Kembalinya Gianluca Scamacca, Kegagalan Berulang Penyerang Italia di Inggris
Baru semusim di Liga Inggris, penyerang Italia, Gianluca Scamacca, memutuskan kembali ke Italia dengan bergabung ke Atalanta. Scamacca kesulitan menaklukkan Inggris seperti para seniornya di periode sebelumnya.
BERGAMO, SELASA — Baru semusim memulai pertualangan baru bersama West Ham di Liga Inggris, penyerang muda Italia, Gianluca Scamacca, akhirnya memilih untuk pulang kampung ke Serie A Liga Italia dengan berlabuh ke Atalanta. Keputusan itu diambil tidak lepas dari kurang memuaskannya penampilan pemain berusia 24 tahun tersebut di Liga Inggris, kompetisi yang selama ini sulit ditaklukkan oleh sebagian besar pesepak bola asal ”Negeri Spageti”.
Scamacca direkrut Atalanta dari West Ham dengan nilai transfer 25 juta euro plus bonus performa 5 juta euro. Pemain kelahiran Roma, Italia, itu akan menerima gaji 3,2 juta euro per musim dengan kontrak selama empat tahun atau hingga 30 Juni 2027 per Senin (7/8/2023).
Atalanta sukses menyalip AC Milan, AS Roma, dan Inter Milan yang silih berganti mendekati Scamacca dalam sebulan terakhir. Klub asal Bergamo, Italia, itu menjadikan Scamacca sebagai pengganti Rasmus Holjund yang diboyong Manchester United dengan mahar 75 juta euro pada Sabtu (5/8/2023).
Baca juga: Gigi Buffon, Penanda Berakhirnya Era Emas Liga Italia
Namun, bukan karena Scamacca gagal ke Milan, Roma, ataupun Inter yang membuat transfer itu mengejutkan, melainkan, Scamacca dianggap terlalu cepat meninggalkan Liga Inggris. Padahal, saat jendela transfer musim panas tahun lalu, tepatnya pada 26 Juli 2022, Scamacca direkrut West Ham dengan ekspektasi tinggi.
Pemain kelahiran 1 Januari 1999 itu diboyong West Ham dari Sassuolo dengan nilai transfer 36 juta euro plus tambahan 6 juta euro dan klausul 10 persen dari penjualan kembali di masa mendatang. Nilai pembelian itu menjadi salah satu yang terbesar sepanjang sejarah klub asal London, Inggris, tersebut.
Scamacca secara tersirat menyatakan, alasannya memilih Atalanta karena ingin membangun ulang kariernya yang redup di Liga Inggris. Scamacca yang digadang-gadang bisa menaklukkan sepak bola ”Negeri Raja Charles” itu justru melempem sepanjang musim lalu. Dia hanya mencetak 8 gol dari 27 laga di semua kompetisi, antara lain 3 gol dari 16 pertandingan liga.
Padahal, di musim sebelumnya, Scamacca naik daun bersama Sassuolo dengan torehan 16 gol dari 38 laga di semua kompetisi, di mana semua gol itu dicetak dari 36 pertandingan liga. Dengan usia yang masih sangat muda, dia dinilai sebagai bakat besar yang siap menjadi andalan baru di lini depan timnas Italia.
Saya memilih tempat terbaik bagi saya untuk bisa kembali ke jalur dan lingkungan yang ideal untuk saya saat ini.
”Saya memilih tempat terbaik bagi saya untuk bisa kembali ke jalur dan lingkungan yang ideal untuk saya saat ini. Direktur dan pelatih membantu saya memahami bahwa mereka menginginkan saya dan membagikan ide-ide saya. Gasperini (Gian Piero Gasperini, Pelatih Atalanta) memberi tahu saya bahwa saya memiliki beberapa kualitas tersembunyi dan dia dapat melihatnya,” ujar Scamacca di laman resmi Atalanta seperti dilansir Football-Italia, Senin (7/8/2023).
Baca juga: Transfer Gratisan Solusi Keterbatasan Anggaran Klub Italia
Tradisi negatif
Melempemnya performa Scamacca di Liga Inggris sejatinya tidak terlalu mengherankan. Selama ini, pemain-pemain asal Italia, khususnya posisi penyerang, identik dengan tradisi negatif ketika bermain di kompetisi sepak bola terelite ”Negara Tiga Singa” tersebut.
Sejak dimulainya era Liga Primer pada musim 1992/93, ada 77 pemain dari Italia yang mencoba peruntungan karier di Inggris. Pemain Italia pertama yang berkarier di Liga Primer adalah mantan penyerang Torino, Andrea Silenzi, yang memperkuat Nottingham Forest pada 1995-1997.
Secara keseluruhan, dari 77 pemain itu, 36 orang di antaranya berposisi sebagai ujung tombak. Dari semua pemain depan itu, tak lebih dari 10 orang yang bisa dianggap sukses berkarier di Inggris.
Sebagian besar pemain yang dinilai sukses itu berasal dari era 1990-an, antara lain Gianfranco Zola yang membela Chelsea pada 1996-2003. Selama tujuh musim, Zola mengemas 80 gol dari 312 laga di semua kompetisi, antara lain 59 gol dari 229 pertandingan liga.
