Pilates dapat memperbaiki postur tubuh dan cedera yang menjadi sumber masalah kesehatan bagi banyak orang. Pilates juga memiliki perbedaan dengan yoga.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pilates dapat memperbaiki postur tubuh yang salah. Program rehabilitasi kesehatan kerap menjadi alasan sebagian orang untuk mendalami pilates. Selain menambah kebugaran, pilates menjadi opsi untuk merehabilitasi bentuk tubuh yang buruk, seperti skoliosis. Pilates mampu menjawab persoalan membenahi kondisi tulang belakang yang melengkung itu.
”Aku menderita skoliosis dan lordosis juga menjadi tertarik ikut pilates,” ujar Auginta Narasti (25) di Breathe Studio, Jakarta, Minggu (27/11/2022). Lordosis, dikutip dari Spine Universe, adalah kondisi kurva tulang belakang yang menjorok berlebihan ke dalam.
Keputusannya mendalami pilates diambil setelah berkonsultasi beberapa kali dengan dokter. Dokter menyarankan untuk berolahraga renang, tetapi Auginta berminat untuk mencoba pilates. Menurut dia, olahraga itu dapat lebih meregangkan tubuhnya karena sejumlah alat yang dipakai memang didesain untuk melatih otot-otot.
Selama hampir enam bulan menekuni pilates, Auginta mulai merasakan dampak positifnya. ”Penyakit punggung yang dulu sering kurasakan sudah jarang kambuh ya setelah ikut pilates,” kata karyawan swasta ini.
Hal serupa juga dikatakan peserta lain, Idayu Hanitari (28). Ia memilih pilates guna mengencangkan badan serta melonggarkan beberapa bagian tubuhnya. Ritme olahraga yang tak menuntut kecepatan itu membuatnya betah untuk melanjutkan pilates karena tubuhnya terasa makin bugar.
Sementara itu, instruktur pilates Breathe Studio, Yoshi Walangitan, mengiyakan jika sejumlah anak didiknya mengikuti pilates atas dasar rehabilitasi. “Pilates itu banyak variasi gerakannya, jadi buat segala macam masalah ada solusinya,” ujarnya seusai mengajar.
Ia menambahkan, pilates ramah bagi seluruh kelompok umur. Sebab risiko kecelakaannya relatif rendah dibanding olahraga-olahraga lain.
Senada dengan Yoshi, pemilik Aalaya Pilates, Mira Hassan, mengatakan sekitar 60 persen klien-kliennya datang didasari isu kesehatan. Beberapa di antaranya untuk memperbaiki postur tubuh, serta memulihkan badan karena pernah menjalani operasi panggul dan disk serviks yang menyerang bagian leher. Disk serviks, seperti dikutip dari Spine-Health, adalah penyokong tulang vertebra yang bersifat fleksibel untuk menggerakkan kepala.
Kami membantu untuk memelihara otot-ototnya agar tetap selaras. Sebab mereka harus terus menjaga tubuhnya guna mencegah cedera ulang.
”Kami membantu untuk memelihara otot-ototnya agar tetap selaras. Sebab mereka harus terus menjaga tubuhnya guna mencegah cedera ulang,” ujar Mira yang juga instruktur pilates ini.
Dalam kelas rehabilitasi ini, tak sembarang instruktur dapat melatih anak didiknya. Hanya instruktur berpredikat fisioterapi yang diizinkan menangani klien-klien dengan isu kesehatan tertentu.
Pilates tak hanya fokus mengolah beberapa anggota tubuh, melainkan seluruh badan. Hal ini dilakukan dengan berbagai gerakan serta sejumlah alat. Oleh karena itu, tiap klien akan mendapat perlakuan yang berbeda sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
Selain persoalan cedera, Mira menyebut pilates dapat membantu para ibu sebelum dan sesudah kelahiran. Alasannya, olahraga itu bisa memperkuat otot dan postur tubuh serta mencegah penyakit punggung saat mengandung atau menggendong anak.
Meski demikian, tak seluruh klien Aalaya Pilates menjadi anggota karena persoalan kesehatan. Sebagian kecil lainnya memang bergabung demi menjaga kebugaran tubuh. Mereka biasanya masuk dalam kelas berkelompok, ketimbang privat yang fokus untuk klien dengan kebutuhan tertentu.
”Hasil latihan ini biasanya terbawa ke dalam kehidupan sehari-hari klien. Misalnya, agar tidak bungkuk, mereka perlu menjaga posisi duduknya dengan benar, begitu pula saat mengambil barang berat,” kata Mira.
Pilates kerap disamakan dengan yoga, padahal kedua olahraga itu berbeda. Pilates dan yoga memiliki sejarah dan olah tubuh yang berlainan.
Mira mengatakan, berdasarkan sejarahnya, yoga lebih tua dibandingkan pilates. Sebab yoga telah menjadi gaya hidup yang berkembang dari gerakan-gerakan zaman India kuno. Sementara, pilates ditemukan setelahnya dengan nama yang sama seperti penemunya, Joseph Pilates. Ia terinspirasi setelah fokus melakukan rehabilitasi, penyembuhan bagi dirinya dan para tentara saat Perang Dunia I.
Hal paling menonjol yang tampak antara pilates dan yoga terletak pada penggunaan alat. Pilates banyak memanfaatkan berbagai alat besar ketimbang yoga yang cenderung hanya menggunakan barang yang sederhana, seperti matras.
"Yoga dan pilates sama-sama bermanfaat untuk tubuh. Hanya saja pilates lebih klinis," ujar Mira.
Dalam kesempatan berbeda, Yosi menambahkan, gerakan yoga cenderung lebih lambat dan menahan suatu pose. Berbeda dengan pilates yang lebih dinamis dengan gerakan bervariasi.
Siasat bertahan
Kala kasus Covid-19 memuncak, olahraga termasuk sektor yang terguncang. Seluruh pusat kebugaran tutup guna menekan penyebaran kasus. Pemerintah pun mengimbau masyarakat meminimalisasi mobilitasnya.
Kondisi itu ternyata tak menghentikan Mira untuk mengajar pilates. Justru pandemi Covid-19 mendorongnya berinovasi, sehingga ia melahirkan dua kanal YouTube pilates berbahasa Indonesia dan Inggris.
”Kami malah bertumbuh saat pandemi. Kami makin dikenal orang, bahkan di berbagai dunia, seperti Eropa, Amerika, dan Australia,” ujar Mira.
Tak hanya itu, Mira sukses memanfaatkan momen untuk mengembangkan usahanya dengan mengenalkan aplikasi berbayar ”Flow with Mira Pilates”. Aplikasi tersebut berisi berbagai kelas pilates yang dapat diakses bebas para pengguna. Mira juga memberikan kelas secara langsung tiap pekannya. Dalam setahun, tiap pengguna perlu merogoh kocek 175 dollar AS atau setara Rp 2,7 juta dengan kurs Rp 15.668 per dollar.
Siasat bertahan di tengah pandemi juga dilakukan Yoshi. Ia sempat mengadakan kelas daring pada 2020 yang hanya bertahan kurang dari setahun. Sebab setelah kasus Covid-19 mulai melandai bebarengan dengan kebijakan pemerintah yang melonggar, para pecinta pilates memilih untuk datang ke studio.
”Kalau secara online, instruktur enggak bisa memantau detail apakah gerakan yang dilakukan benar atau salah. Jadi memang orang-orang akhirnya kembali lagi ke studio,” kata Yoshi.