Persija Jakarta Menjaga Marwah Ibu Kota
Persija Jakarta terbukti tangguh menghadapi tantangan zaman. Naik-turunnya prestasi hingga terusir dari Ibu Kota tak lantas membuat ”Macan Kemayoran” kehilangan status sebagai tim raksasa Indonesia.
Dalam perjalanan negeri ini, Jakarta sebagai ibu kota Indonesia menjadi barometer bagi perkembangan sosial, ekonomi, hingga politik. Hal itu juga berlaku di sepak bola. Dalam setiap generasi, Persija Jakarta selalu menjadi patokan atau wujud ideal dalam pengelolaan klub di Tanah Air.
Sebagai contoh, Persija menjadi pionir klub yang mendatangkan pelatih asing untuk mengejar juara. Terobosan itu dilakukan ”Macan Kemayoran” ketika mengontrak pelatih asal Polandia, Marek Janota, Oktober 1977. Janota menjadi pelatih asing pertama yang mempersembahkan gelar kompetisi Perserikatan pada edisi 1979.
Saat itu, ia datang berkat kolaborasi Ketua Umum Persija Urip Widodo dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pemprov DKI membayar gaji dan menyediakan tempat tinggal untuk Janota selama melatih Persija. Keberhasilan Janota di Ibu Kota membuat PSSI meminangnya sebagai pelatih tim nasional sepak bola Indonesia. Persib Bandung juga sempat merasakan tangan dinginnya.
Baca juga: PSM Madiun Meniti Asa Kebangkitan
Takdir Janota itu dialami pula Stefano ”Teco” Cugurra di era modern ini. Setelah membawa Persija juara Liga 1 Indonesia pada 2018, ia melanjutkan kariernya di Indonesia bersama Bali United. Di sana, Teco menyulap Bali menjadi tim besar dengan koleksi dua gelar juara Liga 1 2019 dan 2021-2022.
Selain kebijakan yang terkadang radikal, harus diakui pula Persija menjadi klub yang paling sempurna dalam perjalanan sepak bola Indonesia. Mereka menjadi salah satu dari pendiri PSSI pada 19 April 1930 di Yogyakarta serta satu-satunya klub yang pernah merasakan gelar juara dalam seluruh sistem kompetisi di Tanah Air.
Ketika masih bernama Voetbalbond Indonesia Jacatra (VIJ), klub asal Jakarta itu meraih empat gelar turnamen kota (Stedenwedstrijden) PSSI. Mereka empat kali dinobatkan sebagai kampiun Kejuaraan Nasional PSSI dan satu kali juara ketika kompetisi disebut Perserikatan pada 1979. Di era Liga Indonesia, Persija meraih gelar pada 2001 dan 2018.
Kunci Persija menjaga eksistensinya adalah kemampuan beradaptasi dengan kebutuhan zaman. Sejak awal, Persija dibentuk untuk menjadi bond yang mandiri dan profesional.
Dalam perjalanan gemilang itu, Persija mencatatkan generasi emas seusai Indonesia merdeka atau pada dekade 1970-an. Tiga gelar juara dan sekali menjadi runner-up dalam lima edisi kompetisi di dekade itu menunjukkan dominasi Persija.
Tim paling diburu
Risdianto, penyerang andalan Persija 1971-1977, mengungkapkan, prestasi di dekade 1970-an itu serta predikat sebagai tim Ibu Kota membuat Persija menjadi tim yang paling diburu pada saat itu. ”Tim-tim lain berlomba-lomba mengalahkan Persija. Kami menjadi musuh bersama (karena) faktor juara dan status tim Ibu Kota,” ujar Risdianto, Selasa (22/8/2023).
”Dulu, Persija belum punya pendukung seperti sekarang. Jadi, ketika main di (Stadion) Senayan melawan tim yang punya pendukung fanatik, misalnya PSMS Medan dan Persebaya Surabaya, kami terasa seperti tim tamu. Di Menteng ada penonton, tetapi tidak terlalu banyak,” ujar Risdianto, pengoleksi 25 gol untuk timnas Indonesia.
Ia menambahkan, teror psikis di setiap laga tidak lantas meruntuhkan semangat timnya tampil terbaik dengan lambang Monumen Nasional di dada. Menurut dia, ”tsunami” trofi saat itu tidaklah lepas dari banyaknya pemain timnas Indonesia yang membela Persija.
”Pengalaman kami di timnas itu membentuk mental kami. Meskipun mendapat tekanan dari lawan di lapangan dan suporter di luar lapangan, kami tidak terpengaruh,” katanya.
Persija juga rutin menjadi duta Indonesia dalam pertandingan internasional. Persija sempat mengalahkan tim nasional Indonesia-Malaysia, 3-2, pada final turnamen Hari Kemerdekaan Vietnam Selatan, 4 November 1973. Trofi itu menjadi gelar turnamen internasional pertama Persija. Mereka juga sempat menjalani tur ke Australia, Filipina, Hong Kong, dan Malaysia pada awal 1974.
Pada masa keemasan itu, Persija rutin menjadi lawan dalam kunjungan tim-tim dari negara kuat sepak bola di Jakarta, seperti Csepel (Hongaria), Independiente (Argentina), AIK Stockholm (Swedia), dan Ajax Amsterdam (Belanda).
