Ironis. Itulah yang terjadi saat kita membicarakan soal Dewan Perwakilan Daerah. Lembaga legislatif ini adalah perwakilan daerah di tingkat pusat.
Saat sebagian warga Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, menderita karena menjadi korban tanah longsor, tidak ada berita tentang wakil daerah Jatim menyuarakan penderitaan mereka. Bahkan, Senin (3/4), di Senayan, senator asal Jatim, Ahmad Nawardi, memulai kisah memalukan DPD dengan berusaha merebut pengeras suara yang dipakai Wakil Ketua DPD Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas yang Senin lalu memimpin sidang.
Nawardi, bersama sejumlah anggota DPD, bukan ingin menyuarakan kepentingan warga daerah, melainkan mempertanyakan kepemimpinan DPD saat itu. GKR Hemas dan Farouk Muhammad dinilai tidak berhak lagi memimpin karena masa jabatannya sudah habis. Sejumlah anggota DPD menginginkan pergantian kepemimpinan di lembaga itu.
Sidang DPD pun gaduh, bahkan terjadi kekerasan yang berujung pada pelaporan ke polisi terhadap anggota DPD oleh anggota lain. Kegaduhan karena berebut kursi pimpinan DPD itu berlangsung hingga Senin malam.
Ini bukan kegaduhan pertama di DPD. Maret tahun lalu, kepemimpinan DPD pun dipertanyakan oleh anggota yang lain sehingga menimbulkan ketegangan. Berlanjut pada 11 April 2016, sejumlah anggota DPD memaksakan pergantian pimpinan. Ada yang ingin mempertahankan kepemimpinan DPD di bawah Irman Gusman.
Sidang Paripurna DPD, Selasa (4/4) dini hari, yang tetap dipertanyakan keabsahannya oleh sejumlah senator, menghasilkan kepemimpinan baru DPD, diketuai Oesman Sapta Odang serta wakil ketua Nono Sampono dan Darmayanti Lubis. Padahal, tata tertib DPD yang membatasi masa jabatan pimpinan selama 2,5 tahun dibatalkan Mahkamah Agung (MA). Namun, pimpinan MA hadir untuk menyaksikan pengambilan sumpah pimpinan DPD yang baru. MA seperti menisbikan putusannya sendiri.
Kepemimpinan baru itu menyeret DPD pada situasi samar, sebagai lembaga perwakilan daerah atau perwakilan partai, seperti DPR. Oesman Sapta adalah Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Separuh lebih dari 132 wakil daerah itu adalah kader parpol atau berlatar belakang partai. Kondisi ini berbeda dengan wakil daerah, saat masih bernama Fraksi Utusan Daerah di DPR.
DPD dikhawatirkan kian tak berdaya menyuarakan dan memperjuangkan kepentingan daerah. Tanggal 1 Juli 2013, harian ini melaporkan DPD sebagai Dewan Paling Diam karena paling sedikit bersuara untuk kepentingan rakyat, dibandingkan dengan lembaga perwakilan lain, seperti terungkap di media. Ke depan, DPD mungkin akan makin terpuruk karena kegaduhannya berlanjut. Ironis, karena DPD adalah salah satu buah reformasi.