunior). Mungkin lagi capek. Juga, lagi cedera pinggang dan tulang kering,” ucap Windy yang baru saja jadi juara dunia yunior.
Akibat cedera pinggang, Windy harus mengubah fondasi kaki ketika memasuki posisi jerk. Dia mengubah kuda-kuda kaki menjadi sejajar, dari biasanya menyilangkannya saat melakukan angkatan. Dia belum biasa dengan teknik itu.
Namun, itulah realitasnya. Windy sadar tidak selamanya bisa berada di atas. Dia harus belajar untuk bisa menerima kegagalan. ”Semua atlet tak selamanya ada di atas. Pasti ada cedera, ada capeknya juga. Bisa jadi banyak faktor karena lagi cedera. Intinya, ini bukan rezeki saya,” ucapnya.
Kekalahan itu bukan semata-mata karena penampilan Windy. Ada faktor lainnya di Vietnam, yaitu ancaman pesaing. Ancaman itu datang dari lifter Thailand, Khambao Surodchana, yang kembali tampil setelah hukuman kasus doping. Ia meraih emas lewat total angkatan 198 kg (snatch 88 kg dan cleand andjerk 110 kg).
Surodchana memecahkan rekor SEA Games dalam tiga kategori sekaligus, yaitu snatch, cleanandjerk, dan total angkatan. Surodchana, yang bertubuh lebih kekar, bahkan melampaui catatan total angkatan Windy saat meraih medali di Olimpiade Tokyo, yaitu 194 kg.
Dirdja Wihardja, pelatih kepala tim angkat besi Indonesia, berkata, target utama Windy bukanlah SEA Games, melainkan Olimpiade Paris 2024. Maka, fokus utamanya adalah kualifikasi Olimpiade yang akan berlangsung pada November 2022. Pengalaman di Vietnam itu akan menjadi bahan evaluasi besar untuk Windy.
Saya ingin memperbaiki kesalahan dahulu. Setelah gagal meraih emas, inilah saat penebusan dosa. (Odekta Naibaho)
Menurut Dirdja, tim pelatih akan membuat program agar Windy bisa mengangkat cleanandjerk hingga 112 kg. Windy pernah mencapai titik itu sebelumnya dalam latihan. ”Saya yakin dia bisa. Di 2020 saja sudah sempat segitu. Nanti, kita kembalikan ke situ lewat program yang dulu,” katanya.
Di sisi lain, realitas hidup menghadirkan kebahagiaan untuk Odekta. Dia meraih emas nomor lari maraton di Stadion My Dinh, Hanoi, Kamis pagi. Capaian itu adalah penebusan kesalahan atlet putri yang nyaris meraih emas maraton SEA Games Filipina 2019 lalu itu.
Belajar dari kesalahan tiga tahun lalu, Odekta menyusun strategi baru. Emas yang sempat hilang itu kini berada di genggamannya lewat catatan finis 2 jam 55 menit 27 detik. Dia mengungguli para pesaingnya, seperti Christine Hallasgo (Filipina) yang finis kedua dengan waktu 2 jam 56 menit 6 detik.
Menebus ”dosa”
Di Filipina 2019, Odekta sempat memimpin lomba. Namun, 600 meter menjelang finis, ia terjatuh. Emas maraton direbut Hallasgo. ”Saya ingin memperbaiki kesalahan dahulu. Setelah gagal meraih emas, inilah saat penebusan dosa,” katanya.
Menurut Odekta, di Filipina, ia melakukan kesalahan karena tidak sabar dan ambisius. Padahal, pada lari maraton, pelari yang finis pertama bukan yang mampu berlari kencang, melainkan yang terampil membaca jalannya perlombaan. Sekarang, Odekta mengaku sudah belajar, mengetahui lawan dan kemampuan masing-masing.
Saat berlari, Odekta hampir menderita kram karena sedikit terpancing ritme lari lawannya. Beruntung, dia bisa mengendalikan diri sehingga bisa melanjutkan lomba tanpa cedera. Odekta kemudian tidak terpancing pace lawan-lawannya. Dia sengaja menahan emosi dan ambisi. Ia tidak mau mengulangi kesalahan di Filipina.
Beban dan tekanan besar meraih emas juga memengaruhi mental Odekta. Hingga hari terakhir perlombaan atletik, sebelum lari maraton, Indonesia baru meraih satu emas yang disumbangkan atlet tolak peluru putri, Eki Febri Ekawati.
Padahal, Indonesia menargetkan bisa meraih delapan medali emas di atletik. Target itu lebih tinggi dari koleksi lima emas di SEA Games Filipina. ”Tekanannya cukup besar bagi saya karena teman-teman baru meraih satu emas,” kata juara Borobudur Marathon 2021 itu.