Baca juga: Jalan Panjang Membangunkan Persema Malang
Meskipun bergelimang prestasi, Persija juga menghadapi sejumlah tantangan sejak kelahirannya dengan nama VIJ pada 28 November 1928. Akan tetapi, Persija selalu punya cara untuk keluar dari masalah itu.
ME Asra, Soeri, Soekardi, Soeradji, dan Ali Soebrata adalah pemuda pribumi yang sepakat membentuk VIJ untuk menandingi bond sepak bola bentukan kelompok Belanda, salah satunya Voetbalbond Batavia en Omstreken (VBO). Asra bercerita, Pemerintah Hindia Belanda menepikan VIJ sehingga kesulitan menggelar kompetisi internal di dalam kota. Lapangan di Jakarta hanya diperuntukkan bagi kompetisi buatan VBO.
”Dulu, kami mendirikan organisasi VIJ bukan semata-mata berdasarkan hobi. Terlebih dari hal itu, kami dirangsang semangat nasionalisme yang menjalar ke mana-mana,” ucap Asra dalam arsip Kompas.
Masalah lapangan
Dalam mengikuti turnamen antarkota PSSI, pengurus dan para pemain VIJ pun bersedia ”patungan” untuk kelancaran pengelolaan bond dan mengikuti kompetisi. Awalnya, VIJ juga tidak memiliki pelatih. Akan tetapi, ungkap Asra, para pemain punya kesadaran untuk berlatih sendiri demi membawa nama Jakarta.
Lalu, masalah ketiadaan lapangan tidaklah membuat VIJ menyerah. Mereka rela berlatih di pinggiran, tepatnya Meester Cornelis yang kini adalah Jatinegara, Jakarta Timur. Hal itu berlaku pula saat ini. Persija tetap mampu eksis walaupun kesulitan mendapatkan markas di Ibu Kota.
Baca juga: PSMS Medan, Kepak ”Ayam Kinantan” Mendekap Keberagaman
Setelah Lapangan Ikada, Stadion Menteng, dan Stadion Lebak Bulus digusur demi proyek pembangunan, Persija mendapatkan aral untuk rutin menggunakan Stadion Gelora Bung Karno. Namun, itu tidak membuat Persija tersisih dari kompetisi kasta tertinggi nasional.
Persija rela menjadi musafir untuk berkandang di sejumlah kota lain, seperti Bekasi, Surakarta (Jawa Tengah), Bantul (DI Yogyakarta), hingga Madiun (Jawa Timur). Persija menjadi tim Ibu Kota yang tersisa di kasta tertinggi ketika tim-tim lainnya asal Jakarta, seperti Persijatim dan Persitara, terlempar akibat ketentuan tim profesional pada awal tahun 2010-an.
”Kunci Persija menjaga eksistensinya adalah kemampuan beradaptasi dengan kebutuhan zaman. Sejak awal, Persija dibentuk untuk menjadi bond yang mandiri dan profesional,” ujar Ketua Persija Foundation Budiman Dalimunthe.
Di sisi lain, Persija juga sangat mesra dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Dukungan Gubernur DKI, seperti Ali Sadikin (1966-1977) dan Sutiyoso (1997-2007), juga tidak lepas dari capaian trofi juara Persija pada masa lalu. Pada era Bang Ali, misalnya, Persija diberikan bantuan Rp 240.000 pada 1967 untuk melunasi utang dan membenahi program pembinaan.
Baca juga: PSIS Semarang Merintis Keajaiban Ketiga
Persija pernah pula mendapat alokasi dana pembinaan sebesar Rp 500.000 melalui KONI DKI. Tak hanya uang, Ali pun menyediakan 115 lapangan di DKI Jakarta untuk Persija berlatih dan menggelar kompetisi internal.
Kota sepak bola
Kini, Persija tidak sekadar mengejar prestasi. Layaknya sebuah perusahaan profesional, Persija punya tanggung jawab sosial demi melestarikan ”virus” sepak bola untuk warga Jakarta dan sekitarnya.
Wakil Presiden Persija Ganesha Putera menuturkan, pihaknya punya misi besar untuk menjadikan Persija bukan sekadar tim kebanggaan pencinta sepak bola Jakarta, melainkan juga menjadi stimulus untuk meningkatkan antusiasme warga Jakarta berolahraga, terutama bermain sepak bola.
Langkah itu telah dilakukan Persija dengan secara aktif menggelar kegiatan akar rumput untuk pembinaan sepak bola, pendidikan pelatih, serta workshop tentang sepak bola.
”Kami ingin menjadikan Jakarta sebagai kota sepak bola, kotanya Persija. Kami bertekad meningkatkan partisipasi masyarakat Jakarta untuk bermain sepak bola. Apabila warga Jakarta suka bola, mereka akan mencintai Persija. Ini positif bagi kehidupan sosial kota sekaligus menjadi tulang punggung bagi industri sepak bola di Jakarta,” ujar Ganesha.
Baca juga: Persib Bandung, Penjaga Marwah ”Bumi Pasundan”
Menyambut era industri sepak bola, Persija ingin melampaui citra sekadar klub sepak bola. Harapannya, slogan ”Gue Persija” tidak sekadar hadir untuk pemanis dukungan, tetapi juga mampu meresap ke dalam sendi-sendi kehidupan warga Jakarta. To The Next Level, Macan Kemayoran!