Penonton Piala Dunia U-17 di Surabaya, dapat menikmati kekayaan wisata kuliner jawatimuran. Enak dan menggugah selera.
Oleh
AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·4 menit baca
Sebagai salah satu tuan rumah penyelenggaraan Piala Dunia U-17, Surabaya berambisi memanfaatkan perhelatan itu untuk menggelorakan kekayaan kulinernya. Ajang internasional ini dimulai Jumat (10/11/2023).
Laga Piala Dunia U-17 di Surabaya, Jawa Timur, akan berlangsung di Stadion Gelora Bung Tomo. Di situ akan berlangsung pertandingan babak penyisihan Grup A yang dihuni Indonesia, Ekuador, Panama, dan Maroko. Di sana juga akan digelar satu laga 16 besar atau perdelapan final. Laga di Surabaya berlangsung kurun 10-21 November 2023.
Dalam sepak bola nasional, Surabaya, ibu kota Jatim, dikenal sebagai bumi kelahiran tiga klub besar, yakni Persebaya, NIAC Mitra, dan Assyabaab. Namun, saat ini, cuma Persebaya yang bertahan di kompetisi teratas, Liga 1.
Dalam khazanah kuliner, metropolitan tepian Selat Madura ini merupakan pertemuan beragam jenis makanan minuman. Kota berpopulasi 3 juta jiwa ini bagaikan wadah beribu-ribu lapak, warung, kedai, depot, dan restoran jawatimuran, Nusantara, dan mancanegara.
Dilihat dari waktu pelaksanaan laga, fans sepak bola sekaligus pelancong ke Surabaya punya waktu 12 hari untuk mencicipi kekayaan kuliner serta beragam kekayaan wisatanya. Salah satunya adalah rawon yang diklaim sebagai kuliner jawatimuran yang dinobatkan sebagai satu dari tiga sup terenak dunia versi situs worldatlas 2023. Setahun sebelumnya, situs itu mendeklarasikan rawon sebagai sup terenak di Asia.
Ketiklah rawon surabaya atau surabaya rawon di mesin pencari Google Maps, muncul lebih dari 100 lokasi yang sudah lazim dikenal oleh penggilanya. Demikian pula jika mengetik kuliner khas Surabaya seperti pecel, rujak (cingur, buah, tolet), semanggi, ayam, bebek, lontong (balap, kupang, mi, capgomeh), tahu (tek, telur, campur), soto, penyetan, sambal, sate, mi, dan pangan bahari (seafood).
Waktu 12 hari boleh jadi tidaklah cukup untuk menikmati kekayaan kuliner jawatimuran di Surabaya. Tak cukup biarpun dalam sehari mencicipi satu menu di tiga-enam lokasi yang direkomendasikan.
Menurut catatan Pemerintah Kota Surabaya, ada lebih dari 25.000 usaha mikro kecil (UMK) kuliner. Jika separuhnya saja yang melestarikan gaya jawatimuran, untuk mencicipi makanan di semua kedai kuliner perlu waktu tiga tahun tanpa putus dan setiap hari berganti lokasi.
Ada sejumlah lokasi kuliner yang direkomendasikan pada setiap menu. Untuk rawon, misalnya, yang sudah dikenal ialah Rawon Pak Pangat di Wonokromo, Ketintang, dan Puri Mas, Rawon Setan di Embong Malang, Rawon Kalkulator di Taman Bungkul, Rawon Nguling di Rajawali, Kutai, dan Kendangsari, Rawon Balungan M Mufid di Benowo dan Gresik, dan Rawon Merah Depot Sari di Karet.
Untuk menu rujak cingur dapat dicoba depot di Genteng Durasim, Achmad Jais, Joko Dolog, Legenda 1995 Siwalankerto, Jolotundo, dan Gubeng Kertajaya. Menu pecel juga banyak yang terkenal, misalnya Pandegiling (Bu Djoyo), Baratajaya (Bu Kus), Ahmad Yani (Murni), Kendangsari (Bu Emi).
Untuk menu bebek, pilihannya lebih banyak lagi. Meski demikian, ada sejumlah rekomendasi, misalnya Kanwa, Tugu Pahlawan, Wachid Hasyim, Baratajaya (Palupi), Sinjay, Purnama (Keputran Selatan), dan Petemon.
Beratus-ratus atau beribu-ribu halaman mungkin tak cukup untuk mendata dan menjelaskan satu per satu kekayaan kuliner jawatimuran di Surabaya. Meski demikian, dalam istilah arek suroboyo tentang badhogan atau perkulineran, hanya dua kategori rasa yang tersaji, yakni enak alias mantap dan amat enak alias mantap betul atau mantul.
Sekadar tips, bebaskan diri dalam memilih kuliner di Surabaya serta beranilah mencoba dan menemukan tempat yang paling cocok di hati dan lidah. Catat atau ingat sehingga ketika datang kembali ke Surabaya dapat mengulanginya kembali. Perhatikan juga harga, kelenturan lokasi untuk dijangkau, dan yang terutama keyakinan pada keamanan, kebersihan, dan keandalan layanan.
Dukut Imam Widodo, penulis buku Monggo Dipun Badhog, pernah mengatakan, kekayaan kuliner jawatimuran di Surabaya merupakan pertemuan budaya antarsuku hingga antarbangsa yang berkarakter terbuka. Kuliner berkembang secara berani yang pembuatnya tak pelit memakai bumbu dan rempah sehingga menghasilkan cita rasa kuat dan enak.
”Tidak heran kalau kuliner yang ada cuma enak dan enak banget,” kata Dukut yang juga penulis Hikajat Soerabaia Tempo Doeloe dan Malang Tempo Doeloe.
Secara terpisah, Raditya Atma, dosen gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, menyarankan, wisata kuliner sepatutnya berdasarkan pada kebutuhan, bukan memenuhi hawa nafsu makan minum. ”Agar konsumsi makanan tidak merugikan kesehatan di masa depan,” katanya.
Misalnya, jika begitu senang dengan kuliner bebek, sebaiknya tidak menyantap setiap hari, tetapi sepekan sekali. Demikian pula kuliner berbahan daging ayam, kambing, sapi, babi, termasuk organ dalam atau jeroan, jangan disantap setiap hari.
Tidak heran kalau kuliner yang ada cuma enak dan enak banget .(Dukut Imama Widodo)
Raditya juga menyarankan, penikmat kuliner mengingat pantangan. Jika terpaksa tidak bisa makan daging dan atau pangan bahari, hindarilah semua penganan dan makanannya. Jika melanggar, bisa berdampak serius bagi kesehatan.
Pada akhirnya, harus disadari suatu ungkapan terkenal, ”Kita adalah apa yang kita makan”. Maksudnya, kesehatan jasmani dan rohani turut bergantung pada keamanan pangan yang dikonsumsi sepanjang hayat sebagai bagian dari pola hidup.
Selamat menikmati Piala Dunia U-17 dan badhogan Surabaya!