Coco Gauff, Nomine Termuda ”Women of the Year” Majalah ”Time”
Coco Gauff adalah petenis yang juga aktivis. Kedua peran itu menjadikannya nomine ”Women of the Year” majalah ”Time”.
Oleh
YULIA SAPTHIANI
·4 menit baca
Menjadi juara Grand Slam dalam usia 19 tahun dan selalu bersuara lantang dalam memprotes masalah kemanusiaan membuat Cori ”Coco” Gauff menjadi salah satu satu nomine penerima penghargaan ”Women of the Year” versi majalah Time. Coco menjadi satu-satunya nomine yang berprofesi sebagai atlet.
Coco menjadi perbincangan dunia tenis internasional ketika menembus babak keempat Grand Slam Wimbledon 2019 pada usia 15 tahun. Prestasi itu dicapai saat pertama kali menembus babak utama Grand Slam. Satu faktor yang membuat namanya melambung adalah kemenangan atas pemilik tujuh gelar Grand Slam, Venus Williams, pada babak pertama. Venus dan adiknya, Serena Williams, adalah idola Coco.
Jika Anda memilih diam, Anda memilih berpihak kepada penindas.
Setelah momen di lapangan rumput Wimbledon itu, Coco selalu menjadi pusat perhatian setiap kali bertanding. Dia mencapai final pertamanya di panggung Grand Slam ketika bersaing di Perancis Terbuka 2022, tetapi kalah dari petenis nomor satu dunia, Iga Swiatek.
Setelah momen itu, perjalanan Coco naik-turun. Bersaing di arena tenis profesional dalam usia remaja bukan hal yang mudah. Dia terus belajar menemukan gaya bermain yang tepat untuk menghadapi para seniornya dan juga mengasah kekuatan mental di tengah tekanan besar.
Usaha keras itu memberi hasil ketika dia tampil di hadapan publik di Flushing Meadows, New York, pada 2023. Coco menjuarai Amerika Serikat Terbuka yang merupakan gelar pertamanya dari arena Grand Slam.
Tak hanya terkenal berkat performanya di lapangan tenis, Coco juga dikenal sebagai sosok pemberani di luar lapangan. Dia berani menyuarakan pendapatnya terkait masalah-masalah sosial.
Pada 2020, dia turun ke jalan untuk turut memprotes ketidakadilan terhadap warga kulit hitam di AS. Banyak warga kulit hitam di sana tewas karena perilaku kasar polisi.
Kepedulian Coco pada persamaan hak asasi manusia sama seperti anggota keluarganya yang lain, terutama neneknya, Yvonne Lee Odom. ”Neneknya adalah pelajar kulit hitam pertama di sekolah menengah atas di Delray Beach, Florida, pada 1961. Dia adalah aktivis hak asasi manusia,” tulis Sean Gregory, koresponden senior olahraga Time, dalam tulisan 12 nomine perempuan 2024 yang diterbitkan pada Rabu (21/2/2024) waktu AS.
Selain Coco, nomine lain adalah tokoh dari berbagai bidang, seperti Greta Gerwig (aktris/sutradara film), Claudia Goldin (ahli ekonomi), Nadia Murad (aktivis hak asasi manusia), dan Marlena Fejzo (ilmuwan medis).
Dalam artikel Time itu, Coco bercerita bahwa hatinya hancur karena kasus kematian warga AS, George Floyd, akibat kekerasan yang dilakukan polisi. Dia tak dapat menahan emosi, lalu menangis dan merasa harus ikut menyuarakan sesuatu.
”Jika Anda memilih diam, Anda memilih berpihak kepada penindas,” teriak Coco di hadapan demonstran lain.
Coco tumbuh secara natural sebagai petenis dan aktivis. Ayahnya, Corey Gauff, dan ibunya, Candi, adalah atlet basket dan atletik di universitas. Namun, berkarier di dunia olahraga, bagi keluarga Coco, tak semata untuk meraih prestasi. Corey mengingatkan kepada anak sulungnya itu bahwa dia bisa mengubah dunia melalui raket.
Para legenda tenis putri, seperti Venus, Billie Jean King, dan Althea Gibson, dijadikan rujukan Coco bahwa mereka bisa mengubah sesuatu melalui olahraga. King dikenal sebagai sosok yang menyuarakan persamaan jumlah hadiah bagi petenis putra dan putri.
”Tenis adalah olahraga yang populer dalam menyuarakan persamaan hak dan saya pun senang bisa turut melakukannya,” ujar Coco di sela-sela keikutsertaannya dalam turnamen WTA 1000 Dubai, Uni Emirat Arab, 18-24 Februari.
Dia menjalani perempat final melawan Anna Kalinskaya pada Kamis malam waktu setempat atau Jumat dini hari waktu Indonesia. Jika menang, Coco akan berhadapan dengan Swiatek atau finalis Australia Terbuka, Zheng Win Wen, pada semifinal. Semifinal lainnya mempertemukan Jasmine Paolini, yang menang walkover (WO) atas Elena Rybakina, dan Sorana Cirstea yang mengalahkan Marketa Vondrousova, 2-6, 7-6 (1), 6-2.
Dalam wawancara dengan media di Dubai, The National, Coco bercerita bahwa dia pun mengikuti perkembangan krisis Gaza. ”Tentu saja, saya memperhatikan itu. Saya telah menyuarakan perdamaian, apalagi dengan banyaknya anak dan orang tak bersalah yang tewas,” katanya.
Tentang perhatiannya pada masalah kemanusiaan yang bisa dilakukan sejalan dengan dunia tenis, Coco menyebut bahwa itu muncul berkat peran keluarganya.
”Sejak berlatih tenis di klub pada masa kecil, saya tahu bahwa saya harus serius menekuninya dan harus menjadi petenis profesional. Saya sudah punya rencana pada olahraga ini sejak kecil. Semua itu terjadi berkat keluarga saya,” katanya. (AFP)