Jalur Sutra, Signifikan Sekaligus Seru
Sepuluh tahun Eropa dan Amerika Serikat terjebak pertumbuhan ekonomi rendah. Tidak ada resep jitu untuk memulihkan pertumbuhan. Akan tetapi, di satu sisi hal ini bisa dipahami karena perekonomian AS dan Eropa mencapai titik jenuh dan penduduk yang menua. Kini ada lahan baru pertumbuhan yang potensial mendorong pertumbuhan global, yakni Jalur Sutra. Jalur ini didominasi negara-negara yang sekian lama terjebak pertumbuhan lambat karena berbagai alasan.
Sebagian Asia, yang ada di Jalur Sutra, memiliki 60 persen cadangan minyak mentah dunia, 80 persen cadangan gas alam, dan 55 persen cadangan batubara. Faktor korupsi, sulitnya infrastruktur dan tidak tersambung mulus, termasuk penyebab kekayaan ini tidak bisa memakmurkan warganya.
Kini ada tawaran China, yakni One Belt, One Road (OBOR). Jika diterjemahkan secara bebas ini adalah proyek pembangunan jalan milik bersama dan membuat negara-negara terikat aktivitas ekonomi.
Mengapa China mau mengambil inisiatif ini? Logikanya jelas, China secara verbal selalu mendengungkan keharmonisan global. Lewat perekonomian China telah merasakan begitu dahsyatnya hasil pembangunan berkat relasi ekonomi dengan dunia, seperti pernah dikatakan mantan Dirjen Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) Pascal Lamy.
Logika lain, China ingin memakmurkan Provinsi Xinjiang yang lebih dekat ke Asia Tengah yang relatif sama-sama miskin. Kemakmuran wilayah pantai di China adalah karena kontak intensif ekonomi dengan luar negeri. Ini ingin ditularkan di Xinjiang dengan kontak ekonomi ke Eurasia, di sisi barat China, lewat jalur darat.
Berkali-kali Pemerintah China menyebutkan kemakmuran merupakan salah satu faktor yang bisa menghindarkan warga dari kegelisahan. Ini sangat melekat di era pemerintahan China di bawah Presiden Hu Jintao yang digantikan Presiden Xi Jinping.
China tidak imun dari tuntutan separatisme, salah satunya dengan alasan mengalami diskriminasi.
Lagi, China meyakini kesinambungan perekonomian adalah dengan menambah aktivitas ekonomi domestik. Telah dirasakan bahwa Eropa dan Barat yang sedang resesi turut menurunkan laju pertumbuhan, sementara ratusan juta warga di China barat masih hidup miskin. Untuk menaikkan status sosial di sisi barat, China memandang keterkaitan ekonomi ke Eurasia merupakan salah satu cara.
Apa alasan lain? Mungkin China ingin tampil sebagai aktor di panggung dunia, setidaknya secara ekonomi. Ketika Olimpiade Beijing 2008 berlangsung, dengan bangga Perdana Menteri Wen Jiabao mengatakan China ada di panggung dunia.
Ada nuansa aktualisasi atau keinginan menjadi pionir yang turut mengembangkan ekonomi dunia lewat OBOR. Maka, tidak heran jika OBOR yang muncul di era Presiden Xi dianggap sebagai sebuah warisan yang ingin ditorehkan negara ini lewat Presiden Xi.
Akan tetapi, mudahkah menjalankan OBOR? Ini bukan saja soal keperluan dana yang berdasarkan perkiraan perusahaan konsultan McKinsey membutuhkan dana investasi 8 triliun dollar AS selama satu dekade sejak 2011. China bersedia menjadi penyedia sebagian modal awal untuk OBOR.
Salah satu kemungkinan alasan pendirian The Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB/Bank Investasi Infrastruktur Asia), yang diprakarsai China, adalah agar ada jalan mewujudkan ketersambungan ke Eurasia. Ini dikatakan langsung oleh Ketua Komite Urusan Luar Negeri Parlemen China Fu Ying dalam pertemuan dengan pebisnis di Singapura pada 25 Juli 2015. Jauh sebelum isu OBOR mencuat China telah melakukan banyak kerja sama ekonomi dengan kawasan Eurasia. Dalam kaitan dengan OBOR, uang relatif tidak menjadi persoalan karena kue ekonomi akan berkembang dan menghasilkan uang untuk diinvestasikan lagi.
Namun, bisakah OBOR dijalankan? Bagaimana lebih dari 66 negara di jalur itu mau menjadikan wilayahnya sebagai bagian dari ikat pinggang (one belt). Jika barang bergerak dari China ke Eropa lewat daratan Eurasia, demi efisiensi harus ada jalan yang memenuhi standar internasional. Di jalur ini harus ada harmonisasi mirip yang berlaku Uni Eropa, setidaknya untuk transportasi. Karena itu, pada tingkat tertentu harus ada kerelaan dari lebih 60 negara di jalur ini untuk mengizinkan wilayahnya sebagai lalu lintas internasional.
