Menjaga Citra TNI di Daerah
Beberapa waktu lalu, Surat Edaran Gubernur Sumatera Barat Nomor 521.1/1984/Distanhorbun/2017 tentang Dukungan Gerakan Percepatan Tanam Padi menjadi sebuah polemik.
Poin 1 surat edaran tersebut memasukkan jajaran TNI AD (bersama petugas terkait) menjadi bagian untuk mengajak petani agar bisa menanam padi sehabis panen (15 hari) sehingga tidak ada lahan kosong.
Poin 2 menginstruksikan pengambilalihan pengelolaan lahan petani oleh Koramil bekerja sama dengan UPT pertanian kecamatan setempat jika 30 hari pascapanen lahan kosong tidak ditanami petani.
Yang menjadi sorotan adalah menggerakkan unsur TNI untuk berhadapan dengan rakyat, bahkan untuk pengambilalihan pengelolaan tanah petani. Yang menjadi persoalan bukan hanya pengambilalihan tanah petani, melainkan juga mengapa harus melibatkan unsur militer.
Tidak begitu urgen melibatkan unsur TNI ke dalam persoalan pangan pertanian ini. Dalam banyak kasus, persoalan lahan ini sering menimbulkan konflik. Apabila terjadi konflik antara TNI dan rakyat, rakyat akan semakin takut atau memiliki perasaan tidak senang kepada TNI karena peristiwa ini.
Menghadapkan TNI kepada rakyat pada situasi seperti ini justru dapat merusak citra TNI di mata rakyat. Padahal, justru rakyat adalah ibu kandung dari TNI dan doktrin kemanunggalan dengan rakyat itu akan dipertanyakan oleh rakyat.
Jika pengerahan ini bertujuan untuk mengantisipasi konflik, bukankah kecenderungan untuk memakai Polri lebih tepat? Polri menangani bidang keamanan, sementara TNI pertahanan negara. Meski demikian, akan jauh lebih baik jika yang bermediasi adalah sesama pihak sipil (pemerintah-petani).
Pengerahan aparat keamanan negara dan militer hanya menunjukkan wajah kedigdayaan negara terhadap rakyat serta merepresentasikan posisi kekuatan negara atas rakyat. Padahal, konsolidasi demokrasi bisa terjadi karena keimbangan kekuatan antara negara dan masyarakat. Jika negara lebih kuat dan masyarakat dilemahkan, kondisi negara tengah menuju otoriter.
Menyorot tupoksi
Militer dalam negara berpengaruh luas dan menjadi kekuatan politik pada negara dunia ketiga umumnya. Dengan posisi itu, mereka memiliki kemampuan untuk memengaruhi sebuah kebijakan, mendorong pengesahan atau membatalkan.
Militer juga menjadi lambang kedaulatan negara dan komponen utama pertahanan negara dari ancaman militer dan ancaman bersenjata dari dalam ataupun luar negeri.
Tentara bisa menjadi prajurit pretorial apabila mereka mengancam atau menggunakan kekuasaan untuk mendominasi arena politik. Mereka terlibat dalam politik dengan mengandalkan kekuasaan atas prajurit yang menggunakan senjata, tank, dan kapal terbang guna memengaruhi keputusan pemerintah atau menguasai pemerintah (Eric A Nordlinger, 1990).
Dari paparan di atas, kita dapat menyadari kekuatan politik militer. Kalaupun militer tetap diposisikan sebagai alat negara dan bergerak sesuai keputusan politik negara, pengerahannya harus hati-hati. Jangan sampai militer dihadapkan dengan masyarakat sipil. Terlebih jika kita berbicara militer Indonesia, dengan slogan ”kemanunggalan TNI dengan rakyat” dan ”bersama rakyat TNI kuat”, membuat pengerahan prajurit TNI berhadapan dengan masyarakat sipil semakin tidak etis dan tidak sesuai dengan semangat jati diri TNI (Pasal 2 Huruf A UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI), yaitu TNI sebagai tentara rakyat.
