Tim ”Laskar Mataram”, PSIM Yogyakarta, Enggan Terus Terbenam
Sudah terlalu lama PSIM Yogyakarta terbenam. Setelah belasan tahun dipenuhi lara, kini saatnya ”Laskar Mataram” terbang tinggi seperti sejarah di awal masa berdiri.
Langit di atas Stadion Mandala Krida, Yogyakarta, mulai gelap. Dari area tribune stadion yang tampak remang-remang, cahaya merah suar menyala terang. Ribuan orang tampak memadati salah satu sisi tribune. Mereka bernyanyi dengan lantang, ”selalu bersama…menjadi satu… ku yakin dengan kamu...”
Kas Hartadi, pelatih baru PSIM Yogyakarta, berdiri tegap menghadap ke arah tribune stadion yang diisi suporter PSIM. Dengan penuh wibawa, dia memimpin para pemain timnya untuk berterima kasih selepas latihan. Matanya berbinar-binar, memancarkan kekaguman. Baru dua hari tiba di Yogyakarta, pria asal Surakarta itu langsung disambut meriah suporter PSIM.
Momen hangat pada Sabtu (1/7/2023) sore itu terasa bagai nuansa laga kandang akhir musim klub-klub Eropa. Padahal, saat itu, PSIM hanya menjalani latihan perdana menjelang musim baru Liga 2 Indonesia. ”Endak (pernah). Baru pertama kali seperti ini,” kata Kas, yang sudah malang-melintang sebagai pemain dan pelatih, mengenai sambutan suporter di Yogyakarta.
Baca Juga: Perjuangan Abadi Persebaya Surabaya
Pendukung setia dari kelompok suporter Brajamusti dan The Maident datang bukan karena Kas atau gelandang veteran, Hariono, yang pertama kalinya diperkenalkan ke publik. Ditanya apa alasan utamanya, mereka kompak menjawab, ”Hanya ingin (memberi) motivasi.”
Di kota yang terkenal romantis itu, sebuah romansa terekam. Inilah kisah cinta tanpa pamrih dari suporter ke klub. Mereka tetap setia mendampingi, meskipun PSIM bertahun-tahun absen dari kompetisi teratas Liga Indonesia sejak terakhir kali tampil di Divisi Utama pada musim 2007-2008. Padahal, tim-tim kota tetangga, seperti Persis Solo dan PSS Sleman, kini telah naik kasta.
Rasa frustrasi ada, tetapi itu dikalahkan cinta yang melekat. ”Tidak ada suporter yang berharap timnya elek (jelek). Tetapi, sesusah-susahnya PSIM, suporter tidak pernah meninggalkannya. (PSIM) sudah terpatri di hati kami,” kata Presiden Brajamusti Muslich Burhanuddin.
Namun, bukan berarti tim ini tercipta untuk gagal. PSIM hanya belum menemukan formula untuk bangkit. Sejarah mencatat, DNA juara mengalir di nadi klub itu. Seperti pada 1932, yaitu dua tahun setelah berdiri dengan nama Persatuan Sepak Raga Mataram (PSM) pada 1929, mereka langsung menjuarai edisi kedua kompetisi Perserikatan PSSI.
Prestasi PSIM selalu mengalami turbulensi. Mereka berkali-kali promosi dan degradasi. Turun dan naik prestasi itu bergantung dari figur kuat di tubuh klub yang bisa memancing sokongan dana dari APBD atau kantong pribadi.
Dalam turnamen peringatan setengah abad PSSI pada 1980 yang diikuti tujuh klub pendiri, PSIM juga berjaya. Diperkuat penyerang legendaris, Melius Mau, PSIM menjadi juara bersama Persija Jakarta seusai laga final berlangsung imbang 1-1 di Stadion Kridosono, Yogyakarta.
Jalan Malioboro menjadi saksi bisu jejak juara teranyar PSIM. Pada 5 September 2005, tempat wisata paling populer di Pulau Jawa itu pernah disesaki ribuan orang dari segala usia dan kalangan. Mereka menyambut konvoi juara PSIM yang menjadi juara Divisi 1 seusai menaklukkan Persiwa Wamena 2-1 dalam final di Stadion Si Jalak Harupat, Bandung.
Marjono, ”kapten sepanjang masa” PSIM, masih ingat betul kejadian 18 tahun silam tersebut. Para pemain PSIM disambut bak pahlawan perang. Saking bahagia, dia sampai lupa tangannya masih diperban setelah patah di final. ”Prestasi yang belum bisa dicapai lagi sampai saat ini. Semoga bisa terulang,” ucapnya.
”Laskar Mataram” terbilang kurang beruntung. Mereka sering ”dijegal” semesta. Ketika dalam kondisi terbaik setelah juara, lalu promosi ke Divisi Utama, mereka harus mengundurkan diri dari kompetisi karena gempa Yogyakarta pada 2006. Pada 2007, lalu muncul wacana Liga Super untuk musim berikutnya.
Divisi teratas, yang semula berisi 36 tim dari dua wilayah, lantas dipangkas menjadi hanya 18 tim. PSIM gagal masuk Liga Super 2008 karena finis di luar peringkat sembilan besar. Dalam rentang waktu itu, klub-klub sepak bola dituntut profesional dan mulai dilarang menggunakan dana anggaran pendapatan belanja daerah (APBD).
