Palagan Seorang Jokowi
Sungguh di luar dugaan banyak pihak bahwa akhirnya majelis hakim memutuskan Basuki Tjahaja Purnama terbukti dengan sah dan meyakinkan serta memiliki motif yang jelas untuk melakukan penodaan terhadap agama. Atas keyakinan tersebut, majelis hakim mengambil keputusan ultra petitum dengan menjatuhkan hukuman 2 tahun penjara kepada Ahok dan memerintahkan terpidana untuk langsung menjalani tahanan.
Sebagian orang menganggap ini adalah langkah cerdas Presiden Jokowi untuk menunjukkan bahwa dia memenuhi janjinya untuk tidak memihak. Bahkan, sebagian lainnya beranggapan, dengan dihukumnya Ahok akan memberikan keleluasaan bagi Presiden Jokowi untuk mengambil tindakan tegas kepada para pelaku yang selama ini merongrong kewibawaan pemerintah dan bahkan mengancam keutuhan NKRI.
Bagi saya pribadi, ini adalah kekalahan telak untuk kesekian kalinya bagi Presiden Jokowi. Sekaligus ini adalah kekalahan negara terhadap tekanan demonstrasi massa yang berjilid-jilid. Sebagai pendukung Jokowi, saya kecewa, sangat kecewa. Dan saya yakin banyak pendukung setia Jokowi yang juga merasakan kekecewaan ini. Kekecewaan saya berawal ketika Jokowi membiarkan proses hukum di kepolisian diintervensi oleh kekuatan demo massa sehingga Ahok ditetapkan sebagai tersangka penoda agama.
Kekecewaan itu semakin memuncak melihat sikap netral Jokowi dalam menghadapi pilkada putaran kedua di Jakarta, sementara pihak lawan menggunakan seluruh kekuatan yang ada untuk mengalahkan Ahok. Padahal, jelas bahwa keberadaan Ahok sebagai gubernur di DKI akan sangat menguntungkan posisi Jokowi dalam menghadapi pemilihan presiden tahun 2019. Akhirnya kekecewaan itu mencapai puncaknya pada 9 Mei 2017, ketika Ahok digelandang ke rumah tahanan untuk sebuah kejahatan yang tidak dia lakukan.
Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, seharusnya Jokowi bisa mencegah kasus ini sejak dari awal. Jokowi memiliki seluruh perangkat yang memungkinkan untuk berbuat sesuatu. Sungguh saya tidak mengerti, mengapa Jokowi mengambil sikap seperti ini. Sebegitu lemahkah seorang Jokowi, yang katanya sangat dicintai rakyat dan disambut dengan genggap gembita dalam setiap kunjungannya.
Kali ini saya gagal paham. Saya gagal memahami strategi apa lagi yang sedang dimainkan oleh Jokowi dengan membiarkan sahabatnya berjuang sendirian menghadapi ketidakadilan dan tekanan yang begitu besar, sementara dirinya memiliki seluruh sumber daya untuk berbuat sesuatu.
Memang benar, secara teoretis Presiden tidak bisa mengintervensi keputusan yang diambil oleh majelis hakim. Itu sudah diatur dengan jelas dalam trias politica. Tetapi, membiarkan kasus ini bergulir sejak awal adalah kesalahan strategi yang sangat fatal. Ini bukan hanya mengecewakan pendukung Ahok di Jakarta, tetapi juga di banyak penjuru di seluruh Indonesia. Ini jelas sangat tidak menguntungkan posisi Jokowi dalam menghadapi Pilpres 2019.
Lalu, yang menjadi pertanyaan adalah apa yang mesti dilakukan Jokowi saat ini. Saya mencoba mengupasnya dengan pisau analisis manajemen strategik. Dalam ranah manajemen strategik, dibutuhkan dua kapabilitas untuk mempertahankan keunggulan sebuah organisasi. Kapabilitas pertama adalah kapabilitas untuk mempertahankan posisi unik perusahaan di mata pasar. Kuncinya adalah memenangkan hati pelanggan.
Di sini kita menggunakan pendekatan pasar (market based view) yang dikemukakan oleh Porter (1991). Dalam hal ini Jokowi berhasil, yaitu lewat pembangunan infrastruktur besar-besaran yang selama ini praktis terbengkalai. Pembangunan jalan, baik tol maupun non-tol, di Jawa ataupun di luar Jawa, pembangunan pelabuhan-pelabuhan utama ataupun rintisan untuk mendukung program tol laut, pembangunan pembangkit tenaga listrik 35.000 megawatt, pembangunan jalur kereta api, pembangunan bandara, pembangunan gedung-gedung di perbatasan negara, pembangunan kawasan pariwisata sebagai sumber devisa.
