Sempurna, Kisah Cinderella Latvia
Tim kuda hitam Latvia memastikan lolos ke delapan besar dalam penampilan pertama di Piala Dunia. Kanada juga lolos seusai menumbangkan juara bertahan Spanyol.
JAKARTA, KOMPAS — Bagai kisah Cinderella, tim debutan Latvia mengawali perjalanan di Piala Dunia FIBA 2023 dengan sengsara. Akan tetapi, mereka sukses menutup kisah itu dengan bahagia di Stadion Indonesia Arena, Jakarta, pada Minggu (3/9/2023). Davis Bertans dan rekan-rekan berhasil merebut tiket untuk berangkat ke Manila, Filipina, dan menjalani babak delapan besar.
Pelatih kepala Latvia, Luca Banchi, semringah seusai timnya menumbangkan Brasil, 104-84. Dia berlari ke arah penonton, lalu mengambil kardus bergambar tiket pesawat dari Jakarta ke Manila. Stadion Mall of Asia, Manila, merupakan tempat digelarnya delapan besar Piala Dunia. Pada Minggu malam itu, Latvia dipastikan lolos jadi salah satu peserta.
Memulai babak kedua dengan rekor dua kali menang dan sekali kalah, tim kuda hitam itu bangkit dengan kemenangan beruntun atas Spanyol dan Brasil dalam dua hari terakhir. Mereka lolos ke perempat final dengan rekor empat kali menang dan sekali kalah. Kanada mengikuti jejak Latvia dengan rekor kalah menang serupa setelah menaklukkan juara bertahan Spanyol, 88-85, di laga terakhir.
”Kemenangan ini luar biasa, tidak bisa dipercaya. Setiap kami bermain bersama tim nasional di sini, ini adalah sejarah buat Latvia. Saya yakin semua warga Latvia menonton, saya merasakan energi dari 2 juta orang. Kami selalu menjadi kuda hitam, termasuk di sini. Tetapi, itu justru membuat kami bisa tampil tanpa tekanan,” kata Bertans.
Baca juga : Selamat Datang di ”Neraka” Latvia!
Sebelumnya, tidak ada yang percaya tim peringkat ke-29 dunia itu mampu menembus perempat final. Termasuk ribuan pendukung mereka yang terbang puluhan jam dari Riga, ibu kota Latvia, ke Jakarta. Bagaimana tidak, Latvia dikepung tim-tim raksasa dunia, seperti Kanada, Perancis, dan juara bertahan Spanyol. Hanya ada dua tim yang berhak lolos.
Salah satu dari ribuan pendukung Latvia, Juris (32), berkata sebelum laga pembuka, mereka punya kans maksimal lolos 16 besar jika ada bintang NBA Kristaps Porzingis. Namun, Porzingis mundur jelang Piala Dunia akibat cedera. Beberapa kelompok pendukung pun memutuskan hanya menonton babak awal grup, lalu terbang ke Bali.
Porzingis hanya satu dari rentetan kesengsaraan Latvia. Sebelum berangkat, dua pemain kunci selama kualifikasi, Richard Lomasz dan Janis Strelnieks, sudah dipastikan absen akibat cedera. Saat Piala Dunia baru memasuki laga kedua, giliran kapten tim sekaligus pencetak skor ulung, Dairis Bertans, yang cedera dan tidak bisa tampil di sisa turnamen.
Banchi berkata, kondisi timnya seperti gelas yang pecah. Pecahan-pecahan itu tidak bisa lagi membentuk gelas. Namun, sosok pelatih karismatik itu selalu meyakini bisa membuat sesuatu yang berguna dengan pecahan tersebut.
”Kami selalu ingin memberikan yang terbaik, siapa pun personelnya. Itu spirit dari tim ini,” ujarnya.
Baca juga : Gerilya Latvia Membawa Sengsara
Sejak laga pertama, pahlawan kemenangan Latvia pun terus berganti. Mulai dari pemain termuda dalam tim, Arturs Zagars (23), guard cadangan Kristers Zoriks (25), sampai pada laga terakhir forward cadangan Andrejs Grazulis (30). Grazulis menyumbang 24 poin dan 5 asis dalam laga hidup atau mati melawan Brasil.
Latvia pantas dijuluki sebagai tim pembunuh ”Goliath”. Tiga dari empat tim yang dikalahkan mereka memiliki peringkat dunia lebih tinggi, yaitu Spanyol (peringkat pertama), Perancis (ke-5), dan Brasil (ke-13). Mereka hanya kalah sekali sepanjang turnamen, dari Kanada, pada laga terakhir babak grup yang tidak memengaruhi kelolosan ke babak kedua.
Keindahan Latvia
Penonton di Indonesia Arena sangat beruntung kedatangan Latvia. Mereka memperagakan permainan kolektif bertempo supercepat. Perpindahan bola dari tangan ke tangan secepat kilat. Para pemain mengoper tanpa perlu melihat lagi, sudah tahu di mana posisi rekannya berada. Pertunjukan indah itu diakhiri dengan hujan tembakan tiga angka.