Baca Juga: ”Trendsetter” Itu Bernama Persebaya
Padahal, PSIM adalah salah satu klub yang paling bergantung dari APBD pada setiap musim. Saat sudah membaik dan berupaya promosi, Liga 2 dihentikan dua kali beruntun dalam tiga musim terakhir karena pandemi Covid-19 pada 2020 dan dampak lanjutan Tragedi Kanjuruhan pada musim 2022-2023.
Lingkaran ”Setan”
Dari era Melius, Marjono, hingga kini, prestasi PSIM selalu mengalami turbulensi. Mereka berkali-kali promosi dan degradasi. Turun dan naik prestasi itu bergantung dari figur kuat di tubuh klub yang bisa memancing sokongan dana dari APBD atau kantong pribadi.
Pada 1997-2000, PSIM sempat tampil di divisi tertinggi di bawah kepemimpinan Ketua Umum Idham Samawi. Setahun setelah Idham dilantik menjadi Bupati Bantul di 1999, PSIM terdegradasi. Adapun gelar juara Divisi 1 pada 2005 tidak lepas dari dukungan Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto yang ketika itu juga berstatus pembina klub.
Maka, sangat logis jika Laskar Mataram kesulitan bangkit sejak 2007. Dana APBD, yang selalu menjadi tulang punggung pendanaan klub, tidak lagi bisa digunakan. Pengalaman itu memperlihatkan pentingnya dukungan finansial terhadap kesuksesan klub. Prinsip itu mulai diubah sejak pemilik baru PSIM, Bambang Susanto, datang pada 2019.
Manajemen PSIM saat ini terus mencari formula untuk tumbuh sebagai klub profesional. Presiden Direktur PSIM Liana Tasno berkata, klub itu kini dikelola lebih modern dan peka terhadap dunia digital. Mereka menjadikan penggemar sebagai bahan bakar penggerak bisnis.
Baca Juga: ”Bajul Ijo” Menjaga Marwah Perserikatan
Euforia penggemar bisa diubah menjadi pendapatan dari tiket dan jersei, hingga meningkatkan valuasi klub agar mendapatkan sponsor dan investasi. ”Pendukung adalah aset terbesar klub ini. Tidak banyak klub yang memiliki pendukung loyal sejak dulu, seperti PSIM,” tutur Liana.
Target promosi ke Liga 1, menurut Liana, adalah salah satu cara memacu valuasi klub. Setelah itu, mereka bermimpi besar membuat PT PSIM Jaya Yogyakarta bisa melantai di bursa saham. Tujuannya adalah menyehatkan kondisi finansial klub.
Setelah kondisi finansial klub sehat, prestasi tinggal masalah waktu. Upaya manajemen sejak 2019 mulai terlihat. PSIM kini bisa merekrut pemain dan pelatih berkualitas. Hal itu dibuktikan dengan kehadiran Kas yang pernah menjuarai Liga 1 bersama Sriwijaya FC dan membawa Dewa United promosi dari Liga 2.
Kas diharapkan bisa mengulang prestasi pelatih ”bertangan dingin”, Sofyan Hadi, pada 2005. Kas sudah mengubah kultur klub, meskipun baru datang. Diskusi ke pihak luar, seperti Asosiasi Kota PSSI DIY dan kelompok fans, hingga memberikan kesempatan pemain muda lokal untuk uji coba, telah dilakukannya.
Sinergitas, yang sempat hilang di klub, pun dikembalikannya. ”Dewa sukses (promosi) karena satu visi dari atas sampai paling bawah. Semua bersinergi, lalu bekerja dengan porsinya masing-masing. Itu yang saya harapkan di PSIM agar tim ini bisa dikenang selamanya, sampai kami sudah tidak ada nanti,” ujar Kas.
Baca Juga: ”Politik” Bendera Suporter Sepak Bola di Yogyakarta
Hanya pembinaan yang masih menjadi lubang PSIM. Mereka belum punya akademi. Banyak bakat muda di Yogyakarta ”dicuri” akademi tim tetangga. Padahal, jika bisa dimanfaatkan, mereka tak perlu merogoh kocek guna merekrut pemain. Adapun sejarah juara klub ini selalu disertai keterlibatan pemain lokal.
Berjalan sekitar dua menit dari Mandala Krida, terdapat monumen PSSI. Bangunan kecil nan tua berukuran 8 meter x 8 meter itu adalah penanda sejarah. Di sana, sejarah sepak bola Indonesia dimulai. PSSI dibentuk pada 1930 berkat inisitif PSIM dan enam voetbal bond lainnya.
Ikatan sejarah plus cinta murni publik Yogyakarta itulah yang membuat PSIM patut dijaga dan dilestarikan. Orang-orang berkata, waktu seolah terhenti di kota itu. Bisa jadi, PSIM ikut terenyak dengan nuansa membuai itu. Namun, sudah saatnya mereka berlari, mengejar tim-tim tetangga, demi membalas cinta suporter sekaligus menjaga ”Warisane Simbah”...