Eksistensi ”Sang Bahtera” Sriwijaya untuk Indonesia
Walaupun batal menggelar Piala Dunia U-20, renovasi Gelora Sriwijaya terus dilanjutkan. Stadion itu akan terus menjaga eksistensinya di ajang nasional dan internasional demi kebanggaan Indonesia.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH, RHAMA PURNA JATI
·6 menit baca
Sejak selesai dibangun pada 2004, beragam kegiatan nasional hingga internasional silih berganti digelar di Stadion Gelora Sriwijaya Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan. Stadion yang arsitekturnya terinspirasi dari bahtera atau kapal untuk mengenang kemaharajaan maritim Sriwijaya itu terus berbenah agar selalu siap menjadi arena perhelatan ajang dunia suatu hari kelak.
”Walaupun gagal menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 2023, renovasi Gelora Sriwijaya tetap berlanjut karena sudah tertuang dalam kontrak dan diperkirakan tuntas pada awal Mei, yang dilanjutkan dengan serah terima aset kembali kepada manajemen Jakabaring Sport City (JSC). Nantinya, kami akan memanfaatkan stadion ini untuk berbagai kepentingan, mulai dari olahraga hingga acara hiburan,” ujar Manajer Operasional JSC Afriandi Gunawan di Palembang, Senin (3/4/2023).
Kondisi Gelora Sriwijaya kini tampak berbeda dibandingkan sebelumnya. Saat Asian Games Jakarta-Palembang 2018 digelar, atap stadion berkapasitas 23.000 penonton itu berwarna biru dengan kursi berwarna-warni, yaitu kuning, merah, dan biru. Lapangan hijau masih dikelilingi lintasan tanah merah dan kerikil.
Namun, sejak renovasi besar pada akhir 2020, yaitu untuk persiapan Piala Dunia U-20 yang semula menurut rencana digelar pada 2021, wajah Gelora Sriwijaya kini berubah total. Kesan stadion tua, yang semarak penuh warna, berubah menjadi elegan berkat konsep renovasi yang estetik.
Untuk kali pertama, warna atap diubah menjadi putih. Adapun warna kursi menjadi gradasi merah-putih. Perpaduan warna itu membuat Gelora Sriwijaya kini lebih segar, bak bangunan baru. Kesan itu kian kuat dengan perubahan bahan lintasan di sekitar lapangan hijau, yaitu dari gravel menjadi karet sintetis.
Setelah Piala Dunia U-20 ditunda ke 2023, renovasi dilakukan lebih masif sesuai arahan Federasi Asosiasi Sepak Bola Internasional (FIFA). Beragam fasilitas baru disuguhkan. Dari hanya bermodal lampu sorot di atas atap tribune barat-timur, stadion itu kini memiliki sumber pencahayaan dari setiap ujung atas empat tiang baja di empat sudut stadion. Papan skor digital yang usang diganti dengan ukuran lebih besar serta berteknologi mutakhir.
Tempat duduk pemain cadangan dan ofisial di pinggir lapangan tidak lagi menggunakan kursi plastik, melainkan kursi busa bercorak merah-putih. Disiapkan pula ruang ganti yang mewah layaknya stadion-stadion di Eropa. Tersedia juga ruang transit dan ruangan khusus atau royal box untuk tamu penting.
Adapun lapangan menggunakan rumput jenis Zoysia japonica dari Jepang yang dijahit dengan rumput sintetis. Rumput selalu dijaga kerataan permukaannya sehingga terbentang hijau bak permadani dengan pola kotak-kotak. Segenap perubahan itu dilengkapi sentuhan lokal berupa motif songket khas Palembang yang menghiasi eksterior dan interior stadion, terutama di bagian dinding, pilar, dan pintu tribune barat atau utama.
Renovasi itu telah membuat Gelora Sriwijaya mencapai level baru sesuai standar FIFA. Capain itu menjadi tonggak sejarah baru bagi stadion yang berdiri di lahan rawa yang direklamasi jelang penyelenggaraan PON Sumatera Selatan 2004 tersebut.
Dana APBN Rp 155,196 miliar dan APBD Sumsel sebesar Rp 30 miliar digelontorkan untuk merenovasi Gelora Sriwijaya berikut empat fasilitas latihan, yakni lapangan atletik, panahan, dan bisbol di kompleks JSC serta Stadion Bumi Sriwijaya yang berjarak 10 kilometer dari kompleks JSC. Nilai anggaran itu mencerminkan renovasi terbesar di Gelora Sriwijaya dalam beberapa tahun terakhir.
Kendati masih kecewa batal menggelar Piala Dunia U-20, Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru berharap spirit di balik pembangunan sarana dan prasarana ajang itu tetap terjaga untuk meningkatkan prestasi sepak bola Sumsel. ”Kami berharap semangat generasi muda untuk mengejar mimpi di sepak bola tidak pupus dan para pemangku kepentingan memiliki visi yang sama untuk membantu atlet-atlet muda meraih prestasi tertinggi,” katanya.
Tonggak baru
Di sisi lain, renovasi itu telah membuat Gelora Sriwijaya mencapai level baru sesuai standar FIFA. Capaian itu menjadi tonggak sejarah baru bagi stadion yang berdiri di lahan rawa yang direklamasi jelang penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) Sumatera Selatan 2004 tersebut.