Pasal 7 Ayat (1) mengamanatkan tugas pokok TNI untuk menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta melindungi segenap bangsa dan negara dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
Pelaksanaan tugas pokok dilakukan melalui Operasi Militer untuk Perang dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Terdapat 14 poin di dalam OMSP, (1) mengatasi gerakan separatis bersenjata, (2) mengatasi pemberontakan, (3) mengatasi aksi terorisme, (4) mengamankan wilayah perbatasan, (5) mengamankan obvitnas, (6) melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai kebijakan luar negeri, (7) mengamankan presiden dan wakil beserta keluarga, (8) memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukung, (9) membantu tugas pemerintah daerah, (10) membantu tugas keamanan dan ketertiban Polri, (11) membantu mengamankan tamu negara, (12) membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan bantuan kemanusiaan, (13) search and rescue, serta (14) membantu pemerintah dalam pengamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan, dan penyelundupan.
Dalam OMSP di atas, dapat kita lihat beberapa tugas yang dijalankan secara partner atau merupakan tugas perbantuan TNI terhadap lembaga lain, misalnya dengan Polri dan Basarnas. Dalam hal ini, aturan rinci mengenai tugas-tugas perbantuan harus jelas perihal indikator situasi, batasan, dan kewenangan di lapangan. Jika tidak ada kejelasan, muncul indikasi pelaksanaan tugas tersebut sudah seperti milik TNI saja, padahal posisi TNI hanya membantu.
Selain OMSP, bahasan yang tidak kalah penting adalah perihal kewenangan pengerahan TNI. Pada Pasal 3 Ayat (1) UU TNI diatur bahwa untuk pengerahan dan penggunaan kekuatan militer, TNI berkedudukan di bawah presiden. Pada Ayat (2), dalam kebijakan dan strategi pertahanan serta dukungan administrasi, TNI di bawah koordinasi departemen pertahanan. Dari Pasal 3 ini, kita dapat memahami pihak mana yang berhak menggerakkan TNI.
Pada beberapa kasus, kita justru sering melihat pelibatan TNI terhadap beberapa kegiatan yang tidak tercantum dalam OMSP dan tidak jarang melanggar ketentuan Pasal 3 di atas, misalnya pelibatan TNI dalam membantu pengamanan penggusuran dan untuk pertanian.
Dalam hal penggusuran, yang menjadi pertanyaan adalah mengapa harus membawa aparat militer. Jika itu soal keamanan dan ketertiban, apakah kekuatan aparat kepolisian tidak cukup? Bukankah penggusuran tidak memerlukan bantuan senjata untuk proses pengamanannya? Perlu batasan jelas bantuan tugas pengamanan Polri oleh TNI.
Dalam hal pertanian, pertanyaan mendasar adalah apa urgensi dan relevansi pengerahan TNI? Mengapa harus TNI? Terlebih dalam 14 poin OMSP pun unsur tugas pertanian tidak termasuk. Dalam hal ini, yang perlu diperjelas adalah batasan TNI membantu pemerintah daerah.
TNI-rakyat
Sejarah kelahiran TNI erat dengan rakyat. Rakyat menjadi dasar terbentuknya TNI, antara lain melalui Heiho, KNIL, PETA, dan laskar-laskar pejuang lain. Maka, muncul sebutan ”ibu kandung TNI adalah rakyat”.
Merujuk Harold Crouch, ia mengatakan, para pemuda dan pejuang pada waktu melawan penjajah dahulu mengangkat senjata tidak didorong oleh keinginan membangun karier di bidang militer, tetapi didorong oleh semangat patriotik terhadap Republik Indonesia. Bahkan, dalam perang merebut dan mempertahankan kemerdekaan, semboyan yang membakar semangat adalah ”merdeka atau mati”.
Artinya, cikal bakal TNI sudah ada sebelum Indonesia merdeka. Faktor sejarah ikut berandil dalam menjaga kedekatan TNI dengan rakyat.
Kedekatan-kedekatan tersebut bisa kita lihat terus terjaga, tidak terputus karena perubahan orde. Misalnya dengan program ABRI Masuk Desa, doktrin dwifungsi, dan slogan-slogan yang merepresentasikan kedekatan TNI-rakyat.
Kedekatan TNI dengan rakyat harus dimaknai dengan memahami sejarah. Pengerahan TNI untuk berhadapan dengan rakyat justru mengingkari hal tersebut. Biarlah kedekatan TNI dengan rakyat terjalin sebagaimana adanya dan pemerintah jangan menggunakan pihak militer untuk berhadapan dengan masyarakat sipil, terlebih rakyat tersebut tidak bersenjata.
Ikhsan Yosarie, Peneliti Laboratorium Ilmu Politik Universitas Andalas