Hak Asasi Bangsa
Polisi menangkap dua pelaku pemukulan terhadap Putra Mario Alvian Alexander (15) di Jakarta (2/6/2017). Sebelumnya, pelaku bersama kelompoknya melakukan interogasi terhadap korban karena diduga menghina tokoh tertentu dalam komentar yang diunggah di linimasa akun Facebook (26/5/2017). Pelaku kemudian dijerat dengan pasal-pasal dalam KUHP tentang pengancaman, penganiayaan, dan pengeroyokan.
Kasus tersebut menuai kecaman publik. Alasannya, kecuali korban masih di bawah umur, tindakan melanggar hukum itu dinilai mengarah pada persekusi.
Kasus-kasus persekusi tiba-tiba bermunculan dan menjadi kasus-kasus sosial akhir-akhir ini yang diidentifikasi sebagai ”Ahok effect”. Menurut data Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), total ada 59 korban persekusi yang tercatat sejak 27 Januari hingga akhir Mei 2017.
Persekusi diartikan sebagai intimidasi terhadap korban yang menulis di media sosial. Isi tulisan dianggap menghina seseorang yang dianggap tokoh oleh kelompok tertentu. Maka, korban diintimidasi oleh sekelompok orang dan dipaksa menandatangani permintaan maaf bermeterai dan tidak jarang disertai dengan kekerasan verbal.
Kata persekusi tergolong baru dalam khazanah hukum Indonesia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, persekusi berarti pemburuan sewenang-wenang terhadap seseorang atau sejumlah warga yang kemudian disakiti, dipersusah, atau ditumpas. Memerkusi berarti menyiksa atau menganiaya.
Selain itu, mengacu pada Statuta Roma tahun 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional yang belum diratifikasi Indonesia, persekusi didefinisikan sebagai tindakan melawan kemanusiaan. Persekusi diartikan penganiayaan terhadap kelompok berdasarkan politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, dan jender, yang sama sekali tidak diperbolehkan berdasarkan hukum internasional.
Bagaimana situasi sosial faktual yang terjadi sebenarnya? Tepatkah pola penanganan pemerintah selama ini?
Trilema penegakan hukum
Sejumlah pihak meminta aparat untuk bertindak tegas. Desakan itu memunculkan dua persoalan mendasar.
Pertama, ada persoalan implisit dalam kasus sosial akhir-akhir ini. Agak klasik apabila kasus tersebut hanya dipandang sebagai tindakan main hakim sendiri, penyimpangan sosial, atau perilaku sadisme di tengah-tengah masyarakat.
Jika tatanan sosial sebagaimana dibayangkan Durkheim merupakan struktur eksplisit dari integrasi sosial, struktur implisitnya terletak pada motif-motif sosial, kepentingan terselubung, hingga strategi politis. Pernyataan-pernyataan normatif dan bersifat formal tidak jarang bertolak belakang dengan fakta-fakta yang ditemui di baliknya.
Kedua, tindakan tegas tanpa gambaran mental yang tepat hanya mengarahkan pemerintah pada trilema penegakan hukum. Trilema adalah kata lain dari lingkaran setan. Tindakan kita akan berputar-putar pada masalah sama tanpa tahu bagaimana keluarnya. Contoh yang umum adalah istilah ”gali lubang tutup lubang”. Dalam kehidupan sehari-hari, hal ini merupakan trilema.
Dalam kasus ini, aparat sudah melakukan tindakan hukum pada kasus-kasus yang mencuat, tetapi kasus lain yang serupa ternyata bermunculan di tempat lain. Alhasil, tindakan hukum atas berbagai kasus tersebut ternyata tidak berujung pada cita-cita awal penegakan hukum, yakni tertib sosial.
Suka atau tidak, pemerintah perlu menjawab persoalan tersebut. Kenyataannya, selama ini pemerintah gagal mengidentifikasi karena empat hal.