Zola turut membantu ”Si Biru” menjuarai Piala FA 1996/1997 dan 1999/2000, Piala Liga 1997/1998, Charity Shield 2000, Piala Winners 1997/1998, serta Piala Super Eropa 1998. Berkat kontribusinya, nama legenda kelahiran Oliena, Italia, itu tercatat dalam Chelsea Centenary XI 2005 dan Hall of Fame Sepak Bola Inggris 2006.
Baca juga: Perburuan Penyerang Baru di ”Negeri Spageti”
Selain Zola, penyerang Italia lain yang sukses di Inggris adalah Gianluca Vialli di Chelsea 1996-1999, Benito Carbone di Sheffield Wednesday 1996-1999 dan Aston Villa 1999-2000, Fabrizio Ravanelli di Middlesbrough 1996-1997 dan Derby Country 2001-2003, serta Paolo Di Canio di Sheffield 1997-1999 dan West Ham 1999-2003,
Terbaru, ada Mario Balotelli di Manchester City 2010-2013 dan Graziano Pelle di Southampton 2014-2016. Semua pemain itu dianggap sukses karena menjadi pilihan utama tim, atau bisa mencatat statistik gol dan penampilan yang cukup baik, atau berkontribusi membawa tim meraih gelar juara, hingga tercatat sebagai legenda. Maka dari itu, terlepas dari kontroversinya, Balotelli tetap dianggap sukses karena berperan besar saat City juara Liga Inggris 2011/2012.
Perbedaan gaya bermain
Menurut analisis The Guardian, di awal era Liga Primer, sepak bola Italia sedang berada di puncak kegemilangan. Level yang berbeda itu membuat pemain-pemain dari Negeri Spageti terbiasa dengan persaingan tingkat tinggi Liga Italia dan tidak kesulitan beradaptasi atau menjadi bintang baru saat hengkang ke Inggris.
Itulah mengapa pemain seperti Zola, Vialli, Ravanelli, dan Di Canio yang notabene tidak muda lagi tatkala bermain di Inggris bisa menemukan kejayaannya di sana. Namun, selepas era mereka, pemain-pemain asal Italia kesulitan untuk bersaing di Inggris.
Hal itu disinyalir karena berkembangnya Liga Inggris menjadi liga terbaik di dunia yang membuat banyak pemain terbaik ingin bermain di sana. Sebaliknya, pamor sepak bola Italia terus merosot yang menyebabkan tingkat persaingan antar klub mereka semakin menurun.
Baca juga: Satu Per Satu Bintang dan Talenta Terbaik Tinggalkan Liga Italia
”Liga Inggris sekarang lebih keras dan lebih intens daripada di akhir 1990-an dan awal 2000-an. Laju perkembangan Liga Inggris mempersulit orang-orang asing yang lebih tua (lambat) untuk beradaptasi di sini,” tegas The Guardian.
Hal itu diperkuat oleh analisa Fourfourtwo yang menyatakan, pemain Italia sulit berkarier di Inggris salah satunya karena perbedaan kultur gaya bermain. Sepak bola Italia mempertahankan tradisi yang mengedepankan taktik dan bagaimana pemain membaca permainan lawan.
Sebaliknya, sepak bola Inggris yang semakin modern sangat mengandalkan fisik yang dikenal dengan istilah kick and rush. Perbedaan mencolok itu sering kali membuat pemain dari Italia tidak mampu mengikuti ritme permainan timnya di Inggris. Tanpa mental yang tangguh, pelan-pelan mereka akan terseleksi oleh alam dan hilang dari peredaran.
”Sepak bola Inggris berbeda dengan Italia, tetapi belum tentu sepak bola Inggris lebih sulit. Saya merasa baik-baik saja di Inggris meskipun harus membiasakan diri dalam segala hal yang sama sekali berbeda dari Italia. Saya butuh latihan, sedikit ritme, dan beberapa permainan karena sepak bola Inggris lebih mengandalkan fisik sedangkan Italia sangat taktis,” jelas pemain sayap asal Argentina, Erik Lamela, yang bermain untuk Tottenham Hotspur selama 2013-2021 usai memperkuat AS Roma pada 2011-2013.
Baca juga: Membangun Ulang Roma dari Reruntuhan Liga Europa
Ada pula fenomena beberapa pemain kelahiran Italia yang menimba ilmu dari akademi klub di Inggris tetapi tetap tidak bisa menaklukkan sepak bola di sana, seperti Arturo Lupoli dari Akademi Arsenal pada 2004-2005, Federico Macheda dari Akademi Manchester United pada 2007-2008, dan Fabio Borini dari Akademi Chelsea pada 2007-2009. Terakhir, ada Marcello Trotta dari Akademi Manchester City 2008-2009 dan Akademi Fulham pada 2009-2011.
Kalau dikaitkan dengan sejarah, sejak dahulu, Italia yang diwakili oleh Kekaisaran Romawi tidak pernah mudah untuk menaklukkan Inggris yang dahulu disebut ”Tanah Britania”. Bahkan, Jenderal Romawi bernama Julius Caesar yang kelak menjadi salah satu pemimpin besar Romawi butuh dua kali ekspedisi pada tahun 55 dan 54 sebelum Masehi untuk bisa menembus Britania.
Pada akhirnya, Caesar tidak pernah menaklukkan wilayah mana pun dan meninggalkan pasukan di sana kecuali mendirikan kerajaan vasal. Mungkin saja, kutukan Caesar masih melekat dengan pemain-pemain Italia sehingga sulit untuk menaklukkan sepak bola Inggris. (REUTERS)