Arema, antara Kaburnya Sejarah Pendirian dan Tragedi Kanjuruhan
Selama 36 tahun mewarnai sepak bola nasional, banyak hal samar dalam sejarah Arema FC. Pendirian klub yang tidak terungkap jelas hingga sikap permisif klub terhadap Tragedi Kanjuruhan.
Hari ini, Arema FC merayakan hari jadi ke-36 sesuai dengan catatan waktu berdirinya klub itu pada 11 Agustus 1987. Perayaan ulang tahun tim berjuluk ”Singo Edan” itu diselimuti sorotan Tragedi Kanjuruhan. Sejumlah Aremania dan pencinta sepak bola nasional menyayangkan keputusan Arema tetap berkompetisi setelah wafatnya 135 Aremania, 1 Oktober 2022.
Dalam perjalanan lebih dari tiga dekade, Arema telah menjadi identitas sepak bola arek-arek Malang Raya, Jawa Timur. Gelar juara Galatama 1992-1993, Liga Super Indonesia 2009-2010, serta dua kali trofi Copa Indonesia adalah bukti nyata Arema sebagai salah satu tim papan atas dalam sejarah sepak bola modern Indonesia.
Namun, di luar sikap kontroversial manajemen klub menyikapi Tragedi Kanjuruhan, Arema juga menyimpan rahasia besar yang belum terungkap ke publik tentang sejarah pendirian klub. Melalui arsip Kompas ditemukan, nama tim sepak bola Arema sudah ada sejak 1986. Bahkan, Acub Zaenal yang ditahbiskan sebagai pendiri Arema, bukan sosok sentral tunggal dalam kelahiran tim berlogo singa itu.
Baca juga: Teriakan Duka dan Keprihatinan di HUT Ke-36 Arema
Acub adalah sosok yang mengumumkan Arema 86 sebagai salah satu dari enam klub baru di kompetisi Galatama musim 1987-1988. Dalam sebuah agenda di Surabaya, Juni 1987, Acub selaku Ketua III PSSI Bidang Galatama menyebut enam tim baru itu adalah Arema 86, Uni Bandung, Bekasi Putra, Lampung Putra, Palu Putra, dan sebuah tim di Medan, Sumatera Utara.
Dalam Kompas edisi 13 Juni 1987, Acub menjelaskan tim-tim baru itu membawa nama daerah asal klub itu agar menimbulkan kebanggaan daerah. Hal itu diharapkan membuat masyarakat setempat merasa memiliki klub itu sehingga bisa meningkatkan animo penonton hadir langsung menyaksikan tim itu bertarung di Galatama.
Adapun Dirk ”Derek” Sutrisno dikenal mendirikan klub Armada 86, kemudian mengubah nama klub itu menjadi Arema 86 pada medio 1986. Ketika Arema 86 diputuskan PSSI sebagai anggota baru Galatama dalam musim kedelapan liga profesional itu, Derek diangkat sebagai manajer tim.
Pada tabloid Bola edisi 10 Juli 1987, Derek mengungkapkan kehadiran Arema 86 sebagai kontestan baru Galatama merupakan buah gagasan dari Acub dan Wali Kota Malang kala itu, Tom Uripan Nitiharjo.
Baca juga: Pemukulan terhadap Suporter Picu Kerusuhan di Stadion Kanjuruhan
”Klub ini berdiri tidak lepas dari usaha Pak Acub dan Pak Tom. Keduanya begitu antusias untuk mendirikan klub Galatama di Malang,” ujar Derek.
Permintaan Acub agar klub dikelola profesional diwujudkan dengan menunjuk putra Acub, Lucky A Zaenal, sebagai Ketua Harian Arema 86. Pendirian Arema 86 disahkan melalui pendirian Yayasan Arema 86 di depan notaris Kamaruzamanan, 6 Juni 1987.
Kala itu, Derek mengungkapkan, pelatih pertama Arema 86 adalah Sungkono Sudhiarto dengan merekrut 20 pemain. PT Bentoel Malang menjadi sponsor utama klub. Untuk mempersiapkan kompetisi, pemusatan latihan dimulai pada 1 Juli 1987.
Selalu kalah
Jelang menyambut keikutsertaan perdana di Galatama, Arema 86 menyiapkan diri dengan menjalani sejumlah laga uji coba.
Klub ini berdiri tidak lepas dari usaha Pak Acub dan Pak Tom. Keduanya begitu antusias untuk mendirikan klub Galatama di Malang.
Pertandingan persiapan Arema 86 yang disaksikan oleh publik dalam jumlah besar adalah menghadapi tim Korea Selatan, Halleluyah, Senin, 20 Juli 1987, di Stadion Gajayana, Malang. Sekitar 9.000 pasang mata menyaksikan klub yang membawa harapan baru kebangkitan sepak bola Malang itu dilibas, 1-5.
Pada sejumlah laga uji coba itu, Arema 86 diasuh oleh Pelatih Slamet Pramono. Pemain andalan mereka adalah Kusnadi Kamaludin, Effendi Azis, Afari, dan Mahdi Haris.
Pramono menyebut dua alasan timnya tak berdaya menghadapi Halleluyah. Demam lapangan menjadi satu penyebab skuad Arema 86 tak bisa mengimbangi tim tamu. ”Selain itu, mereka pun kelihatan belum berpengalaman,” ujar Pramono.