Ketika baru berdiri, Gelora Sriwijaya dianggap sebagai arena termegah di luar Pulau Jawa. Bahkan, arena itu dinilai cuma kalah dari stadion kebanggaan nasional, Gelora Bung Karno, Jakarta. Hal itu membuat pemerintah tidak lagi berpikir Jawa-sentris untuk menggelar ajang olahraga cabang tunggal dan multicabang internasional di Indonesia.
Setelah PON 2004, Gelora Sriwijaya tanpa putus menjadi tuan rumah Piala AFF U-20 2005, Piala Asia AFC 2007, Piala AFF 2010, SEA Games 2011, Islamic Solidarity Games 2013, ASEAN University Games 2014, Piala AFF Putri U-16 2018, Piala AFF Putri 2018, Asian Games 2018, dan Piala AFF Putri U-18 2022. Di masa emas klub Sriwijaya FC, stadion yang mulai dibangun pada 1 Januari 2001 itu menjadi arena kandang untuk laga internasional, yaitu ajang Liga Champions Asia 2009 dan Piala AFC 2010 serta 2011.
Maka, Gelora Sriwijaya tak senasib warisan PON lainnya yang terbengkalai seusai pesta olahraga nasional tersebut berakhir. Lagi pula, stadion itu ditunjang oleh lokasi Jakabaring yang tidak jauh dari pusat kota, yakni hanya 4 km dari Jembatan Ampera yang membentang di atas Sungai Musi, denyut nadi Palembang.
Daya dukung infrastruktur transportasi dan akomodasinya pun memadai. Di sekitar stadion itu tersedia akses jalan yang lebar dan tempat parkir luas. Transportasi umum relatif baik dengan adanya bus raya terpadu, Trans Musi, yang menghubungkan Jakabaring dengan segenap kawasan kota pada Januari 2010 atau jelang SEA Games 2011. Kereta api ringan terpadu (light rail transit), yang menghubungkan Jakabaring dengan Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, lalu dibangun untuk Asian Games 2018.
Mengubah wajah kota
Secara bertahap, Gelora Sriwijaya mengubah wajah kota Palembang. Kawasan Jakabaring, yang semula dikenal sebagai tempat ”jin buang anak” alias tertinggal dan sarat kriminalitas, menjelma jadi urat nadi baru di kota berjuluk ”Bumi Sriwijaya” tersebut.
Geliat ekonomi itu ditandai dengan berdirinya pusat-pusat niaga modern hingga hotel bintang lima di kawasan itu. Berdiri pula perumahan kelas menengah atas, perkantoran, perguruan tinggi, dan rumah sakit. ”Inilah salah satu keunggulan Gelora Sriwijaya, apa-apa dan ke mana-mana dekat,” ucap Afriandi.
Kini, meski FIFA mencoret Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20, JSC memastikan kualitas Gelora Sriwijaya akan tetap dijaga. Mereka telah menyiapkan fasilitas untuk merawat semua warisan renovasi, seperti alat pemotong, penyiram, pembersih, dan penebar pupuk untuk rumput, serta pekerja terlatih.
Untuk biaya perawatan, pengelola akan mencari sumber pendanaan dengan menjadikan Gelora Sriwijaya sebagai tempat penyelenggaraan ajang olahraga ataupun non-olahraga, seperti pentas seni atau konser musik. Sebab, biaya perawatan yang besar tidak akan cukup kalau cuma bergantung dari gelaran olahraga.
”Menjaga standar kualitas yang sudah dicapai ini rumit, repot, dan butuh banyak uang. Sebagai gambaran, harga satu alat untuk merawat rumput saja yang paling murah bisa Rp 40 juta. Maka itu, dengan kualitas dan reputasi Gelora Sriwijaya, kami berharap ada lebih banyak perhelatan olahraga dan non-olahraga yang diadakan di sini,” ungkap Afriandi.
Kandang Sriwijaya
Di samping itu, pengelola tidak menutup kemungkinan Gelora Sriwijaya kembali disewakan untuk kandang Sriwijaya FC di Liga 2. Dalam semusim terakhir, karena ada renovasi Gelora Sriwijaya, klub berjuluk ”Laskar Wong Kito” itu pindah rumah dan menjadikan Lapangan Atletik JSC sebagai markasnya.
Ariyadi Eko Neori, mantan ketua kelompok suporter Sriwijaya FC, Singa Mania, menyampaikan, Gelora Sriwijaya dan Sriwijaya FC tidak bisa dilepaskan. Salah satu alasan Pemerintah Sumsel di era Gubernur Syahrial Oesman membeli lisensi Persijatim Solo FC untuk diubah menjadi Sriwijaya FC per 23 Oktober 2004 adalah untuk mengisi kegiatan di Gelora Sriwijaya. Dengan begitu, stadion itu bisa terus dipakai dan terawat. ”Semoga sehabis renovasi, Sriwijaya FC bisa bermain lagi di sana,” ujar Ariyadi.
Jika bisa dipakai kembali untuk kompetisi nasional, Gelora Sriwijaya tentu bisa memberi pengalaman baru bagi sepak bola Indonesia. Dengan segenap hasil renovasi kali ini, sang bahtera Sriwijaya itu diharapkan bisa menghadirkan kualitas pertandingan sepak bola yang lebih baik layaknya di negara maju. Diharapkan pula, suatu hari nanti, Gelora Sriwijaya bisa kembali mewakili Indonesia dalam hajatan internasional.