Pengalaman pahit pada tahun 2013 membuat bank sentral di Asia menumpuk devisa sebanyak mungkin. Total cadangan devisa yang dipegang sejumlah bank sentral di Asia kini sebanyak 6 triliun dollar AS. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi potensi gejolak berupa pelarian modal sehubungan dengan rencana lanjutan Bank Sentral AS untuk menaikkan suku bunga.
Pada tahun 2013, muncul efek taper tantrum, julukan bagi pelarian modal sebagai akibat kenaikan suku bunga oleh Bank Sentral AS. Ini adalah fenomena akibat psikologi pasar semata-mata bukan karena perekonomian AS yang menarik. Kenyataannya dana-dana yang lari itu kembali masuk karena tertarik akan keuntungan investasi di Asia.
Pelarian modal itu juga disebut akibat ”dosa asal” sehubungan dengan denominasi utang Asia yang lebih terpaku pada mata uang dollar AS. Hal ini dikatakan ekonom dua ekonom AS, Barry Eichengreen dan Ricardo Hausmann, seperti dikutip The Strait Times pada 20 November 2016. Denominasi utang dalam dollar AS akan menghasilkan efek psikologis yang mendorong pelarian modal walau bersifat sementara.
Efek serupa tidak bisa dihindari jika Bank Sentral AS kembali menaikkan suku bunga sebagaimana dijanjikan Gubernur Bank Sentral AS Janet Yellen. Dalam rangka itu, sejumlah bank sentral utama di Asia mengantisipasi pelarian modal dengan menumpuk cadangan devisa.
Bank Sentral China, misalnya, telah menaikkan cadangan devisa menjadi 3,054 triliun dollar AS pada Mei 2017. Hal serupa dilakukan Bank Sentral Indonesia dengan posisi cadangan devisa pada Maret 2017 sebesar 121,8 miliar dollar AS. Bank Sentral Malaysia, Singapura, dan India juga menaikkan cadangan devisa hingga mencapai rekor cadangan.
”Asia sedang memperkuat pertahanan,” kata Frederic Neumann, Kepala Riset dari HSBC Holdings Plc, Hongkong. ”Ini akan memberi Bank Sentral Asia kekuatan lebih besar mengatasi gejolak,” kata Neumann, seperti dikutip Bloomberg, Senin (12/6).
Perbaikan fundamental ekonomi Asia turut mendorong kenaikan cadangan devisa ini. Pertumbuhan di Asia tetap tertinggi di dunia sehingga investor asing terus memasukkan modal untuk berusaha di Asia. Ekspor dari Asia ke Eropa dan AS juga meningkat. ”Pemulihan ekspor didorong pemulihan pertumbuhan global,” kata Chua Hak Bin, ekonom senior dari Maybank Kim Eng Research. Modal asing mengalir ke Filipina, Malaysia, dan Indonesia sebagai hasil investasi asing asal AS dan China.
”Kawasan Asia diuntungkan dengan prospek pertumbuhan, fondasi ekonomi makro yang solid diperkuat perbaikan kebijakan domestik,” kata Bejoy Das Gupta, ekonom senior dari Divisi Asia Pacific, Institute of International Finance.
Perbaikan kebijakan domestik juga akan mampu mencegah efek trantrum kebaikan suku bunga AS di tahap berikutnya, kata Neumann.
AS berencana menaikkan kembali suku bunga karena selama sepuluh tahun mempertahankan suku bunga rendah tanpa berhasil secara signifikan menaikkan pertumbuhan ekonomi.
Mempertahankan suku bunga rendah berpotensi memberi modal murah bagi spekulan untuk berspekulasi di pasar dan membuat sektor keuangan global mudah bergejolak.
Inilah salah satu alasan AS menaikkan bertahan suku bunga walau di sisi lain berpotensi merugikan sejumlah negara berkembang di Asia. Ini merupakan sebuah fenomena pasar keuangan modern di mana di dalam kemelut ekonomi sekalipun ada instrumen keuangan yang bisa memberikan keuntungan bagi segelintir spekulan. (AFP/REUTERS/AP)