Dalam kurun waktu 2,5 tahun saja, Jokowi sudah mengunjungi Papua lebih dari 5 kali untuk memastikan bahwa pembangunan di Papua berjalan sesuai dengan koridor yang ada. Demikian pula kunjungan Jokowi ke daerah-daerah lain. Semua pembangunan ini tujuannya jelas, yaitu meningkatkan output ekonomi sehingga pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Apabila digabungkan dengan teori berbasis sumber daya (resource based theory) yang awalnya dikemukakan oleh Barney (1986) dan dikembangkan lebih lanjut lewat konsep orkestrasi sumber daya (resource orchestration) yang dikemukakan oleh Sirmon et. al. (2007), Jokowi mampu mengorkestrasi semua sumber daya yang dimilikinya untuk mendukung pembangunan infrastruktur tersebut. Termasuk hal yang paling kritis, yaitu sumber daya modal untuk mendanai seluruh pembangunan tersebut.
Kebijakan pemerintah Jokowi mencanangkan program pengampunan pajak dan mengundang banyak investor, baik lokal maupun asing, untuk ikut mendanai pembangunan, layak diapresiasi. Keberadaan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan juga semakin memudahkan Jokowi untuk mendapatkan akses dana-dana murah jangka panjang guna mendanai kegiatan produktif yang tujuannya memperbesar kue ekonomi nasional.
Dalam hal ini, jelas bahwa Jokowi mampu mempertahankan posisinya yang unik pada pelanggan (baca: rakyat). Jokowi juga mampu mengorkestrasi seluruh sumber daya yang dimilikinya untuk mendukung program pembangunan yang dicanangkan. Hal itu ditandai dengan gegap gempitanya rakyat yang menyambut kehadiran Jokowi setiap kali melakukan kunjungan ke daerah.
Rakyat yakin bahwa saat ini pemerintahan Jokowi sedang bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, walaupun dampak langsung dari pembangunan infrastruktur ini belum sama sekali bisa dirasakan oleh rakyat pada saat ini. Tetapi, minimal rakyat percaya bahwa arahnya sudah benar.
Persoalannya ada pada kapabilitas kedua, yaitu kapabilitas untuk memenangkan persaingan terhadap lawan, yang dijelaskan dengan konsep aksi-reaksi (competitive dynamics). D’Aveni dalam bukunya Hypercompetition (1994) mengatakan, dalam kondisi persaingan yang meningkat, diperlukan kemampuan untuk tidak hanya menciptakan keunggulan, tetapi juga mengeliminasi keunggulan bersaing lawan. Dalam hal ini, kemampuan menyerang dan mengalahkan lawan menjadi syarat mutlak.
Di sini jelas terlihat bahwa Jokowi sangat kedodoran. Sejak awal penentuan kabinet di tahun 2014, sudah terbaca bahwa Jokowi gagap dalam menghadapi ”persaingan”. Jokowi mampu diperdaya oleh gerakan menelikung yang memanfaatkan KPK yang kemudian mencoret beberapa nama calon menteri yang sudah ada di kantong Jokowi. Padahal, jelas bahwa penentuan kabinet adalah hak prerogatif presiden.
Kekalahan Jokowi yang kedua adalah ketika Jokowi ”terpaksa” menunda dan akhirnya membatalkan penunjukan Budi Gunawan yang sudah disetujui secara mutlak oleh DPR sebagai calon tunggal Kapolri. Kembali lagi KPK dimanfaatkan oleh pihak lawan tanpa Jokowi mampu mengantisipasi manuver tersebut. Demi ”menghindari kegaduhan”, akhirnya ditunjuk Badrodin Haiti sebagai Kapolri dengan tetap mempertahankan Budi Gunawan sebagai Wakapolri. Selanjutnya, penunjukan Tito Karnavian sebagai Kapolri dan Budi Gunawan sebagai kepala BIN boleh dikatakan pilihan yang cerdas untuk menganulir kesalahan keputusan yang diambil sebelumnya.
Dalam menghadapi tekanan dari kelompok garis keras intoleran, Jokowi juga terlihat sangat lemah. Kembali lagi, atas nama ”menghindari kegaduhan”, Jokowi membiarkan kelompok ini semakin merajalela, padahal Jokowi sebenarnya memiliki seluruh sumber daya yang dimilikinya untuk mencegah gerakan ini. Akibat kesalahan strategi ini, dampaknya jelas, demonstrasi berjilid-jilid mampu menggiring Ahok menjadi tersangka, kalah dalam pilkada, bahkan digelandang langsung ke rumah tananan negara dengan tuduhan sebagai penoda agama. Ini adalah kekalahan telak yang beruntun dan tentu saja akan memengaruhi langkah Jokowi untuk menghadapi pemilihan presiden pada tahun 2019 mendatang.
