China Luput dari Kritik
Setelah Amerika Serikat mundur dari kesepakatan Paris soal pemanasan global, China menyatakan ingin menyelamatkan kesepakatan global tersebut. Pada Kamis (1/6), Perdana Menteri China Li Keqiang menyatakan negaranya siap menawarkan kepemimpinan unik.
Tidak lama setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan AS mundur dari kesepakatan Paris, harian People’s Daily langsung menyebarkan sikap bahwa Beijing tetap kukuh soal iklim global.
Ada hal menggelikan dari antusiasme China setelah sekian lama enggan berperan. Benar, kini ada semangat tinggi dari pemerintahan China untuk terlibat. Namun, keseriusan China menjadi pertanyaan.
Masalahnya negara ini adalah penghasil polusi terbesar. ”Emisi China untuk semua tipe polusi udara dan karbon dioksida adalah yang terbesar di dunia,” kata Wang Jinnan, salah satu pakar utama dari Akademi China untuk Perencanaan Lingkungan Hidup, seperti dikutip harian Kanada, The Globe and Mail, edisi 1 Juni.
Mungkin China ingin menutupi kelemahan masa lalu dan kini tampil seakan sangat serius. Ada dugaan sikap China ini merupakan sebuah taktik yang memperlihatkan diri lebih bertanggung jawab ketimbang AS soal kerja sama internasional terkait pemanasan global.
Ada yang melihat China terkesan sedang mengambil panggung dalam kesempatan ini. ”China melihat sebuah pembukaan, sebuah pembukaan retoris, apalagi ini terkait dengan pengunduran diri AS. Ini semua soal persepsi,” kata Patrick Chovanec, seorang komentator terdepan soal perekonomian China dari Silvercrest Asset Management.
Ada yang melihat China terkesan sedang mengambil panggung dalam kesempatan ini.
Hal senada ditangkap pihak lain. ”Mereka tidak lagi kalah muka, dan menunjukkan diri sebagai negara yang memiliki tanggung jawab yang baik (soal iklim),” kata François Godement, Direktur Asia dan China program di European Council on Foreign Relations. ”Ini hanya di permukaan, sekadar pernyataan,” kata Godement.
Sejauh ini China hanya berkomitmen menghentikan pertumbuhan emisi karbon dioksida sekitar tahun 2030. Kontrasnya AS telah bersedia mengurangi lebih dari seperempat emisi pada 2025 berdasarkan kesepakatan Paris.
Tentu ada kemajuan China soal pemanasan global. Konsumsi batubara telah menurun dalam tiga tahun terakhir. Ahli iklim Inggris, Nicholas Stern, menemukan data bahwa pada 2014 adalah puncak tertinggi emisi di China dan pada 2025 segera menguranginya lebih drastis. China telah menekankan penggunaan tenaga surya, pembangkit listrik bertenaga udara, penciptaan mobil elektronik, dan meminta pembangkit listrik mengurangi pengunaan batubara. ”Ada pertanda positif,” kata Joanna Lewis, seorang ahli dari Georgetown University, AS.
Pemulihan ekonomi China memperoleh momentum, dengan pertumbuhan 6,9 persen pada kuartel pertama tahun 2017, terdongkrak oleh stimulus pemerintah dan larisnya penjualan properti.
Akan tetapi, semua ini tidak menutupi masa soal iklim. ”China adalah pemimpin yang enggan di forum-forum internasional, termasuk di PBB, soal iklim dan menempatkan dirinya sejajar dengan negara-negara negara berkembang yang menyerukan agar negara lain duluan menurunkan emisi lebih tinggi.”
China sendiri memang perlu untuk dirinya mengurangi polusi tanpa harus memproklamasikan diri sebagai penyelamat kesepakatan global. China wajib membersihkan lingkungan hidupnya. ”… Banyak negara mengkritik China telah gagal bertindak,” demikian dituliskan di harian South China Morning Post edisi 2 Juni.
China baru melembek soal pemanasan global pada pertemuan di Durban, Afrika Selatan, 2011. Pada 2007, China menolak penurunan mengikat emisi dengan alasan tidak memiliki kapabilitas. Pernah di sebuah forum Lu Xuedu, Wakil Direktur Kantor Global untuk Urusan Pemanasan Global, mengkritik negara-negara maju yang dia katakan seperti anak-anak soal pemanasan global.
Kini China memang sangat serius. ”China telah menyatakan sinyal jelas soal kepemimpinan lebih dalam kerja sama isu pemanasan global,” kata Frank Yu, konsultan dari Wood Mackenzie berbasis di China kepada Associated Press. Namun, ada alasan di balik itu seperti dituliskan di situs wather.com edisi 2 Juni. Ini tidak semata-mata karena tanggung jawab internasional. ”Ada kesadaran warga akan efek polusi terhadap kesehatan,” kata Robert Daly dari The Kissinger Institute on China and the United States di Woodrow Wilson Center, Kamis (1/6).
Harian The New York Times edisi 2 Juni menuliskan juga kemajuan China dalam banyak hal terkait pemanasan global. Namun, ini tidak akan mulus juga. Jangan lupa, batubara masih merupakan energi yang dominan di China. Hal ini termasuk yang menyebabkan warga sesak napas karena polusi akut.
Ada perlawanan internal untuk pengurangan penggunaan batubara dan energi fossil, terutama oleh sejumlah perusahaan milik negara. ”Namun, untunglah ada pembahasan isu pemanasan global yang membuat kelompok kepentingan menyadarinya,” kata Lin Boqiang, seorang pakar dari Xiamen University, penasihat PetroChina, perusahaan raksasa perminyakan.
Mengatasi masalah lingkungan sendiri tanpa harus tampil seolah penyelamat kesepakatan global dari sisi retorika, ini yang terpenting bagi China.