Dalam sepekan, Arema 86 menjalani tiga uji coba menghadapi Niac Mitra, PSSI B, dan PSSI ABRI yang berakhir dengan kekalahan. Mereka tumbang 0-2 dari Niac Mitra, 1-3 dari PSSI B, dan 0-2 dari PSSI ABRI.
Perubahan nama
Dengan berbagai masalah dalam persiapan, termasuk rentetan kekalahan dalam empat laga uji coba, manajemen klub melakukan perombakan pada pertengahan Agustus 1987. Nama Arema 86 diubah menjadi Arema Malang, sehingga embel tahun berdiri dihilangkan.
Acub, yang menjabat Ketua III PSSI dan mengelola Galatama, didapuk sebagai Ketua Umum Arema. Acub pun menunjuk Sinyo Aliandoe, legenda dan pelatih nasional, untuk menangani tim yang diharapkan mengakhiri dahaga arek Malang melihat tim asal kota berhawa dingin itu di kompetisi kasta tertinggi Indonesia. Pada saat bersamaan, Persema Malang bermain di Divisi Satu Perserikatan setelah terdegradasi pada 1985.
Tidak hanya sebagai pelatih, Sinyo pun menggantikan posisi Derek sebagai manajer tim. Alasan kesibukan pekerjaan membuat Derek mengundurkan diri dari manajemen Arema.
Anwar Hudijono, wartawan senior Kompas, mengungkapkan keterlibatan langsung Acub dalam persiapan Arema berkiprah di Galatama tidak lepas dari desakan wartawan di Malang.
Baca juga: Bubarkan Kesebelasan Arema FC Jadi Salah Satu Opsi
”Saya bersama beberapa rekan wartawan meminta langsung agar Pak Acub turun tangan menyelamatkan Arema. Malu arek Malang klubnya jembret (kondisi buruk),” kata Anwar dalam sebuah obrolan, akhir Juli lalu.
Kondisi itu disebabkan kualitas pemain yang buruk, lalu situasi finansial yang mustahil bisa bersaing dengan klub-klub Galatama yang telah mapan, seperti Niac Mitra. Pengelolaan klub yang dipegang Acub dari Derek, kata Anwar, merupakan pergantian normal dalam organisasi.
”Arema ini benar-benar klub baru, bukan lanjutan Arema 86 yang pembentukannya berdasarkan akte Yayasan Arema 86, awal Juni lalu. Di mata Liga, klub Arema ini yang sah dan diakui. Bukan Arema 86 yang berdasarkan penilaian liga tak bisa lagi dipertanggungjawabkan keberadaannya,” kata Acub di Kompas edisi 22 Agustus 1987.
Saya bersama beberapa rekan wartawan meminta langsung agar Pak Acub turun tangan menyelamatkan Arema. Malu arek Malang klubnya jembret.
Pelepasan ”86” dari nama Arema dilakukan pada 13 Agustus 1987. Adapun pendirian Arema Malang didasari akta notaris tertanggal 11 Agustus 1987.
Meski begitu, Arema Malang menampung 12 pemain Arema 86. Lima pemain langsung direkrut adalah Atari, Kusnadi Kamaludin, Erwin Yoyo, Effendy Aziz, dan Mahdi Haris. Sisanya, tujuh pemain mengikuti seleksi.
Anwar menambahkan, Arema 86 tetap ada sebagai bagian dari Divisi Pembinaan Arema Malang. Kondisi itu serupa dengan Niac Mitra yang tetap membina PS Mitra sebagai pemasok pemain.
”Gagasan Pak Acub, klub profesional harus memiliki klub binaan,” ujar Anwar.
Akhirnya, dalam rapat PSSI di Hotel Indonesia, Jakarta, 22 Agustus, enam klub diterima sebagai kontestan baru Galatama 1987-1988. Mereka adalah Arema Malang, Uni Bandung, Lampung Putra, Palu Putra, Medan Jaya, dan Pusri Palembang.
Noda
Setelah mengalami perjalanan panjang selama lebih dari tiga dekade, Arema seakan mencatatkan noda dalam sejarah sepak bola Indonesia. Tragedi Kanjuruhan, 1 Oktober 2022, yang menewaskan 135 Aremania menyebabkan sebagian arek Malang menanggalkan identitasnya sebagai pendukung Singo Edan.
Eko Cahyono, salah satu Aremania, mengalami cinta yang memudar kepada Arema. Eko menganggap manajemen Arema tidak menunjukkan simpati kepada para korban jiwa sehingga tetap melanjutkan partisipasi di Liga 1 2022-2023, bahkan ikut serta di kompetisi musim 2023-2024.
”Saya lebih respek apabila musim lalu tim mengundurkan diri. Itu menunjukkan manajemen Arema ikut berduka dengan 135 Aremania yang kehilangan nyawa akibat mendukung tim kesayangan mereka,” ujar Eko.
Baca juga: Vonis Dua Terdakwa Gagal Hadirkan Keadilan
Tak hanya Eko, sejumlah pendukung Arema juga memasang spanduk dan poster di sudut-sudut Kota Malang yang menuntut keadilan bagi korban jiwa Tragedi Kanjuruhan. Salah satunya, spanduk besar hitam bertuliskan ”Usut Tuntas” terpasang di jembatan penyeberangan orang di kawasan Kayutangan, Malang.
Setelah mengaburkan sejarah pendirian klub, apakan Arema juga akan mengaburkan tragedi kemanusian di Stadion Kanjuruhan, 1 Oktober 2022? Waktu yang akan menjawab....