Tiga catatan
Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa Jokowi yang begitu superior dalam mengembangkan kapabilitas pertama tetapi tampak loyo dalam mengembangkan kapabilitas kedua. Jawabannya akan coba saya kupas menggunakan teori AMC (awareness, motivation, and competence) yang diusung oleh Chen (1996).
Pertama adalah awareness, yaitu kesadaran akan kondisi lingkungan eksternal yang tidak ramah (hostile) dan persaingan yang cenderung brutal. Kondisi ini jelas tidak bisa diatasi dengan strategi bersaing tradisional yang mengandalkan business as usual. Kalau hati rakyat mudah dimenangkan dengan ”bagi-bagi sepeda”, maka pesaing tidak mudah ditaklukkan dengan pemeo ”aku ra popo”. Reputasi sebagai pemimpin yang baik dan memiliki banyak sumber daya saja tidak cukup untuk memenangi persaingan. Metafora yang terjadi pada dunia bisnis bisa dijadikan pelajaran berharga. Kegagalan membaca perubahan dan gerakan pesaing berakibat fatal.
Hal ini mirip dengan kondisi yang dialami oleh Kodak yang jelas memiliki keunggulan sumber daya di bidang teknologi kamera analog. Tidak ada perusahaan lain yang mampu menyaingi. Kodak gagal memahami (aware) ancaman bahwa perubahan lingkungan yang sedemikian cepat yang mengarah pada perkembangan teknologi digital membuat seluruh keunggulan sumber daya tersebut tampak sia-sia. Kondisi serupa dihadapi perusahaan taksi nasional Bluebird yang memiliki jumlah armada terbesar di Indonesia.
Dari sisi sumber daya, tidak ada satu pesaing mana pun yang mampu menyaingi keunggulan sumber daya yang dimiliki oleh Bluebird. Seandainya tidak terjadi disrupsi, bisa dipastikan dalam kurun waktu 5 atau bahkan 10 tahun mendatang Bluebird akan tetap mendominasi industri taksi. Faktanya, kehadiran Uber dan Grab mendisrupsi industri taksi dengan menerapkan konsep ekonomi berbagi. Keunggulan sumber daya yang dimiliki Bluebird menjadi tidak relevan dan mudah disaingi oleh pendatang baru yang sebenarnya sama sekali tidak memiliki kendaraan. Kegagalan Bluebird dan perusahaan taksi konvensional lain dibayar dengan sangat mahal.
Dengan menggunakan metafora yang terjadi di bisnis, kita bisa belajar bahwa kata kuncinya adalah memahami adanya ancaman dan perubahan. Jokowi gagal memahami disrupsi yang terjadi dalam dunia politik dengan menguatnya Islam garis keras yang pada awalnya dianggap jumlahnya tidak signifikan.
Dengan mempertahankan gaya bersaing ”business as usual”, Jokowi jelas tertinggal oleh permainan lawan. Seharusnya Jokowi sadar bahwa pertarungan politik pada saat ini bukan lagi pertarungan biasa.
Begitu banyak kepentingan yang bermain dalam pertempuran tersebut, baik dari kepentingan dalam negeri maupun kepentingan luar negeri. Pertempurannya adalah pertempuran mempertahankan keutuhan dan kedaulatan NKRI, kebinekaan, dan Pancasila, bukan sekadar persaingan politik biasa. Jika kondisi ini dipahami dengan benar, niscaya pilihan strategi yang diambil Jokowi akan berbeda. Pendekatan konvensional tidak akan mampu mengatasi pertempuran dahsyat ini. Jangan sampai fenomena yang terjadi pada Nokia akan dialami oleh Jokowi, di mana CEO Nokia pada akhirnya mengatakan, ”We didn’t do anything wrong. But some how we lost.” Pertaruhan ini terlalu besar dan mahal untuk Indonesia.
Jokowi harus memiliki motivasi untuk bertarung dan memenangi pertarungan, bukan hanya menjaga ketenangan dan menghindari kegaduhan.
Kedua adalah motivasi. Jokowi harus memiliki motivasi untuk bertarung dan memenangi pertarungan, bukan hanya menjaga ketenangan dan menghindari kegaduhan. Pertarungan memang gaduh, apalagi pertarungan dalam dunia politik. Segala cara bisa dilakukan untuk memenangi pertarungan. Dalam dunia politik bahkan berlaku pemeo: lebih baik menang dengan cara yang agak kurang elegan dibandingkan dengan kalah terhormat.