Dalam kaitan ini muncul kekhawatiran akan kedaulatan, seperti ditulis oleh Alexander Cooley, Direktur Harriman Institute Columbia University. Cooley menulis di situs Center for Strategic and International Studies (CSIS) AS edisi Oktober 2016 lewat artikel berjudul “The Emerging Political Economy of OBOR: The Challenges of Promoting Connectivity in Central Asia and Beyond”.
Persoalan lain adalah siapa pelaksana proyek investasi di lapangan? Pemain satu-satunya jelas bukan perusahaan China yang bermitra dengan perusahaan-perusahaan lokal di setiap negara lintas Jalur Sutra. Di sisi ini muncul masalah. Bagaimana memilih perusahaan yang paling layak untuk menjalankan proyek. Sebagian Jalur Sutra adalah lokasi negara-negara bernuansa pemerintahanan “milik” keluarga dan kerabat. Eksistensi nepotisme menjadi salah satu akar ketidakstabilan politik di Eurasia.
Atau China hendak menjalankan proyek sendirian banyak negara itu? Sentimen rasial juga merupakan satu hal yang melekat di Eurasia. China sendiri sudah merasakan kasus-kasus sentimen rasial terkait kegiatan beberapa proyeknya di Eurasia.
Dan bagaimana mencegah faktor korupsi yang menjadi salah satu warna kawasan? Apakah ada jaminan dana-dana investasi akan dialokasikan secara benar dan tidak mengalir ke kocek para pejabat korup di kawasan. Bukan hal aneh jika banyak dana pembangunan lenyap tanpa hasil signifikan akibat manipulasi dana-dana proyek. Disebutkan, China yang juga tidak lepas dari isu korupsi sanggup merelakan kehilangan sebagian dana investasi. Ini adalah masalah-malasah nyata yang segera ditemui di lapangan.
Lalu bagaimana dengan ketakutan India akan hegemoni China di Eurasia, di mana India juga merasa memiliki tanggung jawab.
Apakah hegemoni China sedang mengembangkan sayap lewat proyek infrastruktur? Ini salah satu yang mencuat sehingga India termasuk yang menolak OBOR.
Ketakutan hegemoni bukan datang dari India saja. Walau terkesan bersahabat dengan China, Rusia di bawah Presiden Vladimir Putin ingin memiliki “harga diri” di kawasan, yang dulunya bagian Uni Soviet. Di sisi lain ada ketakutan AS bahkan Eropa akan dominasi China di Eurasia.
China menyadari semua hal itu. Akan tetapi, China sangat taktis. Proyek OBOR dijalankan setelah berhasil dijadikan sebagai salah satu program Dewan Keamanan PBB pada Maret 2017. China mengatakan hanya bersedia mendorong lebih lanjut inisiatif OBOR jika disetujui oleh DK PBB. Ini langkah taktis.
Persetujuan DK PBB mungkin bertujuan untuk merangkul AS, Rusia yang juga anggota DK PBB untuk menepis kekhawatiran hegemoni China di Eurasia. Tujuan lain agar China kelak tidak menjadi satu-satunya yang dipersalahkan jika OBOR gagal dan ekstremnya malah memicu ketidakstabilan sosial di Eurasia.
Seiring dengan itu, Fu Ying mengatakan, China sangat memerlukan masukan-masukan dan kerja sama dari semua pihak. Ini sisi positif dari China yang layak mendapatkan acungan jempol, yakni kesediaan membangunan kawasan lewat DK PBB. Bagaimanapun juga OBOR adalah sebuah kesempatan bagi ekonomi global.
Dan menarik juga pernyataan Presiden Xi Jinping di Beijing, Minggu, di sela-sela pertemuan OBOR. Dia mengatakan OBOR sebagai jalan menuju perdamaian global, pendorong perdagangan, sarana pembangunan inklusif.
Presiden Xi sekaligus menyerukan penyingkiran rivalri dan permainan politik kekuatan berdasarkan model lama, yakni model permusuhan berdasarkan kekuatan blok-blok. Pola politik kekuatan lama tidak mengedepankan kemakmuran bersama dan melekat dengan permusuhan.
Inilah hal yang menarik dari China, sebuah preseden, bukan saja soal besaran proyek OBOR, melainkan juga preseden untuk melangkah bersama dengan segala kekuatan politik dunia. Mungkin ini bertujuan untuk menepis kekhawatiran akan hegemoni China, yang sangat menonjol terkait OBOR.
Akan tetapi, benar untuk memuluskan OBOR, dunia harus menunggu apakah OBOR bukan jalan menuju hegemoni yang mungkin saja terjadi di tengah perjalanannya.