Pertama, aparat keliru melihat sisi kedalaman dari sebuah permukaan peristiwa sosial. Maksudnya, kasus tersebut memang tampak sebagai upaya melukai orang lain. Apalagi, argumentasi pelaku juga menyatakan pemukulan itu sebagai tindakan spontan karena kesal atas jawaban korban yang berputar-putar.
Hal yang tidak tampak adalah kronologi peristiwa, kemiripan dari waktu ke waktu dengan kasus lain, hingga sebaran secara geografis di tengah-tengah masyarakat.
Hal lain yang juga tak kelihatan, ada upaya menyakiti orang lain, dimulai dari interogasi dengan sengaja, menjadikan komentar di akun media sosial sebagai kasus sosial dengan cara membawa korban ke lembaga sosial, dan menjadikan hasil itu sebagai model ancaman dengan legitimasi agama atau keyakinan tertentu bagi masyarakat lain.
Gagal paham
Kedua, pemerintah gagal paham menyimpulkan ketika mendudukkan kasus tersebut dalam hubungannya dengan kasus-kasus lain yang serupa. Sebab, kasus yang merebak akhir-akhir ini tidak bisa dilepaskan dari penghinaan terhadap mereka yang berbeda pandangan, meningkatnya fanatisme agama, hingga kasus-kasus intoleransi.
Itulah mengapa kasus-kasus ”kecil” itu bukan kejahatan biasa, melainkan kejahatan terhadap kemanusiaan yang paling asasi. Ada fakta-fakta lain yang luput, seperti pemaksaan kehendak, ancaman terhadap keyakinan lain, dan pembatasan terhadap kebebasan berpendapat pihak yang berbeda.
Ketiga, pemerintah menerapkan pola lama untuk kasus baru. Hal itu terbukti, penanganan kasus penganiayaan itu dinilai sudah cukup dengan jeratan pasal-pasal pidana umum sebagaimana termaktub dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Pemerintah tidak jeli melihat kasus itu sebagai wabah sosial yang mengancam hak asasi tiap-tiap warga negara. Sebagai wabah, peristiwa-peristiwa serupa akan menyebar secara acak di dalam unsur-unsur sosial.
Keempat, di sisi lain, kalaupun diletakkan dalam perspektif kejahatan hak asasi, sistem perundang-undangan tentang kejahatan hak asasi sendiri tidak memiliki perangkat yang memadai sebagai media pendidikan yang efektif bagi pelanggar hak asasi manusia.
Sebagai contoh, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) hanya mencantumkan hak-hak universal, tetapi tidak mencantumkan hak-hak ”lokal” sebagai warga bangsa, yakni termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
Dasar pemikiran UU HAM cenderung liberal karena didasarkan pada Universal Declaration of Human Rights pada 1948 yang dicetuskan sebagai akibat dari Perang Dunia II.
Persekusi adalah kejahatan
Sampai sejauh ini, sejumlah perangkat institusional yang dibentuk pemerintah tidak bisa diharapkan banyak, padahal pada saat yang sama pelanggaran hak asasi adalah sebuah kejahatan yang serius.
Kasus pelanggaran hak asasi, seperti persekusi di negara-negara di Asia, genosida di Eropa, diskriminasi ras di Amerika Serikat, hingga perang suci sebelum masa renaisans, memiliki dampak terhadap perubahan peradaban secara mendasar.
Semestinya cita-cita tentang keberagaman sebagaimana dikampanyekan akhir-akhir ini tidak bisa dilepaskan dari kerangka pembelajaran tentang nilai-nilai asasi tersebut. Faktanya, sampai kini kita bahkan belum memiliki sebuah kerangka pemahaman tentang pendidikan hak asasi sebagai bangsa yang bermartabat.
Oleh karena itu, ke depan, pemerintah memerlukan sebuah pola pendidikan sipil yang mampu mewujudkan hak asasi tiap-tiap warga sekaligus hak asasi bersama bangsa ini. Sebuah hak individual sekaligus kolektif untuk ”merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur”.
Saifur Rohman
Pengajar Filsafat Universitas Negeri Jakarta