Kekalahan dalam politik adalah kehancuran, tidak bisa dianggap sebagai kemenangan yang tertunda. Dalam kondisi persaingan yang hypercompetitive, motivasi bersaing tidak hanya menciptakan keunggulan, tetapi secara bersamaan menghabisi keunggulan lawan. Demi kedaulatan dan keutuhan NKRI, kebinekaan, dan Pancasila, Jokowi harus memiliki motivasi untuk menghancurkan semua kekuatan yang mengancam. Jelas ini akan menimbulkan kegaduhan.
Untuk sebuah masa depan Indonesia yang lebih cerah, kegaduhan memang harga yang harus dibayar.
Demokrasi sendiri adalah sebuah kegaduhan karena memang dalam iklim demokrasi, suara-suara sumbang minoritas tidak bisa dibungkam oleh tirani kekuasaan. Tetapi, gerakan-gerakan yang mengancam kedaulatan dan keutuhan NKRI, kebinekaan, dan Pancasila memang harus dikikis sampai ke akar-akarnya.
Ketiga adalah kompetensi. Dalam hal ini adalah kompetensi untuk melakukan serangan balik terhadap lawan. Jokowi harus mampu menggandeng seluruh kekuatan nasionalis, demokratis, tradisional, bahkan intelijen untuk menyusun serangan balik terhadap lawan yang merongrong kewibawaan pemerintah dan keutuhan NKRI. Partai politik pendukung utama, seperti PDI Perjuangan, Nasdem, Hanura, dan PPP versi Djan Raridz, harus digalang untuk bersatu. Sementara Polri dan TNI harus diberdayakan agar berani mengambil tindakan tegas.
Saatnya Jokowi memberdayakan mayoritas seperti NU dan GP Ansor serta relawan lainnya untuk bersuara. Jokowi harus mampu merapatkan barisan pendukungnya, bahkan merombak formasi kekuatan. Singkirkan semua elemen yang tidak mendukung.
Untuk memperkuat kompetensinya, Jokowi harus tegas mengganti pejabat-pejabat yang tidak bisa mengikuti langgam dan irama orkestrasi yang dimainkan oleh Jokowi, baik anggota koalisi kabinet, pejabat Polri, TNI, Kejaksaan, maupun lembaga-lembaga di bawah Presiden, bahkan di BUMN. Pilih orang-orang yang memiliki ideologi yang sama agar menyatu menjadi satu kekuatan yang mampu memenangi pertempuran. Dalam pendekatan hypercompetition, kekuatan ini tidak selalu akan digunakan untuk pertempuran yang sesungguhnya, tetapi memberikan sinyal yang jelas agar lawan tidak sembarangan dalam menjalankan strateginya.
Ibarat menonton film laga yang seru, penonton saat ini geregetan, kapan lakonnya akan menyerang balik dan memenangi pertempuran. Adegan demi adegan berkepanjangan cuma berisi sang lakon yang bonyok dipukuli lawan. Penonton sudah mulai capai untuk membuat pembenaran, bahwa ini masih dalam ”skenario pak De”. Fenomena ”kekalahan” pada demo 411 masih bisa dimengerti sebagai ”strategi pak De”. Serangan balik lewat pengungkapan kasus makar menjelang demo 212 membuat rakyat bersorak walau hanya sesaat. Sesudah itu semuanya loyo kembali dan klimaksnya ditandai dengan hujan tangis yang mengiringi Ahok ketika digiring masuk ke rumah tahanan negara.
Kini rakyat menunggu kapan bisa bersorak dan bertepuk tangan sambil memekikkan kata ”Merdeka” melihat kompetensi pemerintah untuk menyerang balik. Kini saatnya Jokowi harus menunjukkan bahwa dia memang layak untuk diandalkan.
Waktu yang tersisa tidak banyak. Jangan sampai rakyat kehilangan asa, menjadi apatis terhadap Republik, atau bahkan berpikiran untuk menukar paspor hijau berlogo Garuda Pancasila. Merdeka....
Dr Harris Turino adalah Magister Manajemen Internasional Angkatan 10 dari Prasetiya Mulya Business School pada tahun 1998 dan Magister Science Ilmu Kepolisian pada tahun 2001; Doktor di Bidang Strategik Manajemen pada Program Pascasarjana Ilmu Manajemen Universitas Indonesia. Tulisan ini merupakan renungan pribadinya sebagai pendukung yang kecewa, tetapi masih menaruh harapan besar kepada Presiden Joko Widodo.