Kami selalu ingin memberikan yang terbaik, siapa pun personelnya. Itu spirit dari tim ini.
Brasil merupakan korban teranyar permainan intens nan indah dari Latvia. Tim asuhan Banchi ini sukses mengajak lawan bertarung dalam tempo cepat. Lalu, mereka menghujani pertahanan Brasil dengan 16 kali tembakan tiga angka. Akurasinya mencapai 48,5 persen atau nyaris sekali masuk setiap dua tembakan.
Brasil tidak pernah kalah lebih dari 100 poin atau kemasukan lebih dari 10 tembakan tiga angka sepanjang turnamen. Namun, tidak malam kemarin. Latvia berpesta dari segala sisi lapangan di depan para pemain atletis Brasil. Pesta tembakan tiga angka itu dimotori oleh Bertans (4 kali), Arturs Kurucs (4), dan Zagars (3).
Banchi adalah pelatih yang sangat perfeksionis. Bahkan, setelah waktu tersisa empat detik, dengan keunggulan 20 poin, dia masih memarahi anak asuhannya karena melakukan pelanggaran tidak penting. Meskipun begitu, dia justru berkata, bibit kemenangan sudah ada dalam timnya. Dia tidak banyak membuat perubahan.
”Tidak mungkin kita bisa mengubah gaya permainan atau sifat alamiah seseorang. Beruntungnya, para pemain sudah cukup peduli dan menyadari apa yang mereka lakukan dan bisa lakukan. Sebagai pelatih, saya tidak mengatur mereka. Tugas saya sebagai pelatih adalah untuk membuat tim berjalan otonom,” kata Banchi.
Menurut center Rodions Kurucs, kunci keberhasilan mereka di Jakarta adalah harmoni dan soliditas tim yang terjaga. Mereka selalu satu hati di dalam dan luar lapangan. Semua itu tidak lepas dari kehadiran dua pasang kakak beradik dalam tim, yaitu Davis dan Dairis Bertans serta Arturs dan Rodion Kurucs. Bersama-sama, mereka mampu keluar dari segala cobaan.
Semua pemain dan pelatih Latvia berkumpul di tengah lapangan selepas laga, membentuk lingkaran. Lalu, mereka berpelukan sambil melompat. Tim ini seolah berkata, misi pertama telah berhasil ditaklukkan. Giliran menatap misi kedua yang lebih sulit di Manila. Adapun pendukung mereka yang tersisa berkomitmen ikut terbang ke Manila.
Lihat juga : Kalahkan Brasil, Latvia Terus Melaju
Brasil masih mampu mengimbangi Latvia di kuarter ketiga, sampai forward andalan tim, Bruno Caboclo, terkena empat pelanggaran saat kuarter ketiga masih tersisa delapan menit. Dia harus ditarik keluar.
”Kesempatan kami menguap karena masalah pelanggaran Bruno. Dia sangat penting dalam serangan dan pertahanan kami,” kata pelatih Brasil, Gustavo Conti.
Mencuri kemenangan
Di laga lain, Kanada berhasil mencuri kemenangan setelah tertinggal dari Spanyol nyaris sepanjang kuarter keempat. Guard Shai Gilgeous-Alexander (30 poin, 7 asis) dan forward Dillon Brooks (22 poin, 5 rebound) bersinar di pengujung laga untuk memastikan satu tiket tersisa dari Jakarta.
Kanada tertinggal 77-80 saat waktu tersisa 1 menit 19 detik. Brooks menyamakan kedudukan lewat tembakan tiga angka. Setelah itu, Shai mengambil alih. Shai mencetak delapan poin terakhir yang dihasilkan Kanada. Spanyol bisa menyeimbangkan kedudukan di detik terakhir, tetapi tembakan Alex Abrines dari tengah lapangan meleset.
Dengan hasil ini, Spanyol yang pada final Piala Dunia 2019 mengalahkan Argentina, 95-75, di Beijing, China, dipastikan tersisih. Juara dunia 2006 dan 2019 itu gagal menyamai Brasil (1959-1963), Yugoslavia (1998-2002), dan Amerika Serikat (2010-2014) yang mampu menjadi juara dunia dua kali beruntun di antara sejumlah gelar juara dunia yang mereka peroleh.
Baca juga : Seni Melambatkan Diri Brasil Meredam Ledakan Kanada
Pada babak perempat final yang berlangsung Rabu (5/9/2023), Latvia akan menghadapi Jerman, sedangkan Kanada bertemu dengan Slovenia. Dua laga perempat final lain akan digelar lebih dulu pada Selasa (4/9/2023), yang mempertemukan Lituania melawan Serbia serta Italia menantang tim kuat Amerika Serikat.