Menyelamatkan Demokrasi Kita
Pemilu jadi momentum politik menyelamatkan demokrasi kita dari para aktor politik yang realis, pragmatis, dan oportunis.
”Apa yang terjadi di Mahkamah Konstitusi menyadarkan kita berbagai manipulasi hukum kembali terjadi.”
(Megawati Soekarnoputri, Kompas, 13/11/2023)
Setelah 25 tahun Reformasi, Indonesia justru menapaki fase resesi dan kemunduran demokrasi (democratic backsliding). Demokrasi ditikung bukan dengan kudeta militer dan revolusi, melainkan dengan manipulasi hukum.
Melalui yudisialisasi politik, hukum dimanipulasi hanya untuk melayani kepentingan para aktor politik realis yang mempraktikkan kekuasaan secara brutal, tanpa pertimbangan etika dan norma demokrasi yang tak tertulis (unwritten norms of democracy).
Padahal, demokrasi telah membawa aktor utama realisme politik ke tampuk kekuasaan. Namun, ia akhirnya membunuh demokrasi secara perlahan. Oposisi, yang memungkinkan ruang checks and balances, dipersempit. Hak sipil dan politik juga dibatasi melalui undang-undang. Negara hukum dirobek-robek menjadi negara kekuasaan.
Baca juga: Usaha Menemukan Kembali Indonesia
Kekuasaan yang absolut diperagakan secara sewenang-wenang sebagai alat memukul lawan politik. Pesaing politik ditekan melalui kriminalisasi. Konsekuensinya, dunia penegakan hukum kita dilanda ”musim semi kebijakan tebang pilih”. Musim kering sejarah yang membahayakan keselamatan demokrasi kita.
Demokrasi kita benar-benar dalam bahaya. Kebijakan publik dalam negara demokrasi semestinya inklusif, adil, dan setara. Namun, hal itu ternyata dikerjakan sebagai bagian dari rekayasa dan kerja pemenangan politik. Negara mengalami transformasi politik yang begitu personal. Kebijakan publik pun dijadikan instrumen politik yang partisan.
Menjelang pemilu, Indonesia mengalami musim hujan bantuan sosial dalam berbagai bentuk, termasuk dengan justifikasi ”membantu rakyat yang terdampak El Nino”. Penyebaran bansos ini sudah diputuskan untuk diperpanjang hingga akhir Juni 2024 sebagai bentuk antisipasi kemungkinan terjadinya putaran kedua Pilpres pada 26 Juni 2024. Hal ini menegaskan politisasi kebijakan yang partisan. Kebijakan publik—yang didanai negara berbasis antara lain dari pajak rakyat—justru dijadikan instrumen politik partisan. Ini jelas bentuk penyelewengan kekuasaan dalam negara demokrasi.
Pemilu menjadi momentum politik untuk menyelamatkan demokrasi kita dari para aktor politik yang realis, pragmatis, dan oportunis yang telah menyelewengkan kekuasaan negara untuk kerja pemenangan politik partisan. Mereka telah mempraktikkan demokrasi tanpa etika dan norma demokrasi. Padahal, etika dan norma demokrasi yang tidak tertulis berperan sentral dalam menyelamatkan demokrasi kita. Inilah yang ditekankan dua profesor politik di Harvard, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, dalam How Democracies Die (2018).
Sebagai ikhtiar bersama untuk menyelamatkan demokrasi dari kemunduran, bahkan kematian, secara perlahan, Levitsky dan Ziblatt (2018: 106) menekankan dua aturan dan norma demokrasi yang tidak tertulis yang sangat penting bagi keberlangsungan dan daya tahan demokrasi.
Pertama, mutual toleration. Toleransi timbal balik ini mengacu pada gagasan bahwa kompetitor politik harus diberikan hak yang adil dan setara untuk hidup, berkompetisi secara sehat untuk kekuasaan, dan bahkan hak untuk memerintah itu sendiri. Toleransi timbal balik ini teramat penting untuk menjaga kehidupan demokrasi yang sehat di tengah praktik rendahnya toleransi dan meluasnya diskriminasi.
Kedua, institutional forbearance. Kesabaran dan pengendalian diri secara institusional dalam menggunakan hak yang sah. Dalam konteks demokrasi kita, pemerintah harus bersabar dan menahan diri untuk tidak melakukan intervensi dalam bentuk apa pun terhadap institusi-institusi lain, termasuk institusi hukum, dalam institusi demokrasi.
Patut disayangkan bahwa kemampuan mengendalikan diri untuk tidak mengintervensi institusi-institusi lain dalam demokrasi terlihat absen dalam penyelenggaraan negara. Jika ini terus dibiarkan, bukan hanya institusi-institusi yang diintervensi itu yang terkorbankan. Demokrasi kita secara keseluruhan juga terancam mati. Selepas seperempat abad kita menjalani demokrasi, pembalikan semacam ini tentu tak boleh dibiarkan terjadi.