Ganda campuran Indonesia pernah memiliki pamor dalam Kejuaraan Dunia Bulu Tangkis. Liliyana "Butet" Natsir, bahkan, empat kali menjadi juara dunia. Namun, nomor ini harus menanti lebih lama untuk melahirkan juara baru.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·4 menit baca
Indonesia pernah menanti selama 25 tahun untuk melihat lahirnya kembali juara dunia bulu tangkis ganda campuran, setelah Christian Hadinata/Imelda Wigoeno menjadi juara dunia 1980. Setelah naik pamor sejak awal era 2000-an, kini, nomor ganda campuran Indonesia berada pada masa surut.
Pada Kejuaraan Dunia di Tokyo, Jepang, 22-28 Agustus, ganda campuran Indonesia akan diwakili tiga pasangan, yaitu Rinov Rivaldy/Pitha Haningtyas Mentari, Rehan Naufal Kusharjanto/Lisa Ayu Kusumawati, Zachariah Josiahno Sumanti/Hediana Juliamarbela.
Praveen Jordan/Melati Daeva Oktavianti sebenarnya mendapat undangan dari Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF) untuk turut bersaing. Apalagi, pasangan peringkat kelima dunia itu masih menjadi ganda campuran nomor satu Indonesia. Namun, mereka tak mengambil kesempatan itu karena Praveen masih mengalami pemulihan cedera pinggang.
Praveen/Melati sempat menjadi harapan baru ganda campuran Indonesia ketika mulai menonjol saat menjuarai Denmark dan Perancis Terbuka 2019 secara beruntun, lalu All England 2020. Namun, dalam Kejuaraan Dunia, yaitu pada 2018 dan 2019, selalu tersisih pada babak ketiga. Mereka pun gagal meneruskan pamor Indonesia setelah Tontowi Ahmad/Liliyana “Butet” Natsir menjadi juara dunia pada 2013 dan 2017.
Butet, bahkan, menjadi salah satu pebulu tangkis Indonesia dengan gelar juara dunia terbanyak, yaitu empat gelar, sama seperti yang didapat Hendra Setiawan. Sebelum bersama Tontowi, Butet menjadi juara dunia 2005 dan 2007 ketika berpasangan dengan Nova Widhianto yang saat ini menjadi pelatih ganda campuran pelatnas bulu tangkis Indonesia.
Gelar pada 2005 di Anaheim, AS, bahkan, menjadi yang pertama setelah Christian/Imelda menjadi juara dunia 1980 di Jakarta. Nova/Butet menjadi penerus Tri Kusharjanto/Minarti Timur yang meraih perunggu Kejuaraan Dunia 1997.
Selain Rinov/Tari yang pernah tampil dalam Kejuaraan Dunia 2019 di Basel, Swiss, dua pasangan lain akan menjalani debut pada turnamen Kategori I dalam struktur turnamen BWF ini. Namun, mereka berstatus sama di pelatnas bulu tangkis Indonesia, yaitu sebagai pemain pelatnas utama.
Rinov/Pitha menjadi yang terdepan dengan peringkat ke-18 dunia. Meski demikian, juara dunia yunior 2017 tersebut belum cukup matang untuk bisa mengalahkan pasangan top dunia.
Saat ini, persaingan ganda campuran level elite dunia dikuasai empat pasangan peringkat teratas dunia, yaitu Dechapol Puavaranukroh/Sapsiree Taerattanachai (juara dunia 2021 asal Thailand), Zheng Si Wei/Huang Yaqiong (juara dunia 2018 dan 2019/China), Yuta Watanabe/Arisa Higashino (juara All England/Jepang), dan Wang Yi Lyu/Huang Dong Ping (peraih emas Olimpiade Tokyo 2020/China).
Tahun ini, Zheng/Huang, bahkan, meraih lima gelar juara dari turnamen BWF World Tour level Super 500 ke atas, yaitu Indonesia Terbuka Super 1000, Malaysa Terbuka (750), serta Thailand, Indonesia, dan Malaysia Masters (500).
Dari keempat pasangan tersebut, pelatih ganda campuran pelatnas bulu tangkis Indonesia Nova Widhianto menilai, pemain-pemain China menjadi yang paling sulit dikalahkan. Ini karena mereka memiliki karakter permainan cepat yang konsisten sejak poin awal hingga poin akhir pertandingan.
Setelah dikalahkan Zheng/Huang dalam final Indonesia Terbuka di Istora Gelora Bung Karno, Jakarta, Juni, Watanabe menyebut hal yang sama. Kecepatan Zheng/Huang sangat sulit untuk diimbangi.
Ketika di antara keempat pasangan tersebut tampil dalam turnamen yang sama, hampir dipastikan laga final mempertemukan dua di antara mereka. Dalam All England tahun ini, keempatnya, bahkan, bersaing pada semifinal. Watanabe/Higashino mengalahkan Puavaranukroh/Taerattanachai, sementara Wang/Huang menang atas rekan senegara mereka, Zheng/Huang. Watanabe/Higashino pun mempertahankan gelar juara.
Menjadi pemain yang berada di bawah generasi Praveen/Melati, level permainan Rinov/Pitha, Rehan/Lisa, dan Zachariah/Hediana masih jauh dari ganda campuran empat besar tersebut. Rinov/Pitha misalnya, baru menembus final Malaysia Masters Super 500 sebagai hasil terbaik dalam turnamen BWF World Tour yang terdiri atas level Super 300, 500, 750, dan 1000. Dalam perebutan gelar juara, mereka kalah dari Zheng/Huang.
Dari tiga pasangan top lainnya, Rinov/Pitha, juga, tak pernah menang. Mereka tertinggal 0-3, masing-masing, dari Wang/Huang dan Puavaranukroh/Taerattanachai dan 0-4 dari Watanabe/Higashino.
“Ganda campuran memang sedang mengalami masa transisi karena tidak ada pemain senior di pelatnas. Setelah Owi/Butet pensiun, diikuti dikeluarkannya Praveen/Melati dari pelatnas, tak ada panutan untuk dicontoh pemain-pemain dengan usia lebih muda. Rinov/Pitha dan pemain lain harus mengemban tanggung jawab sebagai yang paling senior dalam usia yang masih muda,” kata Nova.
Ganda campuran memang sedang mengalami masa transisi karena tidak ada pemain senior di pelatnas.
Berdasarkan pengalamannya, Nova menilai, keberadaan senior dalam masa transisi generasi sangat penting. Dengan demikian, pemain-pemain yang lebih muda dapat mencontoh kedisiplinan dalam keseharian mereka.
Tanpa senior, pemain ganda campuran pelatnas utama saat ini harus mencari jati diri sendiri. Mendapat status pemain nomor satu pelantas tidaklah mudah ditanggung Rinov/Pitha, apalagi ketika belum matang untuk bersaing dengan pemain elite dan menjadi juara ajang besar.
Dengan situasi yang ada pada ganda campuran saat ini, tak ada target tinggi bagi ganda campuran Indonesia di Tokyo. Nova, bahkan, baru menargetkan gelar juara dari turnamen level Super 500 ke atas dari Rinov dan kawan-kawan pada 2023. “Namun, tidak menutup kemungkinan, itu bisa terjadi pada tahun ini,” katanya.